Aku
mengigal di bawah mandi cahayamu, sambil menatap dengan segala arti yang dapat
kusiratkan melalui mata ke arah kemolekanmu. Kedua kakiku mencengkram dahan
tempatku berpijak. Sedang hatiku, seraya berselimut keluh kesah, terus saja
menanti-nanti apa yang ‘kan kuterima darimu.
Latar
syahdu, meski sendu, mampu kunikmati dengan segenap mimpi dan fantasi.
Membiarkan udara malam purnama merasuki jiwa dan merasakan tiap-tiap titiknya
yang membakar sukma. Semakin lama, semakin elok kau terlihat. Semakin membumbung
tinggi gelora.
Keangkuhanku
adalah peneman aura anggunmu pada sang bumi tiap-tiap purnama berkilau. Mereka
berkata perihal keangkuhanku dalam kemilau cahayamu, mereka katakan aku sebagai
belenggu kebenderanganmu. Suaraku adalah seperti iblis bagi pendengaran mereka,
dan rupaku bagai seonggok tubuh buas yang membawa kemistisan. Nisbi memang,
tapi tahukah engkau betapa terkadang itu membuatku lebih memilih berada di
sini, memandang keelokanmu dengan penuh kemesraan dalam perenungan yang takzim.
Duhai
engkau yang diciptakan Sang Pencipta Semesta, mungkinkah kelak aku ada pada
dirimu yang cemerlang itu? Ah, pertanyaanku ini pasti tiada akan engkau jawab. Perbedaan
yang ada benar-benar telah membedakan kita. Aku
melompat dari tempatku berdiri, mengepakkan sayap-sayapku yang kokoh
membentang, memindahkan tubuhku menuju dahan lainnya, semata-mata agar aku
dapat melihatmu lebih dekat.
Di
ujung gelisah aku tetap tak henti memandangi. Pawana malam semakin dingin
menerpa bulu-buluku yang kecoklatan dan itu tidak kupedulikan. Lembut lakumu
menghangatkan jiwa yang dingin, bagai memberi cahaya setelah diterpa kegelapan
nelangsa dalam waktu yang lama. Tak banyak yang dapat kulakukan, saat ini. Sang
Siang seperti enggan berteman denganku, walau terkadang aku lari darinya.
Aku
memutar balik tubuhku. Membelakangi cahayamu yang memukau itu. Menatap hamparan
tumbuhan kesunyian yang kau mandikan dengan cahaya. Mataku yang tajam melihat
berbagai macam makhluk menatapku dengan penuh ketakutan di bawah sana. Gemerisik
bunyi dedaunan yang mereka pijak seperti merusak kesyahduanku bersamamu. Aku memilih
diam dan membiarkan mereka bergerak sesuka mereka kemanapun mereka tanpa
kuperhatikan.
Aku
berbalik lagi ke arahmu. Kali ini bersama mata yang semakin sendu, terjerumus
dalam kerinduan yang melumpuhkan segala angan. Benih keanggunan yang merangkum
malam, menyiratkan sesuatu yang dimiliki sang waktu.
-------
Ketika kehendakmu ingin mengetahuinya, janganlah
sekali-kali engkau bertanya. Sungguh yang daripada itu akan memberikan
penyiksaan dalam keindahan. Kan kubiarkan keingintahuan melingkupimu dengan
sayapnya. Cukup semesta menjadi jalur siratan pesan yang bisa saja tiada
tersampai, menunggu hingga engkau menyingkapnya sendiri.