Di suatu malam yang
sepi, ketika dinginnya angin mulai merasuk ke tulang terdalam, saat manusia
telah terlelap pulas dalam tidur, aku masih terjaga. Bermenung bersama
keheningan dan bercengkrama dengan kehampaan sambil meratapi kesedihan-kesedihan
yang berhembus kepadaku di bawah payung
sinar rembulan.
Kepalaku terasa berat,
tak mampu berpikir atau membayangkan sesuatu yang barangkali dapat membawa
seutas senyum di bibirku. Air mataku mengalir ke dalam, tidak keluar
sedikitpun. Aku merasa sangat amat sedih. Bahkan beberapa hari terakhir, tak
satupun aktivitas kulakukan dengan sungguh-sungguh tanpa mengingat kesedihanku.
Aku putus asa, bahkan merasa bahwa Tuhan telah berpaling dariku.
Tiba-tiba, seseorang
muncul dari sisi kananku. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya siluet karena
sinar yang tidak benderang. Tapi aku dapat memastikan bahwa ia adalah seorang
pria. Pria itu sesenggukan menangis. Aku sejenak melupakan masalahku, hendak
bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Namun sebelum aku
melaksanakan niat itu, ia telah bersuara lebih dahulu.
“Saudaraku, aku sangat
bersedih. Hari ini aku kehilangan gaji yang baru saja aku terima. Padahal aku
telah berjanji kepada anakku untuk membelikannya sepeda. Aku bingung karena
gajiku tidaklah besar, dan masih ada cicilan rumah dan kendaraan yang mesti aku
bayar. Aku harus menunda keinginan anakku tapi aku telah berjanji akan memenuhi
keinginannya,” ucap pria itu sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangan dan terus menangis tersedu.
Belum sempat aku
bereaksi atas ceritanya, sebuah siluet lain hadir di sisi kanan pria tadi, ia
juga menangis. Dari suaranya, jelas saja ia seorang wanita meski tak dapat
kupastikan usianya. Ia mendongakkan wajahnya ke langit, kemudian berkata, “alangkah
sedih hatiku. Suamiku sudah tidak memberi nafkahnya lagi, ia meninggalkan aku
dan anak-anakku tanpa tanggung jawab. Kini aku harus memikul beban untuk
menghidup anak-anakku.” Tangis wanita itu berhenti. Ia diam tapi masih terisak.
Di sisi kanan wanita
itu, datang lagi seorang yang lain. Ia seorang pria yang juga datang dalam
keadaan menangis. “Betapa teganya Tuhan memberikan aku musibah seperti ini.
Baru saja kumulai usaha perniagaanku, Tuhan merenggutnya dengan membakarnya
sampai habis,” kata pria itu dalam isak tangisnya. Ia tampak lebih emosional
sampai-sampai meletakkan kepalanya ke tanah.
Selesai kuperhatikan
pria itu, hadir lagi seorang pria di sisi kananya. Masih sama, datang dalam
keadaan menangis. “Alangkah menyenangkannya hidup mereka. Meskipun tidak kaya, tapi mereka dapat hidup tenang dan damai. Aku bahkan tidak bisa tersenyumdan tertawa seperti orang-orang miskin itu padahal aku dapat membeli apapun yang aku mau. Hidupku dipenuhi dengan masalah dan kegundahan. Pada akhirnya, kekayaanku hanya membawa kesedihan.”
Setelah pria itu
bertutur tentang kesedihannya, hadir lagi seorang wanita. Ia bersedih karena kematian
putrinya yang sangat ia cintai. Ada lagi yang datang menangisi kematian ayah
bundanya. Ada pula yang bersedih karena putus cinta, belum mendapat jodoh,
perceraian, pemecatan,, nilai yang jelek, telat wisuda, penyesalan kepada diri sendiri, penyakit, perselisihan,
kegagalan sampai yang bersedih karena hidup saudaranya yang sengsara. Betapa banyak kusaksikan mereka yang mengadukan kesedihannya di tengah malam yang semestinya sepi ini. Aku menutup
wajahku dengan kedua tangan, mengeringkan air mataku secepatnya dan kuniatkan
untuk membantu mereka yang mampu kubantu setelahnya. Aku membuka wajahku dan
bersegera bangkit, dan kudapati sekitarku kembali menjadi kosong dan hening.
------
Bersedihlah sewajarnya karena manusia adalah makhluk yang sangat wajar untuk bersedih. Tapi ingatlah selalu, bahwa setiap manusia memiliki kesedihannya masing-masing beserta kadarnya pula. Jika kita dilarang untuk merasa ilmu kita yang paling tinggi, maka harusnya kita juga dilarang untuk merasa bahwa kesedihan kita adalah yang paling tinggi. Nyambung gak? Hehehe