contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 29 Juni 2015
            Do’anya telah dikabulkan beberapa tahun lalu. Sebuah do’a yang dahulu baginya sulit menjadi nyata tapi selalu didengar oleh Tuhan Semesta Alam dan menjadi kenyataan. Namun kini hatinya gundah, termenung dalam kesendirian bersama kegalauan hati yang membesar sebesar mayapada, atau mungkin galaksi. Semua tidak lain dan tidak bukan adalah karena do’anya sendiri.
            Jauh sebelum hari ini tiba, Abdul Muththalib, nama lelaki yang tengah dirundung kebingungan itu, merasa iri hati kepada orang-orang yang dikaruniakan banyak anak laki-laki, sedang ia hanya memiliki satu saja. Ia merasa hidupnya jauh dari kata sempurna. Meski ia dikenal dengan kebijaksanaan, kemampuan, kedermawanan, wibawa, kekayaan dan ketampanannya, Abdul Muththalib merasa semua itu hanyalah nonsens belaka tanpa anak laki-laki yang banyak.
            Menjadi manusia yang dipilih untuk merestorasi mata air zamzam adalah karunia luar biasa untuknya, dan terpikir olehnya, andaikata esok hari tubuhnya sudah tidak kuat lagi, maka anak-anak laki-lakinya yang akan menggantikannya. Ia sudah pasrah hanya memiliki seorang anak laki-laki, semua sudah ketentuan, namun kebesaran hati membawanya kepada sebuah do’a.

            “.... bila dikaruniai sepuluh anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, akan aku korbankan satu bagi Tuhan di Ka’bah,” ucapnya dalam bait-bait do’a yang ia tujukan kepada Tuhan.
            Kini do’anya telah terkabul, dan semua anak-anaknya telah tumbuh dewasa. Nazar di masa lalunya menggelayuti pikirannya dan cintanya kepada semua putranya amatlah besar, meski di lubuk hati yang terdalam, semua ini sangatlah berat.
            Abdul Muththalib adalah orang yang menepati janji, ia tidak pernah ingkar lagi berdusta dan selalu memnunaikan tanggung jawabnya. Nazar harus ditunaikan, inilah janji kepada Tuhan.
            “Duhai anak-anakku, sesungguhnya pada masa dahulu aku berjanji kepada Tuhan untuk mengorbankan salah satu dari sepuluh anak laki-lakiku. Ini adalah nazarku, dan aku harus menepati janjiku kepada Tuhan,” ucap Abdul Muththalib kepada seluruh anak-anaknya.
            Semua anak-anaknya menyadari bahwa janji Abdul Muththalib adalah janji mereka juga, rasa-rasanya tidak ada pilihan lain kecuali setuju. “Apa yang harus kami lakukan wahai ayahanda?”
-------
            Setiap anak laki-laki Abdul Muththalib membuat nama pada anak panah mereka masing-masing kemudian menyerahkannya kepada salah seorag pengundi panah yang masyhur di kalangan Quraisy. Mereka masuk ke dalam Ka’bah dan Abdul Muththalib berdiri di sisi patung dewa bulan, ia mengeluarkan sebilah pisau seraya menyebut, Allah.
            Anak panah diundi dengan cepat, dan nama anak bungsunya, Abdullah, adalah yang terpilih. Abdul Muththalib dengan cepat menggandeng anaknya itu menuju tempat pengorbanan, ia ingin segera menyelesaikannya tanpa harus berpikir panjang.
            Tatkala mereka menuju tempat pengorbanan, orang-orang berusaha mencegat. Salah seorang pria bernama Mughirah dari suku Makzhum menghampiri Abdul Muththalib, “jangan korbankan dia! Kita cari gantinya walau harus mengorbankan seluruh kekayaan Makhzum!”
            Anak-anak Abdul Muththalib yang sedari sebelumnya diam saja mulai angkat bicara, mereka turut mencegah ayah mereka untuk mengorbankan Abdullah. Mereka memohon untuk mencari persembahan lain, agar Abdullah, adik yang mereka sayangi itu bisa tetap hidup.
-------
            “Binatang apa yang kalian pelihara?” tanya wanita di depan Abdul Muththalib.
            Wanita itu adalah seorang bijak yang dirujuk oleh orang-orang agar keputusan mengorbankan Abdullah bisa dibatalkan. Dan kini, bersama Abdullah dan satu atau dua orang putranya yang lain, Abdul Muththalib telah berada di hadapannya.
            “Ada sepuluh ekor unta,” jawaban Abdul Muththalib untuk pertanyaan Si Wanita Bijak.
            “Kembalilah ke negerimu,” pesannya, “tempatkan anak laki-lakimu dan sepuluh ekor unta itu berdampingan kemudian undilah mereka. Jika anak panah jatuh di depan anak lelakimu, maka tambahkan sepuluh ekor unta lagi. Begitu seterusnya hingga Tuhan menerima unta-unta itu dan anak panah jatuh di hadapan mereka. Dan, korbankanlah unta-unta itu dan biarkan anakmu hidup.”
            Abdul Muththalib segera kembali ke Makkah dan melakukan petuah dari Si Wanita Bijak. Ia mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor unta, tapi anak panah selalu jatuh di hadapan Abdullah. Kemudian unta ditambah sepuluh lagi, dan anak panah tetap jatuh di hadapan Abdullah. Sepuluh demi sepuluh ekor terus ditambahkan hingga mencapai jumlah seratus ekor, dan pada angka itulah anak panah tidak jatuh di hadapan Abdullah. Abdul Muththalib mengulang anak panah sampai tiga kali dan tetap saja jatuh di hadapan unta-unta itu.
            Dengan jatuhnya anak panah di hadapan unta-unta itu, Abdul Muththalb menjadi yakin bahwa penebusannya telah diterima. Ia kemudian membiarkan Abdullah hidup dan menyembelih seratus unta persembahan sebagai kurban.
-------

            Abdullah, putra seharga seratus ekor unta itu, ketampanannya tak berbanding oleh lelaki lainnya. Akhlaknya agung dan luhur, serta mengirikan hati setiap orang-orang yang hidup bersamanya. Ialah insan yang paling sempurna diri dan pribadinya pada masa itu.



| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI