Pernahkah manusia saling mengenal
secara utuh perasaan-perasaan yang ada dalam dirinya dan mengendalikan itu
semua? Jika bulir-bulir air mata menetes laksana mutiara di lautan luas,
akankah kesedihan itu tetap abadi dan menetap dalam kalbu yang telah sembilu? Aku
tahu bahwa tak satupun yang dapat hidup selamanya, tapi bukankah aku tak ingin
engkau tinggalkan?
Aku menatap langit yang tinggi itu
dengan pandangan hampa. Seolah-olah warna di bawah naungannya telah menghilang
dan memudar menjadi putih dan abu-abu yang sendu. Tak peduli seberapa banyak
air mata yang kukeluarkan, tetap saja langit itu tiada menjadi arti apapun.
Ku saksikan gugusan bintang-bintang
menebar di atas sana, akankah ada distorsi bagi perasaan-perasaanku ini? Hendak
kusentuh satu-satu bintang namun apadaya tanganku tak sampai untuk menggapainya.
Disanakah engkau? Kenapa Tuhan menciptakannya begitu tinggi hingga kedua
tanganku tak mampu menyentuhnya walau ragaku ingin bertemu denganmu, sesaat
saja.
Kota ini seperti telah mati. Tempat
dari hitam yang bernaung, seakan ingin mendominasi putih. Warna-warni telah
enyah dan barangkali tak akan kembali. Tinggalah hitam, tinggalah putih yang
bersemayam dalam kehampaan. Rinai hujan yang kelam membasahinya yang lara dan
pilu, yang menunggu sang surya ‘tuk berikan warnanya.
Engkau, yang mungkin kini berbahagia
di sana, bolehkah aku menangisimu? Dalam nelangsa yang mendalam, kusimpan
harapan agar Tuhan persatukan kita. Entah kapan dan bilamana biarkan saja Ia
yang mengatur. Aku hanya akan membiarkan mataku meneteskan sesuatu yang disebut
air mata dan membiarkan tubuhku diterpa laju sang angin.
-------
“Matahari akan terbit. . . . .”
Seberkas suara yang lembut mengisi pendengaranku dan aku mencoba untuk tidak
mengacuhkannya, tapi itu lah sebuah kata indah yang kunantikan perwujudannya.
Di ujung timur sana, mentari mulai bersinar. Warna kelabu yang menyelimuti
mulai beranjak pergi, sang surya menampakkah kegagahan sinarnya dan riuh kota
kembali bergema.
Andai saja ini kusaksikan bersamamu,
bukankah jadi karunia besar untukku? Tapi, biarlah. Tuhan telah memberakahiku
berupa pertemuan denganmu. Aku dan semuanya akan pergi juga, menuju langit sana.
Suatu hari nanti.
Jika malam akan berganti dengan
cerahnya pagi, maka perasaanpun begitu pula. Ia akan berganti. Nelangsa-nelangsa
itu hanya hujan sesaat, aku tahu bahwa Ia tak akan pernah biarkan kita menangis
sendiri. Cinta-Nya yang kudus adalah harapan terbesar, dan dengan itulah
segalanya indah.