Surabaya, September 1945
Angin berhembus kencang mengibaskan bendera Merah-Putih-Biru di pucuk
tiang tingkat teratas hotel Yamato, Surabaya,
September 1945...........
“Londo edan !
Berani beraninya mereka mengibarkan bendera asing di hotel Yamato.” Pemuda bernama
Sidik terkejut dengan apa yang ia lihat.
“Ini tak bisa
dibiarkan, mereka telah menghina kedaulatan kita!” Tambahnya dengan nada
membakar semangat. “Kita akan hancurkan mereka” Pemuda satu lagi yang bernama
Hariyono tak kalah garang melihat bendera Belanda berkibar diatas hotel Yamato,
jiwa nasionalisme mereka membara. Mereka bergegas menuju Soedirman, Resimen Surabaya Pemerintahan
RI pada saat itu.
“Jenderal, orang orang Belanda itu telah menghina kedaulatan Republik Indonesia.
Ini tidak bisa dibiarkan, kita harus kirim mereka ke neraka. Ini negeri kita,
hak kita untuk selamanya!” Sidik menjelaskan dengan perasaan yang membara
“Mereka tidak tahu aturan. Setelah maklumat Pemerintah RI 1 September yang
lalu, seharusnya hanya Sang Merah Putih bendera yang boleh berkibar di bumi Indonesia.
Mereka telah memukul gendering perang.” Hariyono tak kalah beramarah kala
menjelaskan apa yang terjadi. .
Resimen Soedirman mendiamkan dirinya, ia berpikir. Mencoba tenang menanggapi laporan yang disampaikan dua orang
pemuda itu. “Baiklah, kita harus menuju Hotel Yamato, sekarang juga. Ini tidak
bisa dibiarkan.”
Tidakkah mereka sangat mencintaimu
wahai Ibu Pertiwi? Orang orang tua, muda, hingga anak kecil berkumpul dengan
segala amarah mereka di depan hotel Yamato untuk membelamu. tak takut kalau
kalau maut siap menghampiri. Mereka menggelorakan api semangat, menerobos
pintu, jendela bahkan dinding bangunan, mengarahkan kepada tiang bendera,
merobek warna biru, dan sorak sorai “MERDEKA” mengalir membahana dari tuturan
mereka.................................
Surabaya, Oktober 1945
Sebuah mobil melewati jejalanan kota Surabaya mendekati
Jembatan Merah. Di dalamnya duduk dengan angkuh seorang Brigadir Jenderal
bernama Aubertin Mallaby. Pria berjidat lebar dan berkumis itu bertemu dengan
mautnya kala mobil Buick yang ia tumpangi di hujani peluru peluru dari milisi Indonesia. Ia
mengerang kesakitan kala peluru memaksa masuk kedalam tubuhnya. Entah rasa
sakit sempat menyadarkan ia akan penderitaan sang Zamrud Khatulistiwa atau tidak,
itu sama sekali tak berguna. Sebuah granat yang dilempar benar benar mengakhiri
hidup beserta bentuk jasadnya.
Semangat bagai bensin terpercik api dari kematian Brigjen Mallaby.
Mereka, para pemuda dan pejuang pejuang tanpa pamrih semakin berapi-api
meletupkan rasa benci mereka kepada Para Koloni dari Eropa. Mereka tak kenal
lelah, tak takut mati, tak harap balas untuk satu hal, MERDEKA !!!!
Surabaya, 10 November 1945
Sudahkah kalian tahu, bahwasanya
kematian Mallaby membuat mereka semakin menginjak injak bangsa ini dengan
ultimatum kepada kalian untuk menyerahkan diri pada 10 November, wahai para
Syuhada?
Tentara tentara sekutu berlari angkuh dengan beristrikan senjata senjata
mereka, menarik pelatuk dan mengarahkannya pada setiap pribumi yang melawan.
Tak ada belas kasih mereka, kesilauan akan dendam dan harta negeri ini telah
membuat mereka ditunggangi nafsu.
Burung burung besi merajai langit Surabaya,
meratakan apa saja yang mereka lintasi, kapal kapal pun demikian. Juga tank
tank tak ragu melindas semua yang ada. Bidasan bidasan yang begitu dahsyat
menumbuhkan keyakinan bahkan kepastian di mata pemimpin sekutu, Mayor Jenderal
Robert Mansergh, bahwa hanya butuh dua atau tiga hari, untuk menguasai Surabaya.
Seorang pria berfisik ceking namun
gagah melantangkan suaranya dengan teriakan. Sorot matanya yang tajam bagai
memberikan energi lebih bagi mereka yang mendengarkan. Suaranya menggelegar
bagai petir, menyambar siapa saja dengan api patriot. “Selama benteng benteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang
dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu
tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!” Teriak pria bernama
Sutomo, atau yang lebih dikenal dengan nama Bung Tomo itu
Teriakan teriakan
‘Allahuakbar’. dan ‘MERDEKA’ bergaung bergema. Gelombang ribuan Arek
Arek Suroboyo menghantam deras para pasukan sekutu, tak ada lagi ketakutan akan
kematian di hati mereka. Bung Tomo, tentara rakyat, para santri dan kiyai
hingga masyarakat menyerbu dengan senjata seadanya. Semangat dan airmata
pengharapan terhampar dalam wajah mereka, sebuah pemandangan elegi di Surabaya.
Pertempuran melelahkan itu
berlangsung berhari hari hingga hampir satu bulan lamanya, merusak segala
keyakinan pemimpin sekutu. Ribuan manusia Indonesia terus melawan, meski tak
sebanding.
Surabaya menjadi lautan darah, Surabaya menjadi lautan airmata, Surabaya menjadi lautan mayat.
Sampai pada akhirnya, Surabaya yang mereka
perjuangkan tak dapat terbela lagi. Sekutu menjadi pasak kunci di Surabaya. Gelombang
perlawanan Arek Arek Suroboyo hilang, teriakan teriakan semangat membisu,
mereka mati di ribaan pertiwi. Tetesan darah para pahlawan terhimpitkan
sukacita para sekutu. Surabaya tercinta, Surabaya yang jatuh pada
sekutu..........................
Selamat Hari Pahlawan. Kenanglah mereka, cintai mereka, hargai mereka.
Selamat Hari Pahlawan. Kenanglah mereka, cintai mereka, hargai mereka.
-Soni Indrayana-
teruskan perjuangan mereka, jadilah generasi pelurus di negeri pertiwi.
Hehe Siap!!!