Sejak dulu
saya adalah orang yang jarang meminjam buku, apalagi dalam waktu yang lama. Hal
demikian adalah karena saya lebih suka membeli buku, ketimbang meminjamnya.
Saya memang gemar menukar uang dengan buku meskipun saya bukan seorang kutu
buku.
Saya lebih
senang membeli buku sebenarnya bukan karena saya punya banyak uang atau selalu
meminta kepada orangtua agar dibelikan buku (orangtua biasanya akan mencarikan berapapun
uang untuk membeli buku, kan?), walau buku-buku saya banyak yang didapat dari
hasil “mengemis” kepada orangtua. Sejak sekolah dulu saya sadar (banyak gaya
ya?) bahwa ilmu pengetahuan itu mahal, apalagi untuk sekolah dan kuliah.
Jujur, saya merasa
miris melihat banyak kids jaman now yang perhitungan banget untuk
beli buku. Ingin yang paling murah dan kalau bisa gratis. Bahkan pernah saya
lihat ada yang merengek karena jurnal yang dia cari semuanya berbayar, tidak
bisa begitu saja disimpan lalu dicetak dan dibaca. Memang bahwa tidak semua kita
dibekali kemampuan ekonomi yang mumpuni, tapi jangan lupakan bahwa kita ini
manusia, makhluk paling cerdas yang ada di alam semesta. Kita diberi power
untuk berjuang, dan diberi akal untuk berpikir.
Bagi saya
membeli buku (setidaknya punya niat beli buku) itu harus, kenapa?
Posted in :
Artikel,
Inspirasi
Sebelum membaca tulisan ini, saya
ingin memberitahu pembaca bahwa saya hanya ingin bercerita melalui rangkaian
kata-kata sederhana tentang sekelumit kisah hidup saya di masa lalu. Cerita ini
serius, dan mungkin dibumbui kata-kata berbau drama, tapi saya hanya ingin
manfaat bagi para pembaca. Bila ada sesuatu yang tidak berkenan, mohon untuk
protes langsung ke saya, jangan bully saya di media sosial, apalagi jika
itu sampai membuat saya terkenal, he…he…he… bercanda.
-------
Pada zaman dahulu kala,
puluhan purnama yang lalu, sewaktu duduk di bangku kelas 3 SD, saya dimasukkan
oleh orangtua ke Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tempat saudara-saudara sepupu
saya juga belajar agama. Harapannya jelas mulia, agar anaknya tumbuh beragama
dan mengenal agama. Awalnya mereka berharap saya masuk MDA pada kelas 2 SD,
namun apa daya, kala itu saya belum siap untuk menikah, eh sekolah MDA.
Posted in :
Artikel,
Inspirasi
“Ibu, kenapa akhir-akhir ini ayah
sering telat pulang kerja?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari
mulut kecil Vira. Tidak seperti biasanya, ayahnya yang seorang dosen hampir
setiap hari pulang larut malam. Vira yang begitu dekat dengan ayahnya mulai
merasa kehilangan, dan bermain hanya dengan ibunya membuat Vira merasa ada
sesuatu yang hilang.
“Ayah sedang punya banyak pekerjaan.
Dia akan presentasi Senin besok di hadapan banyak orang,” Ibu Vira menjawab
pertanyaan anaknya sambil memotong sayur-sayuran yang akan ia masak.
“Ehm, presentasi itu apa, ibu?”
Ibu Vira menghentikan pekerjaannya
dan tersenyum sedangkan matanya menangkap pemandangan taman dari jendela dapur.
Ia seakan lupa untuk menggunakan bahasa yang sederhana untuk memberi penjelasan
kepada anaknya yang bahkan belum masuk ke sekolah dasar.
“Vira,” sapa Si Ibu sambil menunduk
dan memegang kepala putrinya, “Ayah akan bicara kepada banyak orang tentang
pekerjaannya, apa yang nanti mau disampaikan Ayah adalah sesuatu yang sangat
penting, makanya Ayah sangat sibuk dan sering pulang malam.”
Vira mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Ibunya. Ia mencoba mengerti, walau untuk anak seusianya tetap saja
segala sesuatu harus tampak secara jelas.
“Siang ini Ibu akan mengantar
beberapa berkas Ayah yang ketinggalan. Vira ikut ya, supaya Vira tahu tempat
Ayah bekerja,” Ibu Vira senyum lagi kepada anaknya, dan tangannya sedari tadi
belum beranjak dari puncak kepala anaknya.
Mendengar ajakan Ibunya, Vira sangat
kegirangan. Seumur hidup ia belum pernah melihat tempat kerja ayahnya, dan
momen yang akan ia rasakan sebentar lagi seakan menjadi karunia yang begitu
menyenangkan hatinya.
Posted in :
Cerpen,
Inspirasi