Do’anya telah dikabulkan
beberapa tahun lalu. Sebuah do’a yang dahulu baginya sulit menjadi nyata tapi
selalu didengar oleh Tuhan Semesta Alam dan menjadi kenyataan. Namun kini hatinya
gundah, termenung dalam kesendirian bersama kegalauan hati yang membesar
sebesar mayapada, atau mungkin galaksi. Semua tidak lain dan tidak bukan adalah
karena do’anya sendiri.
Jauh sebelum hari ini
tiba, Abdul Muththalib, nama lelaki yang tengah dirundung kebingungan itu,
merasa iri hati kepada orang-orang yang dikaruniakan banyak anak laki-laki,
sedang ia hanya memiliki satu saja. Ia merasa hidupnya jauh dari kata sempurna.
Meski ia dikenal dengan kebijaksanaan, kemampuan, kedermawanan, wibawa,
kekayaan dan ketampanannya, Abdul Muththalib merasa semua itu hanyalah nonsens
belaka tanpa anak laki-laki yang banyak.
Menjadi manusia yang
dipilih untuk merestorasi mata air zamzam adalah karunia luar biasa untuknya,
dan terpikir olehnya, andaikata esok hari tubuhnya sudah tidak kuat lagi, maka
anak-anak laki-lakinya yang akan menggantikannya. Ia sudah pasrah hanya
memiliki seorang anak laki-laki, semua sudah ketentuan, namun kebesaran hati
membawanya kepada sebuah do’a.
“.... bila dikaruniai
sepuluh anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, akan aku korbankan satu bagi
Tuhan di Ka’bah,” ucapnya dalam bait-bait do’a yang ia tujukan kepada Tuhan.
Kini do’anya telah
terkabul, dan semua anak-anaknya telah tumbuh dewasa. Nazar di masa lalunya
menggelayuti pikirannya dan cintanya kepada semua putranya amatlah besar, meski
di lubuk hati yang terdalam, semua ini sangatlah berat.
Abdul
Muththalib adalah orang yang menepati janji, ia tidak pernah ingkar lagi
berdusta dan selalu memnunaikan tanggung jawabnya. Nazar harus ditunaikan,
inilah janji kepada Tuhan.
“Duhai anak-anakku,
sesungguhnya pada masa dahulu aku berjanji kepada Tuhan untuk mengorbankan
salah satu dari sepuluh anak laki-lakiku. Ini adalah nazarku, dan aku harus
menepati janjiku kepada Tuhan,” ucap Abdul Muththalib kepada seluruh
anak-anaknya.
Semua anak-anaknya
menyadari bahwa janji Abdul Muththalib adalah janji mereka juga, rasa-rasanya
tidak ada pilihan lain kecuali setuju. “Apa yang harus kami lakukan wahai
ayahanda?”
-------
Setiap anak laki-laki
Abdul Muththalib membuat nama pada anak panah mereka masing-masing kemudian
menyerahkannya kepada salah seorag pengundi panah yang masyhur di kalangan
Quraisy. Mereka masuk ke dalam Ka’bah dan Abdul Muththalib berdiri di sisi
patung dewa bulan, ia mengeluarkan sebilah pisau seraya menyebut, Allah.
Anak panah diundi dengan
cepat, dan nama anak bungsunya, Abdullah, adalah yang terpilih. Abdul
Muththalib dengan cepat menggandeng anaknya itu menuju tempat pengorbanan, ia
ingin segera menyelesaikannya tanpa harus berpikir panjang.
Tatkala mereka menuju
tempat pengorbanan, orang-orang berusaha mencegat. Salah seorang pria bernama
Mughirah dari suku Makzhum menghampiri Abdul Muththalib, “jangan korbankan dia!
Kita cari gantinya walau harus mengorbankan seluruh kekayaan Makhzum!”
Anak-anak Abdul
Muththalib yang sedari sebelumnya diam saja mulai angkat bicara, mereka turut
mencegah ayah mereka untuk mengorbankan Abdullah. Mereka memohon untuk mencari
persembahan lain, agar Abdullah, adik yang mereka sayangi itu bisa tetap hidup.
-------
“Binatang apa yang
kalian pelihara?” tanya wanita di depan Abdul Muththalib.
Wanita itu adalah
seorang bijak yang dirujuk oleh orang-orang agar keputusan mengorbankan
Abdullah bisa dibatalkan. Dan kini, bersama Abdullah dan satu atau dua orang
putranya yang lain, Abdul Muththalib telah berada di hadapannya.
“Ada sepuluh ekor unta,”
jawaban Abdul Muththalib untuk pertanyaan Si Wanita Bijak.
“Kembalilah ke negerimu,”
pesannya, “tempatkan anak laki-lakimu dan sepuluh ekor unta itu berdampingan
kemudian undilah mereka. Jika anak panah jatuh di depan anak lelakimu, maka
tambahkan sepuluh ekor unta lagi. Begitu seterusnya hingga Tuhan menerima
unta-unta itu dan anak panah jatuh di hadapan mereka. Dan, korbankanlah
unta-unta itu dan biarkan anakmu hidup.”
Abdul Muththalib segera
kembali ke Makkah dan melakukan petuah dari Si Wanita Bijak. Ia mengundi
Abdullah dengan sepuluh ekor unta, tapi anak panah selalu jatuh di hadapan
Abdullah. Kemudian unta ditambah sepuluh lagi, dan anak panah tetap jatuh di
hadapan Abdullah. Sepuluh demi sepuluh ekor terus ditambahkan hingga mencapai
jumlah seratus ekor, dan pada angka itulah anak panah tidak jatuh di hadapan
Abdullah. Abdul Muththalib mengulang anak panah sampai tiga kali dan tetap saja
jatuh di hadapan unta-unta itu.
Dengan jatuhnya anak
panah di hadapan unta-unta itu, Abdul Muththalb menjadi yakin bahwa
penebusannya telah diterima. Ia kemudian membiarkan Abdullah hidup dan
menyembelih seratus unta persembahan sebagai kurban.
-------
Abdullah, putra seharga
seratus ekor unta itu, ketampanannya tak berbanding oleh lelaki lainnya. Akhlaknya
agung dan luhur, serta mengirikan hati setiap orang-orang yang hidup
bersamanya. Ialah insan yang paling sempurna diri dan pribadinya pada masa itu.