Do’anya telah dikabulkan
beberapa tahun lalu. Sebuah do’a yang dahulu baginya sulit menjadi nyata tapi
selalu didengar oleh Tuhan Semesta Alam dan menjadi kenyataan. Namun kini hatinya
gundah, termenung dalam kesendirian bersama kegalauan hati yang membesar
sebesar mayapada, atau mungkin galaksi. Semua tidak lain dan tidak bukan adalah
karena do’anya sendiri.
Jauh sebelum hari ini
tiba, Abdul Muththalib, nama lelaki yang tengah dirundung kebingungan itu,
merasa iri hati kepada orang-orang yang dikaruniakan banyak anak laki-laki,
sedang ia hanya memiliki satu saja. Ia merasa hidupnya jauh dari kata sempurna.
Meski ia dikenal dengan kebijaksanaan, kemampuan, kedermawanan, wibawa,
kekayaan dan ketampanannya, Abdul Muththalib merasa semua itu hanyalah nonsens
belaka tanpa anak laki-laki yang banyak.
Menjadi manusia yang
dipilih untuk merestorasi mata air zamzam adalah karunia luar biasa untuknya,
dan terpikir olehnya, andaikata esok hari tubuhnya sudah tidak kuat lagi, maka
anak-anak laki-lakinya yang akan menggantikannya. Ia sudah pasrah hanya
memiliki seorang anak laki-laki, semua sudah ketentuan, namun kebesaran hati
membawanya kepada sebuah do’a.
