“Ada yang
berbeda dari kamu” . . . . .
Ya begitulah kata orang-orang kepadaku. Aku tak tahu apa yang mereka
maksudkan. Berbeda. Apa yang berbeda? Berubah. Apa yang berubah? Entahlah, jadi
tidak ingin memerdulikan hal itu.
-------
Aku melangkah sambil menari-nari di atas pasir pantai di bawah terpaan
matahari sore yang semakin memega merah. Bermain sendirian sambil sesekali
menengadah ke langit dan ke arah nyiur melambai.
Kaki-kaki kecilku berhenti melangkah ketika melihat gadis balita kecil
yang imut dan lucu tengah bermain pasir dengan riangnya. Mungkin usia anak ini
beberapa tahun di bawahku. Aku membungkuk kemudian mengelus kepalanya. Ia
terlihat tak peduli dengan sentuhanku dan terus memainkan pasir pantai sampai
suara seorang wanita dari kejauhan memanggilnya “Sarah!” dan anak kecil itupun
berlari ke arah sumber suara dengan kaki kecilnya. Ia menghampiri, mungkin,
kedua orangtuanya, dan masing-masing dari mereka terlihat gembira, sambil
menunjukkan gesture yang seperti canda dan tawa. Ah, begitukah kehidupan yang
berbahagia? Entahlah.
Aku lalu berjalan lagi, dan matahari kian merendah saja. Aku memerhatikan
dua pohon kelapa yang berdiri tegak dan kokoh saling berdekatan. Daun mereka
melambai-lambai dihembus pawana, dan bayangan mereka semakin panjang. Entah
kenapa kulihat pohon kelapa itu begitu serasi, meski mereka tiada dapat bertemu
dalam sentuhan.
Burung-burung yang kembali kembali ke sangkar menyiratkan sebuah lukisan
indah di langit senja. Mereka mengigal dan bersenandung di ujung petang bagai
mengirim kasih kepada semua. Apa lagi? Ah deru ombak beralun merdu laksana
nyanyian dari biduan yang kirana. Suaranya berdebur sampai ke lubuk hati yang
entah seberapa dalam. Langit mulai kelam, dan neomenia segera menyergap. Entahlah
aku tak mengerti kenapa rasanya alam di sekitarku bagai alunan simfoni.
“Defiana!” Ouh, suara Ibu memanggilku dari kejauhan sana. Aku bisa
langsung mengenalinya. Ya, itu tandanya untuk pulang. Aku berlari ke arahnya
dan meninggalkan pantai.
-------
Cermin di dinding itu. Mungkinkah ia peduli dengan omongan orang-orang
bahwa ada yang mulai berbeda dari gadis kecil sepertiku ini? Bahkan ia tidak pernah
memberitahuku apakah ia pernah terjatuh atau tidak.
Aku, aku lagi-lagi tidak mengerti kenapa setiap hendak tidur, ada yang
terlintas dalam pikiranku. Sesosok manusia, yang aku tahu, punya aura yang
berbeda. Ya, entahlah, ia dapat membuatku lupa atau dapat membuatku membisu.
“Hai Teddy, kau tahu? Tuhan itu Maha Adil. Aku melihat alam ini berjalan
dengan penuh keteraturan tanpa ada sedikitpun kecacatan di dalamnya” Aku
mengambil boneka beruang kesayanganku. Aku menyayangi boneka ini, ehm walau
belum lama boneka ini kumiliki, ya pastinya baru dan diberikan oleh “manusia”
itu.
“Teddy, Tuhan Maha Adil, Ia Maha Sempurna. Tidak ada yang sempurna di
dunia selain diri-Nya. Tapi cinta, ia tak pernah sempurna. Kau tahu, cinta itu
tidak adil. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya” Aku semakin bingung
dengan jalan pikiranku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku berbicara dengan boneka.
Mungkin, karena aku tak tahu kepada siapa aku harus bicara. Ya, berbeda. Memang
berbeda.
Ada sesuatu yang aku mimpikan, indah, ketika kuletakkan kepalaku diatas
bantal saat hendak tidur. Sesuatu, sesuatu yang untuk pertama kali kurasakan.
Sesuatu yang memberitahuku bahwa aku telah berbeda sebagai, katanya, kembang
perawan yang merasakan apa yang dimiliki setiap insan. Aku tak tahu apa yang
harus aku lakukan. Hanya berharap dapat menunjukkan apa yang aku rasa, meskipun
terlalu malu untuk mengatakannya.