“Subhanallah.” Papa sontak
terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih
bersih, matanya menusuk hati dan gerakannya memesona.
“Ma, di rumah
sebelah ada penghuni baru, ya? Tadi Syifa ketemu dia waktu pulang sekolah
dengan Fatma di tempat Pak Dedi.” Syifa menanyakan tentang Firman pada
ibundanya.
“Kenapa memangnya, Syifa? Iya, dia keponakan pak Fendi.” Ibunya menjawab
dengan santai sambil memotong buah mangga di tangannya.
“Dia juga bayarkan minuman Syifa dengan Fatma.”
“Ya, syukur alhamdulillah kalau gitu.” Ibu Syifa terus
mengupas kulit mangga, kemudian memotong daging buah itu dan meletakkannya di
piring.
“Tapi herannya dia melihat Syifa lebih sering
daripada Fatma. Setiap berbicara tatapannya selalu mengarah ke Syifa.” Syifa bercerita
sambil tersenyum dan tersipu,
rona wajahnya mulai memerah, “dia juga ganteng.”
“Jadi kalau dia
menatap kamu terus kamu merasa cantik?”
“Ya, bukan begitu, Ma, tapi aneh saja rasanya ditatap
dengan tatapan seperti itu.” Syifa mencoba membela dengan halus.
“Bukan perkara ditatapnya Syifa, tatapan yang begitu kurang baik, apalagi lelaki itu belum
terlalu mengenalmu.” Ibunya tersenyum.
“Menurut aku sih wajar untuk seusia aku. Bahkan
teman-teman aku sudah ada yang pacaran.” Syifa menjawab dengan memaparkan fakta disekitar
lingkungannya. “Mama juga pernah muda, kan?”
Ibu Syifa terus sabar dalam menghadapi anaknya yang
mulai mengenal lawan jenis. “Syifa, seusia kamu jatuh cinta itu memang wajar. Mama juga pernah
merasakan itu. Tapi bukan berarti boleh melampiaskan rasa itu dengan sesuatu
yang dilarang oleh Allah. Berhubungan dengan lawan jenis itu boleh, tetapi ada
aturannya. Tidak dengan sesuka hati seperti yang kamu lihat di sekitar kamu.”
Tangan Syifa mengambil sepotong buah mangga berwarna
oren kemerahan, menyuapkan ke mulutnya yang masih berasa pedas karena masakan ibunya.
----------
“Mungkin sudah
saatnya kamu pakai kerudung.” Suara berat ala Papa Syifa dengan halus merayu anaknya agar segera
mulai berkerudung.
“Kamu sudah dewasa, kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Syifa mengerinyitkan alisnya. “Tapi Syifa belum siap,
Pa. Belum siap. Jadi ….”
”Pakai kerudung tidak mesti menunggu siap atau tidak siap, sayang.” Ibu mengelus rambut hitam Syifa yang
hitam legam sampai ke punggung. Selama ini Syifa memang tidak pernah dipaksakan
oleh orangtuanya untuk berkerudung, sehingga ketika hal itu diperintahkan,
terasa olehnya sebagai sesuatu yang aneh.
“Kalau bukan
sekarang, kapan lagi Syifa mau pakai kerudung? Kan sudah dewasa, tidak baik kalau
menunda-nunda.” Papa Syifa terus melobi dengan suaranya yang berat tapi rendah.
“Syifa belum siap, Pa.” Syifa terus menolak.
“Belum siapnya di mana, sayang?” Papanya belum menyerah.
“Ya Syifa belum ada keinginan untuk itu, teman-teman juga
masih ada yang belum berkerudung.”
“Fatma saja sudah, kamu kapan, Syifa? Tidak baik
menunda-nunda. Berkerudung itu suatu kewajiban bagi setiap muslimah.” Papa
mulai mengerinyitkan dahinya. “Dengan kamu mulai memakainya, lama-kelamaan kamu akan siap. Tidak
mesti menunggu siap.”
Syifa hanya
terdiam, ia tetap menolak dari hatinya untuk menggunakan kerudung. Disaat
remaja seusianya masih asyik mengeksiskan diri dengan kecantikan, ia merasa
kerudung akan membuat penampilannya terganggu, baginya, mengekspresikan diri
bagi seorang remaja adalah hal yang wajar, semua orang pernah muda.
“Pokoknya Syifa belum siap.” Syifa tetap saja berkeras
hati dengan sikapnya.
“Mati juga tidak akan bertanya kamu belum siap atau
tidak.” Papa Syifa mulai berkeruh hati menghadapi anak perempuannya.
Sementara mama Syifa menggelengkan kepala pertanda isyarat kepada Papa agar
menghentikan pembahasan kerudung, sebelum suasana menjadi panas.
“Ya sudah kalau belum siap, tak apa-apa. Mungkin kamu bisa
pelajari dahulu.” Mama Syifa memilih mundur untuk pembicaraan saat ini, terlalu
gegabah memaksakan langsung kepada Syifa yang sifatnya sedikit keras kepala.
Sikap Syifa berbeda
dengan adik laki-lakinya, Dira. Dira cenderung lebih penurut dan tidak suka
membantah. Ia terkesan tenang dan lebih banyak diam meski terkadang gaya bicaranya seperti orangtua.
“Kalau tidak mau, ya sudah. Jangan seperti itu
wajahnya. Jelek.” Dira menyindir Syifa tanpa melihat sedikit pun, matanya asyik membaca
tulisan-tulisan di buku yang ia baca.
“Kamu diam saja. Tidak usah ikut campur.” Syifa yang kesal mulai
memarahi adiknya.
“Sudah cukup. Tidak usah dibahas!” Suara mama mendiamkan
semuanya, sepakat untuk tidak membahas masalah kerudung lagi, paling tidak
untuk beberapa waktu ke depan.
---------------
“Harus sabar, Pa,
jangan buru-buru. Papa tahu Syifa anak yang keras. semakin kita keras dia akan
semakin keras pula. Lebih baik kita sabar. Insyaallah nanti hatinya akan
terbuka.” Mama Syifa memberitahu Papa ketika mereka tinggal berdua, disaat
semua telah tertidur lelap.
“Mama benar, semua butuh proses, hanya saja tidak baik
berlama-lama. Dia sudah dewasa. Mungkin ini salah kita juga yang tidak
membiasakannya sejak dahulu.”
Mama yang pembawaan selalu lembut tersenyum pada
suaminya, merebahkan badannya di ranjang, menutup hari yang lelah.
--------------
Keesokan harinya di sekolah
Fatma adalah yang
paling dekat dengan Syifa, bisa dibilang sahabat terbaiknya. Fatma sebagai
tempat mencurahkan segala cerita setelah keluarganya. Berbeda dengan Syifa,
Fatma telah berkerudung sedari menduduki bangku SMP, ia tak pernah melepas
kerudungnyanya dan selalu menjaga pandangannya kepada lawan jenis.
“Fat, tadi malam orangtuaku menyuruh aku pakai kerudung.” Syifa membuka cerita di
kelas ketika jam istirahat.
“Ya, bagus itu, Syif. Kamu kan sudah dewasa.”
“Yah … kamu sama saja dengan mereka.” Syifa sedikit kecewa mendengar tangapan dari sahabatnya itu.
“Tapi
kenapa kamu sejak dulu selalu berkerudung? Karena orangtuamu memaksa?” Syifa
menyelidik.
“Enggaklah, Syif, aku pakai karena kesadaran aku. Bahkan
orangtua aku tidak pernah memaksakan. Bagi aku berkerudung itu sebagai identitas
seorang muslimah.” Penjelasan yang sederhana dari Fatma membuat Syifa hanya
mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi hatinya belum tergugah untuk berkerudung
pula.
“Berkerudunglah Syif, nanti asyik, kok. Manfaatnya
banyak,” rayuan coba diutarakan Fatma pada Syifa, berharap sahabatnya mau
mendengarkan.
“Iya, Fat, tapi mungkin bukan sekarang. Aku masih belum
siap sepenuhnya.”
“Perlahan-lahan saja, Syif. mungkin setiap hari jumat
kamu bisa pakai, semuanya butuh proses.”
Ajakan Fatma kali ini sedikit menggoyahkan Syifa,
mungkin ada baiknya ia mencoba, pikirnya.
“Boleh juga, Fat, besok aku coba. Tapi nanti komentar
orang pasti aneh.” Syifa lagi-lagi
ragu.
“Jangan dengarkan kata orang selagi yang kamu lakukan
benar.”
Syifa mengangguk-angguk mendengar omongan Fatma. Timbul
rencana dalam hatinya untuk berkerudung, minimal mencobanya hari jumat esok.
-----------
Di hari Jumat ...
“Subhanallah ....” Papa sontak
terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih
bersih, matanya menusuk hati, dan gerakannya memesona. Tapi bukan itu yang
membuat papa terkejut, melainkan kerudung yang menutupi kepalanya.
“Ada
apa ini?” Papa bertanya kepada anaknya itu.
“Gak ada apa-apa, Pa. Cuma mau mencoba saja. Lagi pula ini
hari jumat,” jawab Syifa
dengan cuek.
“Oh, begitu. Syukurlah kalau memang Syifa mau
mencobanya. Mudah-mudahan berkelanjutan.”
“Begitu, kan, cantik, sayang.” Mama memuji Syifa sambil
membelai kepala sang anak.
“Tapi Syifa belum siap untuk setiap saat memakainya.”
“Iya, tidak apa sayang, yang penting kamu mau
mencobanya. Perlahan-lahan saja. Yaudah, sarapan sana.” Mama memerintah dengan lembut.
Selesai, sarapan
Syifa dan Dira berangkat ke sekolah diantar oleh pak Imran, tetapi biasanya
ketika pulang Syifa lebih memilih berjalan kaki bersama Fatma, mengingat jarak
antara sekolah dan rumahnya yang tidak jauh. Hati Syifa penasaran, komentar apa
yang
akan diberikan teman-temannya ketika melihat penampilan dirinya yang berbeda
untuk pertama kali.
Di sekolah …
Kaki Syifa
melangkah menyusuri jalan menuju kelasnya, hatinya bertanya-tanya apakah ada
orang yang melihatnya dengan aneh. Sesampainya di depan pintu kelas berwarna
cokelat tua …., “Cieeeee …. ada yang
berbeda hari ini.” Fatma mengejutkan. Seisi kelas tersenyum dan berkata hal yang sama dengan Fatma. Syifa
berusaha menahan senyum, berjalan menuju mejanya di baris pertama tepat di
depan meja guru.
“Kalau begitu kamu, kan, cantik, Syif.” Fatma sedikit
tertawa mengucapkannya.
“Jelek, ya?” Syifa tidak percaya diri.
“Cantik
banget malah, Syif. Biasanya yang pakai kerudung itu cantik-cantik orangnya.” Fatma
menyemangati perubahan Syifa. Syifa hanya tersenyum tipis.
Bel berbunyi,
rutinitas setiap hari jumat, sekolah mengadakan acara imtaq, singkatan dari iman dan taqwa,
sebagai acara rohani bagi siswa-siswi yang beragama Islam. Syifa dan Fatma
duduk di barisan paling depan. Hari ini kelas yang bertugas mengisi acara adalah
kelas X-A.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh ....” Salam diucap oleh dua orang protokol ketika
memulai dan menutup acara.
“Fat, yang jadi protokol itu siapa, ya?” Tiba-tiba, timbul rasa ingin
tahu Syifa terhadap seorang protokol dalam acara imtaq yang baru saja selesai saat kembali menuju kelas.
“Protokol yang mana, Syif? Ada dua.”
“Protokol yang di sebelah kanan, Fat.”
“Sebelah kanan mana? Kalau di sebelah kananku berarti
sebelah kiri mereka, kalau sebelah kanan mereka berarti sebelah kiriku.” Fatma masih
belum mengerti.
“Aduh, di sebelah kanan kamu!” Syifa semakin ngotot.
“Oh, itu Andri. Dulu satu SD denganku. Kenapa, Syif?”
“Tidak apa-apa, sih, Fat.”
“Oh, ya, Syif. Kamu mau jadi anggota ekstrakurikuler
Rohani Islam? Kebetulan aku anggota Rohis. Kalau kamu mau, biar
aku bantu masuk.” Tiba-tiba Fatma menawarkan sesuatu yang cukup membuat Syifa
tertarik.
“Kegiatannya apa
saja Fat?” tanya Syifa.
“Tentunya yang berhubungan dengan Islam, terutama aqidah. Nanti kamu bisa tanya-tanya soal
kerudung, jilbab, dan hijab.” Fatma semakin meyakinkan Syifa.
“Kegiatanya hari apa aja? Soalnya aku malas kalau
sering-sering,” tanya Syifa malas.
“Setiap hari jumat untuk yang perempuan, kalau yang
laki-laki hari kamis siang.”
Syifa berpikir sejenak hingga ia duduk di kursinya. “Boleh deh, Fat,
tapi aku mulai ikut kegiatannya minggu depan, ya.”
“Boleh. Apa sih yang enggak buat kamu, Syif?”
“Eh iya, soal yang tadi ....” Syifa mengembalikan
topik pertanyaan, kali ini ia membisikkan suaranya.
“Yang tadi? Andri?” Tanya Fatma.
Syifa tersenyum. Mukanya memerah. “Iya.”
“Kamu tiba-tiba kasmaran dengan dia?”
Mendengar ucapan itu Syifa langsung menutup mulut Fatma.
“Sttt!. Cuma penasaran aja, kok.” Fatma
mengangguk-angguk setuju.