Seorang remaja
tergeletak pingsan di tengah semak belukar, kondisinya sangat mengenaskan,
tubuhnya tidak ditutupi baju, wajahnya dihiasi bekas pukulan, di tangan
kanannya terdapat sebuah sayatan yang basah. Luka yang lebih mengerikan
tergores di perutnya, melintang melewati pusar. Sayatannya sangat rapi, bukti
bahwa sayatan itu dibuat dengan pelan, seolah ingin menyiksa si pemuda. Darah
masih keluar di goresan goresan nan keji.
Pemuda itu
pucat. Pucat karena memang ia telah diracun melalui luka dan cairan yang
dicekoki secara paksa ke mulutnya. Rasa sakit yang dialami pemuda itu tak
sedikitpun menghadirkan rasa iba di hati para penyiksa. Pun dengan para
penolong, yang tak akan ditemui di tempat yang sama sekali tak dihuni manusia.
----------------------------------------
Kini pemuda itu
sudah tidak lagi terbaring di semak belukar, seorang pria berwajah sangar
dengan tulus mengangkat tubuh sakit si pemuda menuju gubuk kediamannya. Siapa
sangka, ditengah kehampaan manusia penolong, pria ini tampil sebagai penyelamat
nasib si pemuda yang seolah telah menuju garis akhir.
Si pria yang
berukuran tubuh besar dan berkepala botak itu mengobati luka luka ditubuh si
pemuda, mengompres kepala si pemuda yang panas tinggi dan menghapus bekas bekas
darah di sekitar tubuh. Ia juga melepas celana jeans lusuh yang dikenakan si
pemuda, dan menggantinya dengan celana berbahan ringan yang memungkinkan aliran
darah si pemuda mengalir lancar.
Pria besar itu
membelai rambut si pemuda yang mulai memanjang, tatapan sangarnya memberikan
sedikit iba kepada nasib si pemuda.
----------------------------------------
Dua hari sudah,
si pemuda mulai siuman, membuka matanya. Ia mulai merasakan tubuhnya, berusaha
mengangkat kepala ataupun menggerak gerakkan ujung jari. Ekspresi wajahnya
masih meringis, rasa sakit bekas sayatan masih tersisa meski luka itu sudah
mulai mongering. Ia mengangkat punggung, mencoba menyandar di dinding gubuk
kayu tua yang entah kenapa bisa menerimanya, tapi ia tak kuasa, tenaganya tak
cukup untuk sekedar mengangkat punggung. Ia tak tahu berapa hari ia pingsan,
tapi ia begitu bersyukur masih hidup.
Pintu kayu tua
di depannya berdecit membuka, seorang pria raksasa masuk ke dalam gubuk, darah
si pemuda langsung mengalir kencang, ia melihat pria itu sebagai salah satu dari
tiga orang pria raksasa yang nyaris menghabisinya.
“Aku lelah, lebih baik kau bunuh
saja aku” Si pemuda merasakan kegetiran dan keputus asaan
“Membunuhmu? Kalau hanya untuk
membunuhmu untuk apa aku rela menggendong tubuhmu yang bau dan berdarah ke tempatku,
dan aku bahkan membersihkan lukamu” Respon si pria besar dengan dingin
“Oh, sungguh? maafkan aku. Aku melihatmu mirip dengan orang yang telah
membuatku begini”
“Ya sudahlah”
Si pria hanya merespon dingin, sedangkan si pemuda masih terbaring lemah
dengan suara yang lemah pula.
“Tulang punggungmu lari dari posisinya, juga cedera berat akibat pukulan
dan tendangan. Untuk sementara waktu kau tidak akan bisa menegakkan badan,
meski hanya untuk memakai baju, aku tidak bisa mengobatimu sekarang, karena
kondisimu masih sangat lemah”
Mendengar pernyataan si pria, si pemuda hanya mendengar, ia mengasihani
dirinya sendiri yang sangat sakit. “Makanlah ini” Tangan si pria terulur
memegang sepotong roti kecil ke mulut si pemuda, “Sedikit membantu memulihkan
energi tubuhmu.”. Si pemuda menerima roti kecil itu dengan mulutnya, meski
tidak akan cukup mengenyangkan tapi ia sangat bersyukur, paling tidak sepotong
roti kecil itu bisa mengisi kekosongan di lambungnya.
Pemuda yang terbaring lemah itu tidak bisa mengangkat tubuhnya, susunan
tulang punggungnya menjadi tidak benar akibat aniaya sekelompok pria kekar.
Beberapa hari terbaring, kondisi fisiknya membaik karena perawatan luka dan
asupan nutrisi yang cukup. Tetapi punggungnya belum mampu untuk tegak. Ia
berusaha keras mengangkat tubuhnya, keringat mulai keluar di pori
pori kulit, dan
ia terjatuh dari tempat tidur. Pria besar penolong mengangkat Si Pemuda,
“Tulang punggungmu belum bisa untuk berdiri, aku sudah menyiapkan alat untuk
membantu menyembuhkan punggungmu.” Pria itu menarik tubuh si Pemuda menuju
sebuah bilik tempat 2 buah tali tergantung, diujung bawah tali terdapat sebuah
gelang yang diameternya cukup untuk pergelangan tangan remaja yang umumnya
tidak besar.
Pria itu memasukkan kedua tangan Si Pemuda ke dalam lingkaran. Gelang itu
dipakaikan hingga sampai pada ketiak, dan gelang itu menyangga tubuhnya untuk
tegak. Pemuda merasa kesakitan karena ia dipaksa untuk berdiri. “tahanlah
sebentar, ini akan mengobati kesakitanmu” Pria penolong memberikan sebuah kata
penenang, tapi apa cara pengobatannya, Pemuda tak tahu.
Pria penolong berdiri dibelakang Si Pemuda, melayangkan tinjuan keras
kearah punggung yang mengalami cedera, sontak Lelaki Muda menjerit kesakitan,
keringatnya menetes netes tak tahan karena sakit. “Sabarlah, hanya ini cara
untuk memulihkan kondisimu”. Terapi keras itu membuatnya tak tahan, begitu
menyakitkan apa cedera yang ia dapat dan begitu menyakitkan pula
penyembuhannya. Selesai terapi, ia tak sadarkan diri.
Si Pemuda membuka matanya, rasa sakit langsung menyergap punggung, tapi
tak separah biasanya. Ia merasa pegal pegal, apalagi lengan dalamnya yang terus
menahan beban tubuh. Angin dan dingin pagi menusuk badannya yang tak bertutup
kain, hanya celana pendek yang tidak sampai selutut. Ia mencoba menggerakkan
kaki, berusaha berdiri, ia hampir melakukannya, namun punggungnya belum cukup
mampu untuk menopang badan, namun paling tidak, ada kemajuan.
Pria besar penolong datang, tangan kanannya memegang sebuah piring berisi
nasi lunak yang lebih pas untuk dikatakan bubur, tangan kirinya menggenggam
segelas air putih. Si pria penolong menyanduk nasi lunak itu dengan sendok,
menyodorkannya ke mulut si pemuda “Makanlah, sebelum angin mengisi perutmu”
Terdengar kasar, tapi Pemuda bisa merasakan keikhlasan dan ketulusan dari si
pria. Si Pemuda yang terbiasa manja benar benar mengalami sesuatu yang sangat
tidak ia sangka, disiksa habis habisan dan harus mengalami semua ini, berbeda
dengan kesehariannya yang tergolong santai.
Selesai santap sarapan, si pria kembali melakukan terapi penyembuhan,
tapi tidak sesakit kemarin. Ia mengurut urut dan meraba raba tulang tulang yang
menyangga punggung. hingga setelah beberapa waktu, Si Pemuda bisa normal
seperti sedia kala.
----------------------------
“Aku ingin kembali ke tempat tinggal, tapi mereka pasti mengincarku jika
mereka tahu aku belum mati” Andra bingung dengan kelanjutannya
“Tinggalah untuk beberapa waktu bersamaku, selamanya juga boleh”
“Apa tidak membebanimu? Kau telah berbuat banyak padaku”
“tidak, malahan aku bisa memiliki obat kesendirian”
Pemuda tersenyum, ia sangat bahagia ada orang yang mau menampungnya,
walau ia tetap bertekad untuk tidak selamanya bergantung pada sang penolong.
Bersambung..................................