contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Sabtu, 27 Juli 2013


“Wahai Suamiku, sesungguhnya aku telah halal bagimu. Aku sangat bersyukur pada Allah Subhanahu Wa Ta’aala karena ayahku telah memilihkan suami yang tampan, baik, soleh dan cerdas seperti dirimu” Seorang wanita duduk di sisi suaminya, rona wajahnya sumringah karena itulah malam pertama ia dengan suaminya
“Akupun begitu wahai istriku sayang, aku bersyukur pada Allah karena cintaku yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahan.” Sang Lelaki menatap istrinya
“Suamiku, bolehkah aku jujur padamu?” Wanita menatap suaminya
“Tentu saja istriku”
“Tahukah engkau wahai suamiku, sebelum aku menikah denganmu aku telah lama memendam perasaan pada seorang pemuda yang kuyakini juga memendam rasa padaku. Hingga akhirnya ayahku menikahkanku denganmu. Kini, kaulah suamiku, kaulah imamku, aku akan ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhi dan menaatimu”
Kata-kata Istrinya membuat sang Suami terkagum karena kejujurannya dan kepatuhannya pada sang ayah. Akan tetapi hatinya sedih karena merasa bahwa istrinya telah terluka.

“Astaghfirullah. Maafkan aku suamiku, tiada maksudku untuk menyakitimu. Demi Allah, saat ini kaulah cintaku, kaulah raja yang bertahta di hatiku. Ayo kita nikmati malam yang indah ini.” Istrinya mencoba merayu, tetapi Sang Suami terdiam. Hatinya bergelayutan perasaan bersalah karena berprasangka bahwa hati Sang Istri terluka.
“Sayangku, kau tahu betapa ku mencintaimu, kau juga tahu bagaimana perjuanganku mendapatkan cintamu. Namun aku pun akan merasa bersalah apabila engkau menerima ku bukan dari hatimu.” Sang Suami menatap sedih istrinya. “Engkau memang sudah kunikahi, tetapi aku belum menyentuhmu sedikitpun. Maka aku rela menceraikanmu saat ini juga, agar Engkau bisa bahagia dengan lelaki yang kau dambakan. Demi Allah aku Ikhlas” Sang Suami yang tulus cintanya pada Yang Maha Penyayang tak ingin perempuan yang ia cintai bersedih, baginya, melihat Sang Istri yang baru ia nikahi bersama lelaki yang dicintainya lebih baik, daripada harus seperti ini, duga Sang Suami. “Namun, sebelum itu, izinkanlah aku mengetahui siapa lelaki yang Engkau cintai itu sayang”

--------------

Ali termangu, matanya kosong. Hatinya berisi rasa cinta yang tiada tara pada seorang sahabatnya. Sahabatnya yang teramat mulia, putri dari sepupunya yang begitu ia junjung tinggi, Muhammad bin Abdullah. Fathimah Az-Zahra nama gadis suci itu, anak seorang manusia yang paling mulia di atas bumi, seorang wanita yang kecantikannya bercahaya dari hati hingga gerak fisiknya yang mengikuti sang ayah. Ali mendamba cinta, usianya telah cukup untuk berumah tangga, tapi kalbunya bergetar, ‘Siapakah diriku ini? Hanya seorang pemuda miskin!’ Perasaan selalu ia pendam, lidahnya yang terjaga tentulah tak sanggup mengucap kata tidak halal pada wanita yang ia cintai, matanya bahkan tak sanggup menghadap ke arah Fathimah.
Awalnya hati Ali berpegang pada kesabaran, hatinya sungguh sangat tidak mengetahui apakah gelombang dalam dadanya dapat disebut dengan ‘cinta’, sungguh memesonanya apabila ia dapat menjadi menantu seorang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Tetapi rasanya semua itu telah gugur, beberapa waktu lalu telinganya mendapat kabar bahwa Fathimah dilamar oleh Abu Bakar. Ah! Pupus sudah! “Siapakah diriku ini dibanding Abu Bakar? Dia adalah seorang saudagar kaya, dia adalah sahabat terdekat Nabi, peneman hijrah Nabi dan orang yang rela memberikan nyawanya untuk Nabi. Abu Bakar yang perkataannya mengIslamkan banyak orang, Abu Bakar yang merelakan banyak hartanya untuk memerdekakan para budak seperti Bilal, Yassir, Khabbab dan lainnya.  Sedangkan aku?”  Hati Ali sangat pedih mendengar kabar ini. Ali mengutamakan Abu Bakar atas dirinya. Meski cahaya hatinya sempat berbinar tatkala mengetahui bahwa lamaran Abu Bakar ditolak, tetapi hatinya kembali meredup gelap saat sahabat rasulullah yang lain juga mengajukan lamaran. “Seorang seperti dia? Yang dijuluki sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebathilan, yang keislamannya membuat seluruh umat Islam berani mengangkatkan kepala?” sahabat itu ialah 'Umar bin Khaththab. Lagi-lagi Ali berusaha mengikhlaskan. Baginya, mungkin 'Umar jauh lebih berhak menjadi menantu Rasulullah ketimbang dirinya yang tak berada. ‘Tak mungkinlah melamar seorang putri Rasulullah dengan keadaan yang miskin’ pikir Ali. Ia juga mengutamakan Umar atas dirinya. Tiada penantian dalam cinta, hanya ada dua pilihan yaitu keberanian mengambil kesempatan untuk melamar, atau pengorbanan dengan mempersilahkan.
Tapi fakta berbicara lain, lamaran 'Umar pun juga ditolak. Lalu menantu seperti apa yang diinginkan oleh Rasulullah? Setelah lamaran dari dua sahabat terbaik juga ditolak?. Mungkinkah Utsman yang seorang jutawan? Atau Abul Ash bin Rabi? Tanda Tanya menggelayuti pikiran Ali tentang siapa yang diinginkan oleh Rasulullah untuk menjadi menantunya.
Di satu sisi, penolakan terhadap 'Umar menjadi pengobar semangat Ali, ia kembali bisa berharap pada Allah Subhanahu Wa Ta’aala agar dijadikan-Nya Fathimah sebagai istri Ali. “Pergilah Ali, lamarlah Fathimah!” Begitu dorongan para sahabat Ali agar ia segera melamar putri Rasulullah. Meski ada rasa segan dan ketidakpantasan, tetapi Ali memberanikan diri menghadap Rasulullah, dengan maksud melamar Fathimah.

-------
 
“Apakah engkau memiliki sesuatu?” Rasulullah bertanya pada Ali
“Tidak, wahai Rasul Allah.” Ali menjawab
“Dimana pakaian perangmu yang hitam? Yang aku berikan padamu.” Rasulullah kembali bertanya
“Masih ada padaku wahai Rasulullah”
“Kalau begitu, berikan itu pada Fathimah sebagai mahar”
Darah Ali serasa mengalir tak menentu, "Maa Syaaa Allah" Beberapa detik yang lalu sesuatu seperti ini masih menjadi mimpi, tapi kini segalanya terasa ada di pelupuk mata.
Ali bergegas pulang mengambil baju besi itu, olehnya baju besi itu ia jual pada sahabat Rasulullah, Utsman bin Affan seharga 470 dirham.
Jadilah lamaran Ali diterima oleh Rasulullah, entah bagaimana kebahagiaan dalam hati Ali mendapati kenyataan bahwa ia akan menjadi menantu Sang Rasul. Cinta tak pernah meminta untuk menanti, seperti Ali, ia mempersilahkan, yaitu pengorbanan untuk lebih mengutamakan Abu Bakar dan Umar, dan ia mengambil kesempatan, yaitu keberanian saat ia melamar Fathimah. Bukan dengan janji-janji manis atau kata-kata bersyair indah. Ali menikahi Fathimah setelah menggadaikan baju besinya, tiada menunggu waktu, pernikahan dilaksanakan segera. Sikap Ali mengundang kekaguman orang-orang kala itu, hingga munculah pujian “Laa Fatan Ilaa ‘Aliyyan” yang maknanya “Tiada pemuda kecuali Ali!” Seorang pejuang cinta nan sejati, yang membangun bahtera cintanya diatas lautan asa dalam pengharapan penuh keikhlasan, serta pengorbanan.

------------------

Air mata Sang Istri mengalir deras, bibirnya melebar tersenyum. “Wahai Suamiku, aku sangat mencintaimu. Sungguh. Tak ada lelaki yang merajai hatiku kecuali engkau sayang. Karena Allah, aku sangat cinta padamu.” Berkali kali Sang Istri mengulangi ucapanya. Sang Suami semakin bingung
“Wahai Sayang, awalnya aku ingin tertawa melihat sikapmu. Sungguh, aku hanya menggodamu dengan cerita tentang lelaki yang membuat aku memendam rasa. Sudah lama aku ingin bercanda dengannya, seperti saat ini. Walau ia malah membuatku menangis bahagia” Jawaban Istrinya membuat Sang Suami semakin bingung. Ia kesal, namun hatinya berusaha selembut mungkin
“Sudahlah, katakan saja siapa lelaki itu.”
Mendengar perkataan Sang Suami yang nampaknya mulai kesal, Si Istri mendekap suaminya, kali ini dengan dekapan yang sangat mesra dan manja. “Sayangku, benar memang bahwasanya aku memendam rasa cintaku, berhari-hari, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tak sanggup kuungkapkan, aku terlalu takut, tak ingin kunodai rasa cinta suci yang Allah anugerahkan padaku, meski hatiku bergetar setiap kali kulihat dirinya. Dan kini, lelaki itu ku buat galau di malam pertamanya.” Sang Istri tertawa kecil. “Kau ingin tahu siapa lelaki itu sayang? Saat ini dia sedang ku peluk erat. Ku keluarkan kata-kata manja padanya, aku sangat, sangat mencintainya. Dia adalah engkau, Ali. Ali bin Abi Thalib, sepupu ayahku Rasulullah. Engkaulah pujaan hatiku”


@soniindrayana
*kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra dengan pengeditan dialog antar tokoh

| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI