Tulisan singkat ini adalah bentuk
keprihatinan kepada dunia pendidikan yang entah terlalu kuno ataupun terlalu
modern, sekaligus sedikit mencolek aktivis-aktivis yang gemar mengampanyekan
slogan anti pembajakan. Barangkali ada yang tersentuh.
Di suatu hari yang pada akhirnya
menggugah pikiran saya untuk menulis tulisan semacam ini, saya bertemu dengan
seorang teman. Dia mendatangi saya dengan maksud untuk meminjam beberapa buku
demi menyelesaikan tugas kuliahnya. Saya pun memberikan buku-buku yang dia
butuhkan, kebetulan saya memiliki buku-buku yang dia butuhkan itu.
Saya lantas bertanya, “loh, banyak
juga ya buku referensi yang dibutuhkan. Kenapa tidak copas saja dari internet,
gampang.” Dalam hati, saya justru kagum dengan teman saya ini, karena masih mau
memakai buku-buku untuk menulis tugas di tengah kualitas teknologi yang sangat
luar biasa maju ini.
“Biar bagus saja. Lebih puas dan
insyaallah saya jadi ikut membaca,” jawabnya. Setelah itu ia berpamitan dan
berjanji akan mengembalikan buku-buku yang ia pinjam setelah satu minggu.
Dari kedatangan teman saya tadi, ada
sesuatu yang mengganjal di pikiran saya. Ternyata masih ada mahasiswa yang mau
membaca buku untuk menyelesaikan tugasnya. Mungkin saya terlalu lebay, karena kenyataannya tetap saja
banyak mahasiswa semacam dia. Namun biar saya jelaskan di paragraf setelah ini.
Di zaman yang super modern seperti
ini, banyak orang mungkin akan tertawa kalau kita masih saja membaca literatur
berupa buku-buku tebal (maupun tipis) dan mengabaikan kecanggihan teknologi.
Bayangkan jika diri anda diminta oleh guru atau dosen anda untuk membuat suatu
artikel tentang kesehatan mental, sebagai seorang ilmuan yang mestinya bersifat
ilmiah, anda akan membutuhkan berbagai macam referensi untuk menyelesaikannya. Bagaimana
cara anda memeroleh referensi yang anda butuhkan? Maukah anda (minimal) datang
ke perpustakaan untuk membaca beberapa buah buku sebagai referensi tugas anda?
Simpan saja jawaban anda di dalam
hati apabila anda malu atau gengsi mengatakannya. Tapi saya yakin, jika saya
mengadakan sebuah penelitian komparatif tentang cara para calon ilmuan (siswa
dan mahasiswa) mencari sumber referensi, maka akan sangat besar presentase
orang-orang yang menjadikan Google sebagai referensi utama ketimbang harus
membaca buku-buku. Meski saya tidak berani menentukan presentase tersebut
mencapai setengah dari sampel yang saya ambil atau tidak, tapi saya yakin akan
melebihi sepertiganya. Anggaplah ini hipotesa murahan dari seorang penulis yang
sedang ingin menyindir.
Saya tidak tahu pasti mengapa sangat
banyak calon ilmuan yang lebih suka menjadikan Google sebagai sumber referensi
tugas-tugas mereka. Mungkin karena memang mencari jawaban via internet jauh
lebih mudah. Bayangkan saja jika anda sedang menyusun sebuah skripsi atau tesis
(mungkin kalau disertasi terlalu tinggi), berapa jumlah buku atau jurnal yang
minimal harus anda baca? Bukankah (kelihatannya) itu sangat amat merepotkan dan
menjenuhkan?
Zaman sudah sangat canggih, kalau
anda maum anda tinggal membuka internet lalu menuliskan apa yang anda inginkan
di layanan mesin pencari, tidak mesti Google. Lalu berbagai macam hasil
penulusuran akan ditampilkan. Buka yang anda inginkan, atau buka saja yang
terletak paling atas dan lihat isinya. Apabila isi tulisan itu sesuai dengan
keinginan, anda hanya tinggal menggerakkan touchpad
atau mouse anda dan kemudian
menekan CTRL + C lalu CTRL + V di lembar tugas anda. Gampang daripada anda
harus pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Apalagi kalau dibandingkan
dengan membeli buku yang harganya sangat mahal, padahal untuk membeli paket
internet saja anda mencari harga yang paling murah.
Mungkin banyak orang yang akan lebih
merasa geli lagi jika melihat sistem pembelajaran di pondok pesantren. Mereka
masih saja mewajibkan santri dan santriwati mereka untuk membaca berbagai macam
kitab yang jauh lebih tua usianya daripada usia orangtua mereka. Kata kiyainya
supaya para santri dan santriwati kelak akan menjadi ilmuan yang paham dan
implementatif. Sistem yang mereka pakai (kelihatannya) terlalu menjelimet dan
kuno, padahal sudah banyak orang yang mengaku ilmuan agama yang bahkan mampu
memberi fatwa haram hanya dengan belajar sebuah smartphone beserta kecanggihan internetnya.
Lebih luar biasa saat saya melihat
anak-anak sekolahan zaman sekarang yang berbondong-bondong ke warnet untuk
mencari tugas sekolah. Mereka rela membayar paket internet berjam-jam meski
hanya dalam waktu setengah jam, tugas-tugas mereka akan selesai via bantuan
Google, selebihnya mereka bisa menggunakan sisa waktu paket internet untuk
membuka bermacam hal, video misalnya. Bandingkan dengan anda dan orang-orang
yang masih ikhlas hati membeli buku atau pergi ke perpustakaan demi mendapatkan
buku sebagai bahan baku tugas. Naif sekali bukan?
Sesuai dengan paragraf awal yang
saya tulis, saya juga mencolek kepada aktivis-aktivis anti
pembajakan-penjiplakan-pencontekan-penyaduran-plagiat atau apalah namanya, agar
tidak usah terlalu bersedih hati karena maraknya pembajakan, ingat bahwa zaman
sudah sangat canggih. Tugas-tugas sekolah dan perkuliahan yang sederhana saja
kini sudah bisa, bahkan diminta untuk di copas
dari internet.
Kemudian untuk teman yang sudah
menginspirasi tulisan ini dan para calon ilmuan yang masih rela membaca bahkan
membeli buku sebagai bahan referensi, saya mengajak agar selalu konsisten atau
bahasa agamanya; istiqamah. Memang orang-orang seperti kalian ini sudah sangat
langka dan kuno, tapi percayalah bahwa para penghuni surga juga makhluk yang memiliki
sifat “langka”.
Semoga tulisan ini juga dapat
menyadarkan pemerintah, agar paling tidak mau memberikan gelar akademis kepada
para ilmuan yang sudah bersedia merelakan uang sakunya sebesar lima ribu atau
sepuluh ribu rupiah untuk copas tugas
dari Google. Hanya sebuah gelar di ujung nama, tidak akan menjadi masalah,
apalagi kita mengenal sebuah pepatah yang mengatakan: apalah arti sebuah nama.