Aku
mengigal di bawah mandi cahayamu, sambil menatap dengan segala arti yang dapat
kusiratkan melalui mata ke arah kemolekanmu. Kedua kakiku mencengkram dahan
tempatku berpijak. Sedang hatiku, seraya berselimut keluh kesah, terus saja
menanti-nanti apa yang ‘kan kuterima darimu.
Latar
syahdu, meski sendu, mampu kunikmati dengan segenap mimpi dan fantasi.
Membiarkan udara malam purnama merasuki jiwa dan merasakan tiap-tiap titiknya
yang membakar sukma. Semakin lama, semakin elok kau terlihat. Semakin membumbung
tinggi gelora.
Keangkuhanku
adalah peneman aura anggunmu pada sang bumi tiap-tiap purnama berkilau. Mereka
berkata perihal keangkuhanku dalam kemilau cahayamu, mereka katakan aku sebagai
belenggu kebenderanganmu. Suaraku adalah seperti iblis bagi pendengaran mereka,
dan rupaku bagai seonggok tubuh buas yang membawa kemistisan. Nisbi memang,
tapi tahukah engkau betapa terkadang itu membuatku lebih memilih berada di
sini, memandang keelokanmu dengan penuh kemesraan dalam perenungan yang takzim.
