contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Bergores Coretan

Minggu, 13 November 2022

 

Ada banyak tempat di dunia ini yang pernah membuat hatiku merasa nyaman dan merasa diterima. Namun, dari banyaknya tempat itu ada satu tempat yang begitu aku kenang dan aku sayang: Tomodachi Nihon-go no Gakko.

 

Tomodachi adalah sebuah kursus bahasa Jepang yang ada di Pekanbaru. Aku menjadi murid di sana pada Januari 2018, ketika aku sedang candu-candunya dengan Jepang dan begitu ingin pergi ke Jepang. Banyak momen-momen indah yang terpatri begitu kuat di dalam hatiku, dan setiap foto-foto selama aku kursus di sana sama sekali tidak pernah kubuang.

 

Aku memilih hari Sabtu untuk menjalani kursus di sana, hari yang begitu kusuka. Aku mulai kursus pukul 13.30 dan berakhir pada pukul 16.30. Panjang memang, tetapi tidak pernah membosankan. Nyaris tidak pernah aku bolos, kecuali ketika sedang pergi ke Singapura dan Jepang. Jangan tanya kenapa, alasannya hanya satu kata: cinta.

 

Di sana, aku merasakan bagai merasakan sepotong kecil suasana Jepang yang paling kucintai: sepi dan tenang. Sulit menjelaskan definisi tenang dalam standarku, karena tenang menurutku sendiri tidak mesti tanpa suara. Bahkan dalam keramaian pun, rasa sepi dan tenang bisa dirasakan dan dinikmati. Di Tomodachi, aku mendapatkan semuanya.

 

Sayang, pandemi covid sialan yang menghantam seluruh dunia membuat masa-masa indah di Tomodachi harus berakhir. Awal 2020, pandemi membuat kami harus belajar secara daring dan itu begitu menyiksa. Hingga akhirnya, pada awal 2021 aku memutuskan untuk berhenti dari Tomodachi. Sebuah keputusan berat yang membuat hatiku menangis.

 

Meski masa-masa indah itu telah berakhir, tetapi aku tidak pernah melupakan Tomodachi. Terlalu banyak keindahan dan ilmu yang aku dapatkan, dan yang paling berkesan tentu ketika aku menemukan pasangan hidup di sana. Namun, dari lubuk hati yang terdalam aku begitu ingin kembali ke sana pada waktu yang benar-benar pas. Ketika rasa cinta akan Jepang kembali membuncah dan dapat tersalurkan, aku ingin kembali. Entah apa tujuannya nanti, asalkan baik, aku ingin kembali. Natsukashii Tomodachi. Subete no memori wa, itsumo kokori aru, ima ga omoide ni kawattemo.

Read More..
0
Jumat, 11 November 2022

Berikut ini ada empat orang penulis yang memiliki sebuah fakta menarik. Coba disimak, ya.

 

Imam Bukhari

Beliau adalah seorang ulama yang punya julukan Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin orang-orang beriman dalam ilmu hadits). Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, lahir di Bukhara, 21 Juli 810M (13 Syawal 194H).

Karya beliau yang paling terkenal dan paling agung tentulah Al-Jami’ Ash-shahih atau yang lebih familiar dengan nama Shahih Bukhari. Kitab berisi kumpulan hadits-hadits yang berderajat shahih. Untuk menulis karya ini, Imam Bukhari diriwayatkan membutuhkan waktu hampir dua dekade.

Fakta menarik dari Imam Bukhari adalah, ternyata ketika lahir beliau sama sekali tidak hafal hadits dan tidak pula bisa menulis ketika baru lahir.

 

J.K. Rowling

Nama aslinya Joanne Rowling, lahir di sebuah kota kecil, Yate, Inggris, pada tanggal 31 Juli 1965. J.K. Rowling tentu sudah tidak asing namanya di seluruh dunia berkat karya Harry Potter yang mengantarkannya menjadi penulis terkaya di dunia dengan penjualan lebih dari 500 juta copy.

Fakta menarik dari penulis wanita ini adalah, ide tentang Harry Potter ternyata bukan ide yang ia bawa sejak lahir. J. K. Rowling baru mendaptkan ide cerita ketika ia telah berusia 33 tahun dan bekerja di sebuah organisasi HAM.

 

Agatha Christie

Siapa yang tidak kenal dengan tokoh detektif Hercule Poirot dan Miss Marple? Dua tokoh detektif ciptaan seorang wanita yang kalau seluruh tulisannya ditumpuk maka tingginya akan melebihi menara Eiffel: Agatha Mary Clarissa Christie.

Ada sebuah fakta menarik dari Agatha, yakni kenyataan bahwa ia tidaklah terlahir sebagai seorang penulis saat menghirup udara pertamanya di dunia. Ia butuh waktu bertahun-tahun untuk belajar membaca, menulis cerita-cerita sederhana hingga akhirnya mampu bermain kata hingga menjadi penulis cerita detektif nan fenomenal.

 

Higashino Keigo

Di era modern, Keigo bisa dibilang sebagai salah satu penulis cerita detektif terbaik di dunia. Karya-karyanya sudah diakui dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Ada juga yang sudah diadaptasi ke dalam sebuah film.

Salah satu sisi menarik Keigo adalah, bahwa dirinya tidak mendapatkan gelar penulis terbaik itu sejak lahir.

 

Keempat penulis yang dicantumkan dalam postingan ini memiliki kesamaan, bahwa pencapaian mereka tidak diraih ketika baru lahir. Ada proses pembelajaran panjang, ternyata, yang membawa mereka sampai pada puncak karier. Begitu, ya.


Read More..
0
Selasa, 08 November 2022

Sedekah secara sederhana merupakan perilaku berbagi yang sifatnya tidak wajib sebagaimana zakat. Sedekah maknanya sangat luas, tidak melulu diimplementasikan melalui pemberian atau pembagian materi, sedekah bisa melalui pembersihan jalan dari paku bahkan sekadar tersenyum juga dapat dianggap sedekah.

 

Sedekah adalah perilaku yang sangat diagungkan oleh semua agama, bahkan perilaku ini bagai sesuatu yang sudah terporgram secara otomatis di dalam konsep penciptaan manusia. Tidak heran, selalu ada orang-orang yang memosisikan dirinya sebagai filantropi, yang mereka berasal dari latar agama berbeda-beda. Bahkan ada pula orang yang mengaku tidak beragama tetapi merasa terpanggil untuk bercinta kasih kepada sesama melalui kekuatan yang ia miliki.

 

Kalau setiap perbuatan pasti didasari dengan niat, maka tentulah perilaku sedekah yang dilakukan banyak orang memiliki niat berbeda-beda. Oke, niat bukanlah urusan manusia. Namun perilaku sedekah biasanya mencerminkan kualitas niat yang dimiliku pelakunya. Semakin kuat pemahamannya bahwa sedekah adalah sesuatu yang agung, maka akan ada kemuliaan yang teriring dalam objek sedekahnya.

 

Contoh, Islam melalui Nabi Muhammad Saw. telah mencontohkan bagaimana sedekah yang baik. Oke, mustahil bisa mencontoh beliau yang kalau dibaca sejarah maka akan kita dapati bahwa tidak satu pun orang pulang dengan tangan hampa ketika meminta bantuan kepada Nabi Muhammad. Kita mungkin tidak sekaya Nabi, dan hati kita jelas tidak sebersih beliau. Maka kita bisa belajar dari konsep yang telah beliau ajarkan dan bagaimana sahabat-sahabat serta keluarga beliau melakukannya.

 

“Berikan ia pakaian yang sama dengan pakaian yang kau berikan pada Hasan dan Husain.” Begitulah kira-kira perintah Sang Nabi kepada Fatimah ketika beliau membawa pulang seorang anak yatim yang bersedih pada hari raya Idulfitri. Anak itu beliau sayang dan beliau beri makan sebagaimana makanan keluarganya. Kata Allah, “Engkau tidak akan sampai pada kebaikan yang sempurna sebelum kau menafkahkan sebagian harta yang kau cintai.”

 

Konsep sedekah Nabi adalah pemberian yang tulus tanpa mengharap balasan yang dalam ilmu psikologi biasa disebut dengan altruisme. Nabi, ketika memberi, selalu memuliakan orang yang ia beri baik melalui gerakan dan lisannya maupun melalui pemberiannya. Sehingga terpujilah beliau dengan kalimat, “Rasulullah Saw. lebih dermawan daripada angin yang berhembus.”

 

Sedekah yang diajarkan Sang Nabi bukanlah sedekah “pelepas utang” alias sekadar memberi. Nabi dan para sahabatnya selalu memberi dengan barang yang baik bahkan yang paling mereka cintai. Begitulah parameter kualitas niat sedekah mereka, tampak pada perilaku sedekah.

 

Maka sungguh, janganlah bersedekah dengan niat sekadar melepas utang. Bersedekahlah dengan rasa cinta pada sesama, lebih-lebih rasa cinta kepada Allah. Maka akan mudah bagi kita menyedekahkan makanan semahal makanan yang kita makan. Akan ringan tangan membelikan baju untuk anak fakir miskin sebagaimana baju yang dipakai anak-anak kita. Akan mudah bagi kita membelikan peralatan sekolah kepada anak-anak yatim dan miskin sebagaimana peratalan yang kita belikan untuk anak-anak kita. Akan ringan hati ketika berbagi barang mahal yang kita punya kepada orang yang mungkin tidak seberuntung kita, agar ia bisa merasakan barang mahal itu juga. Saat membahagiakan orang lain telah menjadi kesenangan di hati, maka ketika ada kenduri, pesta atau hajatan, maka kita akan alokasikan sebagian besar dana untuk menyajikan makanan terbaik, semata-mata agar para tamu yang terdiri dari berbagai macam kelas itu sama-sama merasakan makanan yang enak. Sedekah adalah realisasi rasa cinta, bukan bentuk penghinaan: mentang-mentang yang diberi adalah orang miskin, maka berikan yang sekadarnya saja. Jangan sampai sedekah kita justru menjadi sebuah penghinaan.

 

Ketika “mengorbankan” yang kita punya saja hati kita bisa senang, maka hal-hal lainnya dalam hidup ini akan lebih mudah untuk membuat kita senang. Kesenangan yang murni itulah yang akan melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk membuat ayam goreng ala Amerika yang enak, ada proses marinasi yang harus dilalui. Untuk membiasakan perilaku memberi, ada proses yang harus dijalani. Wallaahu a’lam.

 

 


Read More..
0
Minggu, 06 November 2022

 

“Subhanallah.” Papa sontak terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih bersih, matanya menusuk hati dan gerakannya memesona.

 

            “Ma, di rumah sebelah ada penghuni baru, ya? Tadi Syifa ketemu dia waktu pulang sekolah dengan Fatma di tempat Pak Dedi.” Syifa menanyakan tentang Firman pada ibundanya.

“Kenapa memangnya, Syifa? Iya, dia keponakan pak Fendi.” Ibunya menjawab dengan santai sambil memotong buah mangga di tangannya.

“Dia juga bayarkan minuman Syifa dengan Fatma.”

“Ya, syukur alhamdulillah kalau gitu.” Ibu Syifa terus mengupas kulit mangga, kemudian memotong daging buah itu dan meletakkannya di piring.

“Tapi herannya dia melihat Syifa lebih sering daripada Fatma. Setiap berbicara tatapannya selalu mengarah ke Syifa.” Syifa bercerita sambil tersenyum dan tersipu, rona wajahnya mulai memerah,dia juga ganteng.

 “Jadi kalau dia menatap kamu terus kamu merasa cantik?”

“Ya, bukan begitu, Ma, tapi aneh saja rasanya ditatap dengan tatapan seperti itu.” Syifa mencoba membela dengan halus.

“Bukan perkara ditatapnya Syifa, tatapan yang begitu kurang baik, apalagi lelaki itu belum terlalu mengenalmu.” Ibunya tersenyum.

“Menurut aku sih wajar untuk seusia aku. Bahkan teman-teman aku sudah ada yang pacaran.” Syifa menjawab dengan memaparkan fakta disekitar lingkungannya. “Mama juga pernah muda, kan?”

Ibu Syifa terus sabar dalam menghadapi anaknya yang mulai mengenal lawan jenis. “Syifa, seusia kamu jatuh cinta itu memang wajar. Mama juga pernah merasakan itu. Tapi bukan berarti boleh melampiaskan rasa itu dengan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Berhubungan dengan lawan jenis itu boleh, tetapi ada aturannya. Tidak dengan sesuka hati seperti yang kamu lihat di sekitar kamu.”

Tangan Syifa mengambil sepotong buah mangga berwarna oren kemerahan, menyuapkan ke mulutnya yang masih berasa pedas karena masakan ibunya.

 

----------

 

            “Mungkin sudah saatnya kamu pakai kerudung.” Suara berat ala Papa Syifa dengan halus merayu anaknya agar segera mulai berkerudung.

“Kamu sudah dewasa, kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Syifa mengerinyitkan alisnya. “Tapi Syifa belum siap, Pa. Belum siap. Jadi ….”

Pakai kerudung tidak mesti menunggu siap atau tidak siap, sayang.” Ibu mengelus rambut hitam Syifa yang hitam legam sampai ke punggung. Selama ini Syifa memang tidak pernah dipaksakan oleh orangtuanya untuk berkerudung, sehingga ketika hal itu diperintahkan, terasa olehnya sebagai sesuatu yang aneh.

            “Kalau bukan sekarang, kapan lagi Syifa mau pakai kerudung? Kan sudah dewasa, tidak baik kalau menunda-nunda.” Papa Syifa terus melobi dengan suaranya yang berat tapi rendah.

“Syifa belum siap, Pa.” Syifa terus menolak.

“Belum siapnya di mana, sayang?” Papanya belum menyerah.

“Ya Syifa belum ada keinginan untuk itu, teman-teman juga masih ada yang belum berkerudung.

“Fatma saja sudah, kamu kapan, Syifa? Tidak baik menunda-nunda. Berkerudung itu suatu kewajiban bagi setiap muslimah.” Papa mulai mengerinyitkan dahinya.Dengan kamu mulai memakainya, lama-kelamaan kamu akan siap. Tidak mesti menunggu siap.”

            Syifa hanya terdiam, ia tetap menolak dari hatinya untuk menggunakan kerudung. Disaat remaja seusianya masih asyik mengeksiskan diri dengan kecantikan, ia merasa kerudung akan membuat penampilannya terganggu, baginya, mengekspresikan diri bagi seorang remaja adalah hal yang wajar, semua orang pernah muda.

“Pokoknya Syifa belum siap.” Syifa tetap saja berkeras hati dengan sikapnya.

“Mati juga tidak akan bertanya kamu belum siap atau tidak.” Papa Syifa mulai berkeruh hati menghadapi anak perempuannya. Sementara mama Syifa menggelengkan kepala pertanda isyarat kepada Papa agar menghentikan pembahasan kerudung, sebelum suasana menjadi panas.

“Ya sudah kalau belum siap, tak apa-apa. Mungkin kamu bisa pelajari dahulu.” Mama Syifa memilih mundur untuk pembicaraan saat ini, terlalu gegabah memaksakan langsung kepada Syifa yang sifatnya sedikit keras kepala.

            Sikap Syifa berbeda dengan adik laki-lakinya, Dira. Dira cenderung lebih penurut dan tidak suka membantah. Ia terkesan tenang dan lebih banyak diam meski terkadang gaya bicaranya seperti orangtua.

“Kalau tidak mau, ya sudah. Jangan seperti itu wajahnya. Jelek.” Dira menyindir Syifa tanpa melihat sedikit pun, matanya asyik membaca tulisan-tulisan di buku yang ia baca.  

“Kamu diam saja. Tidak usah ikut campur.” Syifa yang kesal mulai memarahi adiknya.

“Sudah cukup. Tidak usah dibahas!” Suara mama mendiamkan semuanya, sepakat untuk tidak membahas masalah kerudung lagi, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan.

 

---------------

 

            “Harus sabar, Pa, jangan buru-buru. Papa tahu Syifa anak yang keras. semakin kita keras dia akan semakin keras pula. Lebih baik kita sabar. Insyaallah nanti hatinya akan terbuka.” Mama Syifa memberitahu Papa ketika mereka tinggal berdua, disaat semua telah tertidur lelap.

“Mama benar, semua butuh proses, hanya saja tidak baik berlama-lama. Dia sudah dewasa. Mungkin ini salah kita juga yang tidak membiasakannya sejak dahulu.”

Mama yang pembawaan selalu lembut tersenyum pada suaminya, merebahkan badannya di ranjang, menutup hari yang lelah.

 

--------------

 

Keesokan harinya di sekolah

            Fatma adalah yang paling dekat dengan Syifa, bisa dibilang sahabat terbaiknya. Fatma sebagai tempat mencurahkan segala cerita setelah keluarganya. Berbeda dengan Syifa, Fatma telah berkerudung sedari menduduki bangku SMP, ia tak pernah melepas kerudungnyanya dan selalu menjaga pandangannya kepada lawan jenis.

            “Fat, tadi malam orangtuaku menyuruh aku pakai kerudung.” Syifa membuka cerita di kelas ketika jam istirahat.

“Ya, bagus itu, Syif. Kamu kan sudah dewasa.”

“Yah … kamu sama saja dengan mereka.” Syifa sedikit kecewa mendengar tangapan dari sahabatnya itu.

Tapi kenapa kamu sejak dulu selalu berkerudung? Karena orangtuamu memaksa?” Syifa menyelidik.

“Enggaklah, Syif, aku pakai karena kesadaran aku. Bahkan orangtua aku tidak pernah memaksakan. Bagi aku berkerudung itu sebagai identitas seorang muslimah.” Penjelasan yang sederhana dari Fatma membuat Syifa hanya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi hatinya belum tergugah untuk berkerudung pula.

“Berkerudunglah Syif, nanti asyik, kok. Manfaatnya banyak,rayuan coba diutarakan Fatma pada Syifa, berharap sahabatnya mau mendengarkan.

“Iya, Fat, tapi mungkin bukan sekarang. Aku masih belum siap sepenuhnya.”

“Perlahan-lahan saja, Syif. mungkin setiap hari jumat kamu bisa pakai, semuanya butuh proses.”

Ajakan Fatma kali ini sedikit menggoyahkan Syifa, mungkin ada baiknya ia mencoba, pikirnya.

“Boleh juga, Fat, besok aku coba. Tapi nanti komentar orang pasti aneh. Syifa lagi-lagi ragu.

“Jangan dengarkan kata orang selagi yang kamu lakukan benar.

Syifa mengangguk-angguk mendengar omongan Fatma. Timbul rencana dalam hatinya untuk berkerudung, minimal mencobanya hari jumat esok.

 

-----------

 

Di hari Jumat ...

            Subhanallah ....” Papa sontak terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih bersih, matanya menusuk hati, dan gerakannya memesona. Tapi bukan itu yang membuat papa terkejut, melainkan kerudung yang menutupi kepalanya.

Ada apa ini?” Papa bertanya kepada anaknya itu.

“Gak ada apa-apa, Pa. Cuma mau mencoba saja. Lagi pula ini hari jumat,” jawab Syifa dengan cuek.

“Oh, begitu. Syukurlah kalau memang Syifa mau mencobanya. Mudah-mudahan berkelanjutan.”

“Begitu, kan, cantik, sayang.” Mama memuji Syifa sambil membelai kepala sang anak.

“Tapi Syifa belum siap untuk setiap saat memakainya.”

“Iya, tidak apa sayang, yang penting kamu mau mencobanya. Perlahan-lahan saja. Yaudah, sarapan sana.” Mama memerintah dengan lembut.

            Selesai, sarapan Syifa dan Dira berangkat ke sekolah diantar oleh pak Imran, tetapi biasanya ketika pulang Syifa lebih memilih berjalan kaki bersama Fatma, mengingat jarak antara sekolah dan rumahnya yang tidak jauh. Hati Syifa penasaran, komentar apa yang akan diberikan teman-temannya ketika melihat penampilan dirinya yang berbeda untuk pertama kali.

 

Di sekolah …

            Kaki Syifa melangkah menyusuri jalan menuju kelasnya, hatinya bertanya-tanya apakah ada orang yang melihatnya dengan aneh. Sesampainya di depan pintu kelas berwarna cokelat tua …., “Cieeeee …. ada yang berbeda hari ini.” Fatma mengejutkan. Seisi kelas tersenyum dan berkata hal yang sama dengan Fatma. Syifa berusaha menahan senyum, berjalan menuju mejanya di baris pertama tepat di depan meja guru.

“Kalau begitu kamu, kan, cantik, Syif.” Fatma sedikit tertawa mengucapkannya.

“Jelek, ya?” Syifa tidak percaya diri.

Cantik banget malah, Syif. Biasanya yang pakai kerudung itu cantik-cantik orangnya.” Fatma menyemangati perubahan Syifa. Syifa hanya tersenyum tipis.

            Bel berbunyi, rutinitas setiap hari jumat, sekolah mengadakan acara imtaq, singkatan dari iman dan taqwa, sebagai acara rohani bagi siswa-siswi yang beragama Islam. Syifa dan Fatma duduk di barisan paling depan. Hari ini kelas yang bertugas mengisi acara adalah kelas X-A.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh ....” Salam diucap oleh dua orang protokol ketika memulai dan menutup acara.

“Fat, yang jadi protokol itu siapa, ya?” Tiba-tiba, timbul rasa ingin tahu Syifa terhadap seorang protokol dalam acara imtaq yang baru saja selesai saat kembali menuju kelas.

“Protokol yang mana, Syif? Ada dua.

“Protokol yang di sebelah kanan, Fat.

“Sebelah kanan mana? Kalau di sebelah kananku berarti sebelah kiri mereka, kalau sebelah kanan mereka berarti sebelah kiriku.” Fatma masih belum mengerti.

“Aduh, di sebelah kanan kamu!” Syifa semakin ngotot.

“Oh, itu Andri. Dulu satu SD denganku. Kenapa, Syif?”

Tidak apa-apa, sih, Fat.”

“Oh, ya, Syif. Kamu mau jadi anggota ekstrakurikuler Rohani Islam? Kebetulan aku anggota Rohis. Kalau kamu mau, biar aku bantu masuk.” Tiba-tiba Fatma menawarkan sesuatu yang cukup membuat Syifa tertarik.

 “Kegiatannya apa saja Fat?” tanya Syifa.

“Tentunya yang berhubungan dengan Islam, terutama aqidah. Nanti kamu bisa tanya-tanya soal kerudung, jilbab, dan hijab.” Fatma semakin meyakinkan Syifa.

“Kegiatanya hari apa aja? Soalnya aku malas kalau sering-sering,” tanya Syifa malas.

“Setiap hari jumat untuk yang perempuan, kalau yang laki-laki hari kamis siang.”

Syifa berpikir sejenak hingga ia duduk di kursinya. “Boleh deh, Fat, tapi aku mulai ikut kegiatannya minggu depan, ya.

“Boleh. Apa sih yang enggak buat kamu, Syif?”

“Eh iya, soal yang tadi ....” Syifa mengembalikan topik pertanyaan, kali ini ia membisikkan suaranya.

Yang tadi? Andri?” Tanya Fatma.

Syifa tersenyum. Mukanya memerah. “Iya.”

“Kamu tiba-tiba kasmaran dengan dia?”

Mendengar ucapan itu Syifa langsung menutup mulut Fatma. “Sttt!. Cuma penasaran aja, kok.” Fatma mengangguk-angguk setuju.

Read More..
0
Sabtu, 05 November 2022

 

Matahari bersinar cerah seiring dengan langkah insan yang bertebaran di muka bumi. Walau panas menyengat, hembusan angin ringan membuat para dedaunan bergerak riang dalam damai. Di sekitarnya, beberapa pedagang gerobak menjajakan makanan demi sesuap makanan pula bagi diri mereka, sesekali pengendara sepeda motor ataupun mobil melintasi jalanan. Derap langkah cepat bersama menghentak aspal jalanan yang sepi dan memang selalu sepi.

“Syifa! Tunggu, kita makan dulu yuk!” ucap Fatma memanggil Syifa yang berjalan lebih dulu beberapa langkah darinya.

“Enggak usah, Fat, aku belum lapar. Kamu saja yang makan kalau memang sudah lapar. Aku nanti makan di rumah.” Gadis yang satunya itu menolak dengan halus disertai lakaran senyum di bibirnya.

“Hmm ... kalau begitu tidak usah, Syif, tapi kita beli air kelapa muda yang di dekat rumah kamu saja.

“Wah kalau itu boleh, Fat. Kebetulan aku lumayan haus.

Mereka melangkahkan kaki menuju pedagang kelapa muda yang letaknya di dekat persimpangan jalan, tidak jauh dari rumah Syifa

“Kalian anak-anak di sini, ya?” Seorang pemuda yang tengah menikmati kelapa muda tiba-tiba bertanya kepada Syifa dan Fatma. Pemuda itu berperawakan layaknya seorang mahasiswa, memakai kemeja lengan pendek berwarna merah, bahunya cukup lebar, suaranya lembut untuk ukuran laki-laki.

“Iya, Kak. Kenapa, Kak?” Syifa menjawab pertanyaan mendadak itu disertai rasa heran

“Oh, tidak apa-apa. Kakak orang baru disini. Kamu anak Pak Ardi, kan, Assyifatu Haifa? Dan teman kamu itu namanya Fatma?”

“Lho? Kok kakak tahu?” Syifa semakin heran

“Tahu, dong! Kakak tinggal di sebelah rumah kamu. Kakak keponakannya Pak Fendi, baru pindah dari Bukittinggi.”

“Bukan itunya, Kak, maksud aku kenapa kakak bisa tahu nama kami, aku anak siapa dan di mana aku tinggal?”

“Kalau cuma nama, kan, ada di seragam kalian. Hahaha. Kalau soal yang lain, tentu kakak tahu. Kakak, kan, paranormal.” Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Tak jauh, Pak Dedi si pedagang kelapa muda melirik sambil tersenyum lebar melihat tingkah si pemuda.

“Ha?” Syifa semakin heran dengan pria di hadapannya.

“Bukan-bukan. Tadi kakak berkunjung ke rumah kamu, lalu kakak melihat foto kamu di ruang tamu. Makanya kakak tahu. Si Pemuda menjelaskan pengetahuannya langsung setelah melihat wajah Syifa semakin terheran.

“Oh. bilang dong, kak, dari tadi. Jadinya, kan, gak bikin bingung.

Sementara Syifa dan pemuda asyik berinteraksi, Fatma hanya bingung dengan apa yang ia hadapi, ia hanya meneguk air kelapa mudanya.

“Berapa, Pak? Sekalian sama anak berdua ini, ya.” Pemuda itu beranjak menuju Pak Dedi dan membayarkan Syifa dan Fatma.

“Gak usah kak, gak usah.” Syifa mencoba melarang pemuda itu.

“Tidak apa-apa, anggap aja salam perkenalan. Kalau cuma kenalan siapa namamu udah basi.” Si pemuda tak mengindahkan larangan Syifa, ia langsung beranjak menuju motornya. “Oh, ya, nama kakak Firman. Salam buat orangtua kamu,” lanjutnya.

“Eh iya, terima kasih banyak, Kak. Syifa dan Fatma hanya terheran melihat tingkah pemuda itu. Terkesan lancang dan semaunya, tapi, ya, sudahlah, pikir Syifa.

“Aku pulang, ya, Syif.” Fatma berpamitan.

“Iya, Fat, hati-hati, ya.”

 

----------------------------------

 

            “Assalamualaikum.” Langkah kaki kanan Syifa memasuki rumahnya.

“Wa’alaikumussalam,” sahut Ibunya. Segera Syifa menyalami dan mencium tangan sang ibunda. Itulah kebiasaan yang seolah sudah menjadi kebutuhan bagi anak pertama dari dua bersaudara ini. Ia selalu mencium tangan kedua orangtuanya ketika hendak meninggalkan rumah dan menyalaminya kembali ketika pulang.

            Ibundanya mengelus rambut hitam berkilau Syifa, “Sudah sana, ganti baju, jangan lupa Dzuhur. Setelah itu makan.”

“Iya, Ma,balas Syifa dengan senyum sambil bergerak menuju kamarnya.

            Syifa mengganti pakaian seragam sekolahnya, kemudian mengambil air wudu dan mengembangkan sajadah. Ia hadapkan wajahnya ke arah kiblat disertai takbir “Allahu akbar” memberikan ruhaninya kedekatan kepada Yang Maha Menciptakan.

Read More..
0
Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI