contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 22 Januari 2016
            Di suatu malam yang sepi, ketika dinginnya angin mulai merasuk ke tulang terdalam, saat manusia telah terlelap pulas dalam tidur, aku masih terjaga. Bermenung bersama keheningan dan bercengkrama dengan kehampaan sambil meratapi kesedihan-kesedihan yang berhembus kepadaku  di bawah payung sinar rembulan.
            Kepalaku terasa berat, tak mampu berpikir atau membayangkan sesuatu yang barangkali dapat membawa seutas senyum di bibirku. Air mataku mengalir ke dalam, tidak keluar sedikitpun. Aku merasa sangat amat sedih. Bahkan beberapa hari terakhir, tak satupun aktivitas kulakukan dengan sungguh-sungguh tanpa mengingat kesedihanku. Aku putus asa, bahkan merasa bahwa Tuhan telah berpaling dariku.

            Tiba-tiba, seseorang muncul dari sisi kananku. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya siluet karena sinar yang tidak benderang. Tapi aku dapat memastikan bahwa ia adalah seorang pria. Pria itu sesenggukan menangis. Aku sejenak melupakan masalahku, hendak bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Namun sebelum aku melaksanakan niat itu, ia telah bersuara lebih dahulu.
            “Saudaraku, aku sangat bersedih. Hari ini aku kehilangan gaji yang baru saja aku terima. Padahal aku telah berjanji kepada anakku untuk membelikannya sepeda. Aku bingung karena gajiku tidaklah besar, dan masih ada cicilan rumah dan kendaraan yang mesti aku bayar. Aku harus menunda keinginan anakku tapi aku telah berjanji akan memenuhi keinginannya,” ucap pria itu sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan dan terus menangis tersedu.
            Belum sempat aku bereaksi atas ceritanya, sebuah siluet lain hadir di sisi kanan pria tadi, ia juga menangis. Dari suaranya, jelas saja ia seorang wanita meski tak dapat kupastikan usianya. Ia mendongakkan wajahnya ke langit, kemudian berkata, “alangkah sedih hatiku. Suamiku sudah tidak memberi nafkahnya lagi, ia meninggalkan aku dan anak-anakku tanpa tanggung jawab. Kini aku harus memikul beban untuk menghidup anak-anakku.” Tangis wanita itu berhenti. Ia diam tapi masih terisak.
            Di sisi kanan wanita itu, datang lagi seorang yang lain. Ia seorang pria yang juga datang dalam keadaan menangis. “Betapa teganya Tuhan memberikan aku musibah seperti ini. Baru saja kumulai usaha perniagaanku, Tuhan merenggutnya dengan membakarnya sampai habis,” kata pria itu dalam isak tangisnya. Ia tampak lebih emosional sampai-sampai meletakkan kepalanya ke tanah.
            Selesai kuperhatikan pria itu, hadir lagi seorang pria di sisi kananya. Masih sama, datang dalam keadaan menangis. “Alangkah menyenangkannya hidup mereka. Meskipun tidak kaya, tapi mereka dapat hidup tenang dan damai. Aku bahkan tidak bisa tersenyumdan tertawa seperti orang-orang miskin itu padahal aku dapat membeli apapun yang aku mau. Hidupku dipenuhi dengan masalah dan kegundahan. Pada akhirnya, kekayaanku hanya membawa kesedihan.”
            Setelah pria itu bertutur tentang kesedihannya, hadir lagi seorang wanita. Ia bersedih karena kematian putrinya yang sangat ia cintai. Ada lagi yang datang menangisi kematian ayah bundanya. Ada pula yang bersedih karena putus cinta, belum mendapat jodoh, perceraian, pemecatan,, nilai yang jelek, telat wisuda, penyesalan kepada diri sendiri, penyakit, perselisihan, kegagalan sampai yang bersedih karena hidup saudaranya yang sengsara. Betapa banyak kusaksikan mereka yang mengadukan kesedihannya di tengah malam yang semestinya sepi ini. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mengeringkan air mataku secepatnya dan kuniatkan untuk membantu mereka yang mampu kubantu setelahnya. Aku membuka wajahku dan bersegera bangkit, dan kudapati sekitarku kembali menjadi kosong dan hening.

------

Bersedihlah sewajarnya karena manusia adalah makhluk yang sangat wajar untuk bersedih. Tapi ingatlah selalu, bahwa setiap manusia memiliki kesedihannya masing-masing beserta kadarnya pula. Jika kita dilarang untuk merasa ilmu kita yang paling tinggi, maka harusnya kita juga dilarang untuk merasa bahwa kesedihan kita adalah yang paling tinggi. Nyambung gak? Hehehe




| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI