contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Rabu, 09 April 2014


Pertiwi, pesonamu laksana nyiur melambai pada Raja Kelana. . . . .
Di puncak langit, mentari bersinar menyerahkan cahaya nan berbinar dalam keterikannya. Berlatar gedung-gedung yang menjulang, rerumputan membentang luas di hadapan netra,  diatasnya berdiri kokoh pepohonan hijau penyejuk yang mencengkram tanah-tanah tempat bervertikal. Manusia dengan hati penuh bahagia menikmati kondisi kesejukan dibawah keterikan itu, anak-anak berlari dengan kaki-kaki kecil mereka lalu tertawa dan ceria melekat dengan elok dalam kehidupan mereka. Hewan-hewan imut dan lucu tidak ketinggalan untuk bersenang senang, senandung burung-burung menggema seakan menyempurnakan kepermaian ini. Apalagi yang kurang? Ini jauh lebih indah daripada lukisan-lukisan mengenai keadidayaan yang dikata orang.
 Ini kita! Oh Tuhan, betapa sejuk mataku melihat ini semua. Namun bolehkah aku ikut menikmatinya bersama mereka?

Kugerakkan langkah kaki diatas rerumputan bak karpet ini menuju ke seantero negeri sampai kudapatkan sesuatu untuk kuperbuat, kulintasi setiap insan yang bermain, kupersembahkan senyumanku pada setiap mereka yang melihatku, dan mudah-mudahan juga kepada diri ini. Coba kutundukkan kepala untuk menghindar dari kepongahan, aku sama dengan mereka dan aku bukanlah siapa-siapa melainkan hanya seorang pelayan baru.
Ku hampiri seorang bocah laki-laki kecil yang hanya murung menyendiri, ku belai kepalanya yang ditutupi rambut hitam legam “Duhai anakku, kenapa engkau tidak bermain dan tertawa bersama teman-temanmu?” Aku mencoba bicara dengannya yang tetap saja menunduk dengan wajah yang telah sembab. Sedikit demi sedikit ia mulai melihatku “Tuan, ingin rasanya aku bermain bersama mereka, namun tahukah engkau bahwa aku tidak bisa bermain. Aku harus menghidupi adikku, orangtuaku telah tiada. Dan kini aku tidak tau harus apa”. Jawabannya mematikan lidahku, aku tidak tau harus berkata apa kepadanya. Dia tidak sendiri, ada banyak lagi yang bahkan lebih buruk.
Kulanjutkan langkahku, mencari mereka-mereka yang sekiranya membutuhkan sambung tangan dari siapa saja yang dapat memberi.  
Langkahku berhenti sementara di tengah keharuman singkong yang sedang digoreng, “pasti lezat” pikirku. Ku hampiri sumber aroma, sesosok ibu tua renta berada dibalik harumnya singkong ini. Rambutnya telah memutih dan kulitnya melegam, badannya sudah semakin berat untuk digerakkan, namun keringat kemuliaan dari usahanya menjadikan ia terhormat dimataku. “Mau beli singkong tuan?” Ah, suaranya yang sudah tidak keras menawarkan makanannya kepadaku, aku tidak punya alasan untuk menolak, ku terima dan kurasakan kelezatannya yang menggemai tubuhku.
“Ibu, dengan siapa berjualan?” Aku penasaran, sehingga pertanyaan itupun terlontar. “Sendiri saja tuan. Tapi alhamdulillah saya masih bisa menghidupi diri sendiri” Jawabnya. Pertanyaan lain yang akan segera menyusul ku telan kembali, kurasa aku sudah bisa memahami kehidupan Ibu Tua ini. Aku hendak melanjutkan perjalanan, kuciumi tangannya yang menyurga dan kusadari betapa rendah diriku dihadapan seorang wanita tua.
            Kakiku menyambung langkah menuju tempat berikutnya, di suatu tempat yang kumuh dan tidak terurus. Seorang pria tua terbaring lemah, ia tidak sanggup lagi berdiri karena penyakit yang dideritanya, seorang anak kecil yang bisa saja anak atau cucunya sering berada disampingnya untuk merawati. “Sudah lama bapak sakit?” Aku bertanya kepadanya. “Sudah lumayan tuan” Suaranya lemah. “kenapa tidak berobat pak?” Tanyaku lagi. Tapi Pak Tua itu tidak menjawab, ia hanya diam, menatap keatasnya,  memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Aku pun telah mengerti.
            Kuteruskan perjalananku, kusaksikan lagi bermacam ragam kisah manusia dan kehidupannya. Lalu kesemrawutan, bencana non alam, pertikaian, pembunuhan, pencurian, dan kekacauan juga ikut terlihat oleh mataku.
            Langkah kakiku berlanjut ke suatu tempat yang mestinya penuh dengan kehijauan dan keriangan satwa. Berharap disana aku bisa memulihkan tenaga dari fisik dan bathinku. Tapi apa yang kudapati? Mata ku terbelalak penuh ketidak percayaan. Terik matahari menusuk dengan tajam dan panas, aroma menyengat dan kehangusan seakan memberangus hidungku untuk bernafas. Dimana pohon-pohon yang berdiri kokoh? Dimana satwa yang berlari dengan riang? Dimana kicauan-kicauan burung? Oh Tuhan. . . .
Kusaksikan semua. Yang menjulang kokoh itu kini terjatuh di tanah, satwa-satwa berakhir dengan ketagrisan. Gajah-gajah itu, yang kemarin menghentakkan tanah dengan gagah, kini terbujur mengenaskan, tanpa gading, tanpa kepala. Macan –macan itu, aumannya tak lagi menyegankan, ia kini hanya menjadi bangkai. Burung-burung itu, senandung-senandung keceriaannya kini berganti menjadi senandung keangkeran.
Aku menundukkan kepala, walau tanpa kutundukkan rasanya kepalaku tetap akan tertunduk oleh himpitan dari apa yang telah kusaksikan.
Air mataku menitik, sedikit demi sedikit. . . . . . . . . . . . . . . . .

Duhai Pertiwi yang Permai
Inikah wajahmu kini?
Dimana cantikmu? Dimana anggunmu? Dimana megahmu?
Duhai Pertiwi
Dimanakah engkau?
Aku merindukanmu . . . . . . . .
 
. . . . . . . . .   . . . . .
 
            Aku siap dengan semuanya. Ya siap. Aku akan menjadi pelayan yang baik. Aku tahu bahwa apa yang akan kulihat setelah hari ini adalah hari-hari yang lebih mengerikan dari yang ada di mimpiku. Aku tahu bahwa mereka berharap padaku. Aku tahu bahwa mereka memilihku. Aku paham, bahwa aku bukanlah yang terbaik diantara mereka. 

Pertiwi, aku akan berusaha untuk kembalikan cantikmu, kembalikan anggunmu, kembalikan megahmu.
 
            Mata orang-orang kini mengarah kepadaku. Pandangan mereka penuh dengan pertanyaan mengenai apa yang akan kulakukan serta harapan-harapan yang mereka titipkan. Walau tentunya ada yang mencibir dan meragukanku. Meski sesungguhnya aku punya keraguan.
            Seorang pria berpeci mendekatiku, pakaiannya seperti daster berwarna gelap, ia tersenyum padaku.  Al-Qur’an ia pegang diatas kepalaku. Manusia-manusia yang menantikan detik-detik ini pun telah siap mendengarkanku.
.......
“Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Dan hari ini, aku adalah pelayanmu duhai Pertiwi. ‘Kan kupersembahkan kekuatanku untuk yang terbaik bagi segenap yang mencintaimu.





| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI