contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 04 Januari 2016
Tulisan singkat ini adalah bentuk keprihatinan kepada dunia pendidikan yang entah terlalu kuno ataupun terlalu modern, sekaligus sedikit mencolek aktivis-aktivis yang gemar mengampanyekan slogan anti pembajakan. Barangkali ada yang tersentuh.
Di suatu hari yang pada akhirnya menggugah pikiran saya untuk menulis tulisan semacam ini, saya bertemu dengan seorang teman. Dia mendatangi saya dengan maksud untuk meminjam beberapa buku demi menyelesaikan tugas kuliahnya. Saya pun memberikan buku-buku yang dia butuhkan, kebetulan saya memiliki buku-buku yang dia butuhkan itu.
Saya lantas bertanya, “loh, banyak juga ya buku referensi yang dibutuhkan. Kenapa tidak copas  saja dari internet, gampang.” Dalam hati, saya justru kagum dengan teman saya ini, karena masih mau memakai buku-buku untuk menulis tugas di tengah kualitas teknologi yang sangat luar biasa maju ini.

“Biar bagus saja. Lebih puas dan insyaallah saya jadi ikut membaca,” jawabnya. Setelah itu ia berpamitan dan berjanji akan mengembalikan buku-buku yang ia pinjam setelah satu minggu.
Dari kedatangan teman saya tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran saya. Ternyata masih ada mahasiswa yang mau membaca buku untuk menyelesaikan tugasnya. Mungkin saya terlalu lebay, karena kenyataannya tetap saja banyak mahasiswa semacam dia. Namun biar saya jelaskan di paragraf setelah ini.
Di zaman yang super modern seperti ini, banyak orang mungkin akan tertawa kalau kita masih saja membaca literatur berupa buku-buku tebal (maupun tipis) dan mengabaikan kecanggihan teknologi. Bayangkan jika diri anda diminta oleh guru atau dosen anda untuk membuat suatu artikel tentang kesehatan mental, sebagai seorang ilmuan yang mestinya bersifat ilmiah, anda akan membutuhkan berbagai macam referensi untuk menyelesaikannya. Bagaimana cara anda memeroleh referensi yang anda butuhkan? Maukah anda (minimal) datang ke perpustakaan untuk membaca beberapa buah buku sebagai referensi tugas anda?
Simpan saja jawaban anda di dalam hati apabila anda malu atau gengsi mengatakannya. Tapi saya yakin, jika saya mengadakan sebuah penelitian komparatif tentang cara para calon ilmuan (siswa dan mahasiswa) mencari sumber referensi, maka akan sangat besar presentase orang-orang yang menjadikan Google sebagai referensi utama ketimbang harus membaca buku-buku. Meski saya tidak berani menentukan presentase tersebut mencapai setengah dari sampel yang saya ambil atau tidak, tapi saya yakin akan melebihi sepertiganya. Anggaplah ini hipotesa murahan dari seorang penulis yang sedang ingin menyindir.
Saya tidak tahu pasti mengapa sangat banyak calon ilmuan yang lebih suka menjadikan Google sebagai sumber referensi tugas-tugas mereka. Mungkin karena memang mencari jawaban via internet jauh lebih mudah. Bayangkan saja jika anda sedang menyusun sebuah skripsi atau tesis (mungkin kalau disertasi terlalu tinggi), berapa jumlah buku atau jurnal yang minimal harus anda baca? Bukankah (kelihatannya) itu sangat amat merepotkan dan menjenuhkan?
Zaman sudah sangat canggih, kalau anda maum anda tinggal membuka internet lalu menuliskan apa yang anda inginkan di layanan mesin pencari, tidak mesti Google. Lalu berbagai macam hasil penulusuran akan ditampilkan. Buka yang anda inginkan, atau buka saja yang terletak paling atas dan lihat isinya. Apabila isi tulisan itu sesuai dengan keinginan, anda hanya tinggal menggerakkan touchpad atau mouse anda dan kemudian menekan CTRL + C lalu CTRL + V di lembar tugas anda. Gampang daripada anda harus pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Apalagi kalau dibandingkan dengan membeli buku yang harganya sangat mahal, padahal untuk membeli paket internet saja anda mencari harga yang paling murah.
Mungkin banyak orang yang akan lebih merasa geli lagi jika melihat sistem pembelajaran di pondok pesantren. Mereka masih saja mewajibkan santri dan santriwati mereka untuk membaca berbagai macam kitab yang jauh lebih tua usianya daripada usia orangtua mereka. Kata kiyainya supaya para santri dan santriwati kelak akan menjadi ilmuan yang paham dan implementatif. Sistem yang mereka pakai (kelihatannya) terlalu menjelimet dan kuno, padahal sudah banyak orang yang mengaku ilmuan agama yang bahkan mampu memberi fatwa haram hanya dengan belajar sebuah smartphone beserta kecanggihan internetnya.
Lebih luar biasa saat saya melihat anak-anak sekolahan zaman sekarang yang berbondong-bondong ke warnet untuk mencari tugas sekolah. Mereka rela membayar paket internet berjam-jam meski hanya dalam waktu setengah jam, tugas-tugas mereka akan selesai via bantuan Google, selebihnya mereka bisa menggunakan sisa waktu paket internet untuk membuka bermacam hal, video misalnya. Bandingkan dengan anda dan orang-orang yang masih ikhlas hati membeli buku atau pergi ke perpustakaan demi mendapatkan buku sebagai bahan baku tugas. Naif sekali bukan?
Sesuai dengan paragraf awal yang saya tulis, saya juga mencolek kepada aktivis-aktivis anti pembajakan-penjiplakan-pencontekan-penyaduran-plagiat atau apalah namanya, agar tidak usah terlalu bersedih hati karena maraknya pembajakan, ingat bahwa zaman sudah sangat canggih. Tugas-tugas sekolah dan perkuliahan yang sederhana saja kini sudah bisa, bahkan diminta untuk di copas dari internet.
Kemudian untuk teman yang sudah menginspirasi tulisan ini dan para calon ilmuan yang masih rela membaca bahkan membeli buku sebagai bahan referensi, saya mengajak agar selalu konsisten atau bahasa agamanya; istiqamah. Memang orang-orang seperti kalian ini sudah sangat langka dan kuno, tapi percayalah bahwa para penghuni surga juga makhluk yang memiliki sifat “langka”.
Semoga tulisan ini juga dapat menyadarkan pemerintah, agar paling tidak mau memberikan gelar akademis kepada para ilmuan yang sudah bersedia merelakan uang sakunya sebesar lima ribu atau sepuluh ribu rupiah untuk copas tugas dari Google. Hanya sebuah gelar di ujung nama, tidak akan menjadi masalah, apalagi kita mengenal sebuah pepatah yang mengatakan: apalah arti sebuah nama.


| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI