Pertiwi, pesonamu laksana nyiur melambai
pada Raja Kelana. . . . .
Di puncak langit, mentari bersinar menyerahkan cahaya nan berbinar dalam
keterikannya. Berlatar gedung-gedung yang menjulang, rerumputan membentang luas
di hadapan netra, diatasnya berdiri
kokoh pepohonan hijau penyejuk yang mencengkram tanah-tanah tempat bervertikal.
Manusia dengan hati penuh bahagia menikmati kondisi kesejukan dibawah keterikan
itu, anak-anak berlari dengan kaki-kaki kecil mereka lalu tertawa dan ceria
melekat dengan elok dalam kehidupan mereka. Hewan-hewan imut dan lucu tidak
ketinggalan untuk bersenang senang, senandung burung-burung menggema seakan
menyempurnakan kepermaian ini. Apalagi yang kurang? Ini jauh lebih indah
daripada lukisan-lukisan mengenai keadidayaan yang dikata orang.
Ini kita! Oh Tuhan, betapa sejuk
mataku melihat ini semua. Namun bolehkah aku ikut menikmatinya bersama mereka?
Kugerakkan langkah kaki diatas rerumputan bak karpet ini menuju ke seantero
negeri sampai kudapatkan sesuatu untuk kuperbuat, kulintasi setiap insan yang
bermain, kupersembahkan senyumanku pada setiap mereka yang melihatku, dan
mudah-mudahan juga kepada diri ini. Coba kutundukkan kepala untuk menghindar dari kepongahan, aku sama dengan mereka dan aku bukanlah siapa-siapa
melainkan hanya seorang pelayan baru.
Ku hampiri seorang bocah laki-laki kecil yang hanya murung menyendiri, ku
belai kepalanya yang ditutupi rambut hitam legam “Duhai anakku, kenapa engkau
tidak bermain dan tertawa bersama teman-temanmu?” Aku mencoba bicara dengannya
yang tetap saja menunduk dengan wajah yang telah sembab. Sedikit demi sedikit
ia mulai melihatku “Tuan, ingin rasanya aku bermain bersama mereka, namun
tahukah engkau bahwa aku tidak bisa bermain. Aku harus menghidupi adikku,
orangtuaku telah tiada. Dan kini aku tidak tau harus apa”. Jawabannya mematikan
lidahku, aku tidak tau harus berkata apa kepadanya. Dia tidak sendiri, ada
banyak lagi yang bahkan lebih buruk.
Kulanjutkan
langkahku, mencari mereka-mereka yang sekiranya membutuhkan sambung tangan dari
siapa saja yang dapat memberi.
Langkahku berhenti sementara di tengah keharuman singkong yang sedang digoreng,
“pasti lezat” pikirku. Ku hampiri sumber aroma, sesosok ibu tua renta berada
dibalik harumnya singkong ini. Rambutnya telah memutih dan kulitnya melegam,
badannya sudah semakin berat untuk digerakkan, namun keringat kemuliaan dari
usahanya menjadikan ia terhormat dimataku. “Mau beli singkong tuan?” Ah,
suaranya yang sudah tidak keras menawarkan makanannya kepadaku, aku tidak punya
alasan untuk menolak, ku terima dan kurasakan kelezatannya yang menggemai
tubuhku.
“Ibu, dengan
siapa berjualan?” Aku penasaran, sehingga pertanyaan itupun terlontar. “Sendiri
saja tuan. Tapi alhamdulillah saya masih bisa menghidupi diri sendiri” Jawabnya.
Pertanyaan lain yang akan segera menyusul ku telan kembali, kurasa aku sudah
bisa memahami kehidupan Ibu Tua ini. Aku hendak melanjutkan perjalanan, kuciumi
tangannya yang menyurga dan kusadari betapa rendah diriku dihadapan seorang
wanita tua.
Kakiku menyambung langkah menuju
tempat berikutnya, di suatu tempat yang kumuh dan tidak terurus. Seorang pria
tua terbaring lemah, ia tidak sanggup lagi berdiri karena penyakit yang
dideritanya, seorang anak kecil yang bisa saja anak atau cucunya sering berada
disampingnya untuk merawati. “Sudah lama bapak sakit?” Aku bertanya kepadanya. “Sudah
lumayan tuan” Suaranya lemah. “kenapa tidak berobat pak?” Tanyaku lagi. Tapi
Pak Tua itu tidak menjawab, ia hanya diam, menatap keatasnya, memejamkan mata dan menghela nafas panjang.
Aku pun telah mengerti.
Kuteruskan perjalananku, kusaksikan
lagi bermacam ragam kisah manusia dan kehidupannya. Lalu kesemrawutan, bencana
non alam, pertikaian, pembunuhan, pencurian, dan kekacauan juga ikut terlihat
oleh mataku.
Langkah kakiku berlanjut ke suatu
tempat yang mestinya penuh dengan kehijauan dan keriangan satwa. Berharap disana
aku bisa memulihkan tenaga dari fisik dan bathinku. Tapi apa yang kudapati?
Mata ku terbelalak penuh ketidak percayaan. Terik matahari menusuk dengan tajam
dan panas, aroma menyengat dan kehangusan seakan memberangus hidungku untuk
bernafas. Dimana pohon-pohon yang berdiri kokoh? Dimana satwa yang berlari
dengan riang? Dimana kicauan-kicauan burung? Oh Tuhan. . . .
Kusaksikan semua.
Yang menjulang kokoh itu kini terjatuh di tanah, satwa-satwa berakhir dengan
ketagrisan. Gajah-gajah itu, yang kemarin menghentakkan tanah dengan gagah,
kini terbujur mengenaskan, tanpa gading, tanpa kepala. Macan –macan itu,
aumannya tak lagi menyegankan, ia kini hanya menjadi bangkai. Burung-burung
itu, senandung-senandung keceriaannya kini berganti menjadi senandung
keangkeran.
Aku menundukkan
kepala, walau tanpa kutundukkan rasanya kepalaku tetap akan tertunduk oleh
himpitan dari apa yang telah kusaksikan.
Air mataku
menitik, sedikit demi sedikit. . . . . . . . . . . . . . . . .
Duhai Pertiwi yang Permai
Inikah wajahmu kini?
Dimana cantikmu? Dimana anggunmu? Dimana
megahmu?
Duhai Pertiwi
Dimanakah engkau?
Aku merindukanmu . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . .
Aku siap dengan semuanya. Ya siap.
Aku akan menjadi pelayan yang baik. Aku tahu bahwa apa yang akan kulihat
setelah hari ini adalah hari-hari yang lebih mengerikan dari yang ada di
mimpiku. Aku tahu bahwa mereka berharap padaku. Aku tahu bahwa mereka
memilihku. Aku paham, bahwa aku bukanlah yang terbaik diantara mereka.
Pertiwi, aku akan berusaha untuk kembalikan
cantikmu, kembalikan anggunmu, kembalikan megahmu.
Mata orang-orang kini mengarah
kepadaku. Pandangan mereka penuh dengan pertanyaan mengenai apa yang akan
kulakukan serta harapan-harapan yang mereka titipkan. Walau tentunya ada yang
mencibir dan meragukanku. Meski sesungguhnya aku punya keraguan.
Seorang pria berpeci mendekatiku,
pakaiannya seperti daster berwarna gelap, ia tersenyum padaku. Al-Qur’an ia pegang diatas kepalaku. Manusia-manusia
yang menantikan detik-detik ini pun telah siap mendengarkanku.
.......
“Demi Allah saya
bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Dan hari ini, aku adalah pelayanmu duhai
Pertiwi. ‘Kan kupersembahkan kekuatanku untuk yang terbaik bagi segenap yang
mencintaimu.