“Berikan
aku nasihatmu!” Amor menghadap Yang Mulia Raja dengan penuh rasa harap dan
pinta. Tak terukur dalamnya rasa kecewa ‘pabila yang diingin tak dapat diraih.
“Amor
putraku. Sungguh, aku lebih tahu darimu perihal apa yang kau inginkan itu. Jika
sayap-sayapku ini dapat membentang ke seluruh penjuru bumi, maka yang kau
inginkan itu yang tak dapat kucapai,” Yang Mulia Raja mencoba memberikan
kebijaksanaannya yang terkenal anggun.
“Anataschia
nan legendaris itu.... “ Amor menatap ke atas, jauh. Pandangannya yang
penuh pengharapan melalangbuana dengan sentuhan lakaran imajinasinya. Alun-alun
pikirannya tak berhenti membayang, membayangkan apa-apa yang ia kehendaki.
“Amor,
jika Rhea dalam genggamanmu, maka itu artinya kau telah menemui mereka yang
agung.” Yang Mulia Raja menatap dengan dalam, mendekatkan tubuhnya pada Amor.
“Jika ada diantara sayap-sayap mereka merangkummu, maka ikutilah dan
biarkanlah. Ia kan membawamu dalam sanubari yang kau kehendaki.”
-------
Berkatalah
Eimera pada Amor yang diselimuti keheningan, “Duhai yang gagah hatinya, demi apa
engkau lakukan ini. Tidakkah kau dengar berita tentang Anataschia?” Suara
Eimera laksana angin utara yang mem.binasakan, sayap-sayapnya melipat dengan
angkuh.
“Beritahu
aku!” Amor dengan segenap kecantasannya menatap Eimera dengan berani.
“Dengarlah
ini anak muda, apa yang kau inginkan itu akan memahkotaimu, tapi ingatlah bahwa
ia akan menghukummu.” Eimera merentangkan sayapnya dan meninggalkan Amor.
Amor
melangkah dengan tetap pada pengharapannya. Matanya melirik sesekali pada
tempat-tempat yang ia lalui itu. Megahnya Anataschia dalam ucapan-ucapan
penyair telah mempengaruhi pikirannya.
Air
terjun di hadapannya berdiri bagai seorang dewi yang tengah menatap manusia.
Dan dari bawah air itu, munculah ia, Aethra. Dengan gerakannya yang anggun dan
gemulai, ia lentingkan pisau-pisaunya pada Amor yang gesit menghindar. Dengan
cepat sebuah pukulan Aethra yang tak disadari Amor telah membuatnya terhempas,
kemudian mencoba berdiri bertumpu pada pedangnya.
“Bawa
aku kepada Rhea!” Amor menghunuskan pedang hitamnya ke arah Aethra.
“Sungguh?”
Aethra tersenyum menantang. Ia salah satu jenderal Anataschia yang masyhur
namanya. Meskipun seorang wanita, keagungannya dapat mengalahkan ksatria
manapun di penjuru negeri. Kedua pedang di tangan Aethra
menari beralun menyerang Amor. Gerakan cepat dan tenaga Aethra yang luar biasa
membuat Amor terperangah, ia tersudut dan ujung pedang kiri Aethra telah berada
di lehernya.
“Aku
tidak tahu tentang kebenaran yang hakiki. Tetapi, kesadaranku akan kebodohanku
adalah kehormatanku yang mulia.” Amor tak panik. Meskipun lehernya sudah
menyentuh ujung pedang Aethra, ia tetap tenang.
“Keyakinan
memberikan sebuah kekuatan yang tiada batas. Batas setiap kekuatan fisik,
bergantung pada seberapa besar semangatnya.” Aethra menarik pedangnya dari leher
Amor.
“Duhai
yang teguh keyakinannya, jika Rhea menjadi apa yang kau yakini, maka carilah ia
yang hampa itu. Tempat dimana kau dapat mengisinya dengan balutan sutra suci
dan ikatan emas bersama simpul harmoni,” Aethra meletakkan kedua tangan
ditubuhnya, “tatkala Rhea dalam genggamanmu, biarkan isyaratnya menujumu.
Penyaksian itu, tidak akan seperti isyarat daun yang tak tersampaikan kepada
dahan yang telah menggugurkannya. Dialah jiwa surgawi yang dapat menyalakan
mata.”
“Apakah
durjanaku jika aku hendak mencari tabir yang menyelimuti segala kebencian?”
Amor menatap Aethra yang ayu.
“Ingatlah.
Ingatlah. Bahwa ketika salah satu sisi kehidupan membuka tabirnya, maka ketika
itulah keindahan akan terlihat. Biarkan sanubarimu menikmatinya.” Aethra
berjalan meninggalkan Amor sendirian di tengah Anataschia, di jalan menuju Rhea
dengan iringan simfoni harapan.