“Wahai Suamiku, sesungguhnya aku
telah halal bagimu. Aku sangat bersyukur pada Allah Subhanahu Wa Ta’aala karena
ayahku telah memilihkan suami yang tampan, baik, soleh dan cerdas seperti
dirimu” Seorang wanita duduk di sisi suaminya, rona wajahnya sumringah karena
itulah malam pertama ia dengan suaminya
“Akupun begitu wahai istriku sayang,
aku bersyukur pada Allah karena cintaku yang telah lama kupendam telah menjadi
halal dengan ikatan suci pernikahan.” Sang Lelaki menatap istrinya
“Suamiku, bolehkah aku jujur
padamu?” Wanita menatap suaminya
“Tentu saja istriku”
“Tahukah engkau wahai suamiku,
sebelum aku menikah denganmu aku telah lama memendam perasaan pada seorang
pemuda yang kuyakini juga memendam rasa padaku. Hingga akhirnya ayahku
menikahkanku denganmu. Kini, kaulah suamiku, kaulah imamku, aku akan ikhlas
melayanimu, mendampingimu, mematuhi dan menaatimu”
Kata-kata Istrinya membuat sang
Suami terkagum karena kejujurannya dan kepatuhannya pada sang ayah. Akan tetapi
hatinya sedih karena merasa bahwa istrinya telah terluka.
“Astaghfirullah. Maafkan aku
suamiku, tiada maksudku untuk menyakitimu. Demi Allah, saat ini kaulah cintaku,
kaulah raja yang bertahta di hatiku. Ayo kita nikmati malam yang indah ini.” Istrinya mencoba
merayu, tetapi Sang Suami terdiam. Hatinya bergelayutan perasaan bersalah
karena berprasangka bahwa hati Sang Istri terluka.
“Sayangku, kau tahu betapa ku
mencintaimu, kau juga tahu bagaimana perjuanganku mendapatkan cintamu. Namun
aku pun akan merasa bersalah apabila engkau menerima ku bukan dari hatimu.”
Sang Suami menatap sedih istrinya. “Engkau memang sudah kunikahi, tetapi aku
belum menyentuhmu sedikitpun. Maka aku rela menceraikanmu saat ini juga, agar
Engkau bisa bahagia dengan lelaki yang kau dambakan. Demi Allah aku Ikhlas”
Sang Suami yang tulus cintanya pada Yang Maha Penyayang tak ingin perempuan
yang ia cintai bersedih, baginya, melihat Sang Istri yang baru ia nikahi
bersama lelaki yang dicintainya lebih baik, daripada harus seperti ini, duga
Sang Suami. “Namun, sebelum itu, izinkanlah aku mengetahui siapa lelaki yang
Engkau cintai itu sayang”
--------------
Ali termangu, matanya kosong.
Hatinya berisi rasa cinta yang tiada tara pada seorang sahabatnya. Sahabatnya
yang teramat mulia, putri dari sepupunya yang begitu ia junjung tinggi,
Muhammad bin Abdullah. Fathimah Az-Zahra nama gadis suci itu, anak seorang
manusia yang paling mulia di atas bumi, seorang wanita yang kecantikannya
bercahaya dari hati hingga gerak fisiknya yang mengikuti sang ayah. Ali
mendamba cinta, usianya telah cukup untuk berumah tangga, tapi kalbunya
bergetar, ‘Siapakah diriku ini? Hanya seorang pemuda miskin!’ Perasaan selalu
ia pendam, lidahnya yang terjaga tentulah tak sanggup mengucap kata tidak halal
pada wanita yang ia cintai, matanya bahkan tak sanggup menghadap ke arah
Fathimah.
Awalnya hati Ali berpegang pada
kesabaran, hatinya sungguh sangat tidak mengetahui apakah gelombang dalam
dadanya dapat disebut dengan ‘cinta’, sungguh memesonanya apabila ia dapat
menjadi menantu seorang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Tetapi rasanya
semua itu telah gugur, beberapa waktu lalu telinganya mendapat kabar bahwa
Fathimah dilamar oleh Abu Bakar. Ah! Pupus sudah! “Siapakah diriku ini
dibanding Abu Bakar? Dia adalah seorang saudagar kaya, dia adalah sahabat
terdekat Nabi, peneman hijrah Nabi dan orang yang rela memberikan nyawanya
untuk Nabi. Abu Bakar yang perkataannya mengIslamkan banyak orang, Abu Bakar
yang merelakan banyak hartanya untuk memerdekakan para budak seperti Bilal,
Yassir, Khabbab dan lainnya. Sedangkan
aku?” Hati Ali sangat pedih mendengar
kabar ini. Ali mengutamakan
Abu Bakar atas dirinya. Meski cahaya hatinya sempat berbinar tatkala
mengetahui bahwa lamaran Abu Bakar ditolak, tetapi hatinya kembali meredup
gelap saat sahabat rasulullah yang lain juga mengajukan lamaran. “Seorang
seperti dia? Yang dijuluki sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebathilan,
yang keislamannya membuat seluruh umat Islam berani mengangkatkan kepala?”
sahabat itu ialah 'Umar bin Khaththab. Lagi-lagi Ali berusaha mengikhlaskan.
Baginya, mungkin 'Umar jauh lebih berhak menjadi menantu Rasulullah ketimbang
dirinya yang tak berada. ‘Tak mungkinlah melamar seorang putri Rasulullah
dengan keadaan yang miskin’ pikir Ali. Ia juga mengutamakan Umar atas dirinya. Tiada penantian dalam cinta, hanya ada dua pilihan yaitu keberanian mengambil kesempatan untuk melamar, atau pengorbanan dengan mempersilahkan.
Tapi fakta berbicara lain, lamaran 'Umar pun juga ditolak. Lalu menantu seperti apa yang diinginkan oleh
Rasulullah? Setelah lamaran dari dua sahabat terbaik juga ditolak?. Mungkinkah
Utsman yang seorang jutawan? Atau Abul Ash bin Rabi? Tanda Tanya menggelayuti
pikiran Ali tentang siapa yang diinginkan oleh Rasulullah untuk menjadi
menantunya.
Di satu sisi, penolakan terhadap
'Umar menjadi pengobar semangat Ali, ia kembali bisa berharap pada Allah
Subhanahu Wa Ta’aala agar dijadikan-Nya Fathimah sebagai istri Ali. “Pergilah Ali, lamarlah
Fathimah!” Begitu dorongan para sahabat Ali agar ia segera melamar putri
Rasulullah. Meski ada rasa segan dan ketidakpantasan, tetapi Ali memberanikan
diri menghadap Rasulullah, dengan maksud melamar Fathimah.
-------
“Apakah engkau memiliki sesuatu?”
Rasulullah bertanya pada Ali
“Tidak, wahai Rasul Allah.” Ali
menjawab
“Dimana pakaian perangmu yang hitam?
Yang aku berikan padamu.” Rasulullah kembali bertanya
“Masih ada padaku wahai Rasulullah”
“Kalau begitu, berikan itu pada
Fathimah sebagai mahar”
Darah Ali serasa mengalir tak menentu, "Maa Syaaa Allah" Beberapa detik yang lalu sesuatu seperti ini masih menjadi mimpi, tapi kini segalanya terasa ada di pelupuk mata.
Darah Ali serasa mengalir tak menentu, "Maa Syaaa Allah" Beberapa detik yang lalu sesuatu seperti ini masih menjadi mimpi, tapi kini segalanya terasa ada di pelupuk mata.
Ali bergegas pulang mengambil baju
besi itu, olehnya baju besi itu ia jual pada sahabat Rasulullah, Utsman bin
Affan seharga 470 dirham.
Jadilah lamaran Ali diterima oleh
Rasulullah, entah bagaimana kebahagiaan dalam hati Ali mendapati kenyataan
bahwa ia akan menjadi menantu Sang Rasul. Cinta tak pernah meminta untuk
menanti, seperti Ali, ia mempersilahkan, yaitu pengorbanan untuk lebih
mengutamakan Abu Bakar dan Umar, dan ia mengambil kesempatan, yaitu keberanian
saat ia melamar Fathimah. Bukan dengan janji-janji manis atau kata-kata
bersyair indah. Ali menikahi Fathimah setelah menggadaikan baju besinya, tiada
menunggu waktu, pernikahan dilaksanakan segera. Sikap Ali mengundang kekaguman
orang-orang kala itu, hingga munculah pujian “Laa Fatan Ilaa ‘Aliyyan” yang
maknanya “Tiada pemuda kecuali Ali!” Seorang pejuang cinta nan sejati, yang
membangun bahtera cintanya diatas lautan asa dalam pengharapan penuh keikhlasan,
serta pengorbanan.
------------------
Air mata Sang Istri mengalir deras,
bibirnya melebar tersenyum. “Wahai Suamiku, aku sangat mencintaimu. Sungguh.
Tak ada lelaki yang merajai hatiku kecuali engkau sayang. Karena Allah, aku
sangat cinta padamu.” Berkali kali Sang Istri mengulangi ucapanya. Sang Suami
semakin bingung
“Wahai Sayang, awalnya aku ingin
tertawa melihat sikapmu. Sungguh, aku hanya menggodamu dengan cerita tentang
lelaki yang membuat aku memendam rasa. Sudah lama aku ingin bercanda dengannya,
seperti saat ini. Walau ia malah membuatku menangis bahagia” Jawaban Istrinya
membuat Sang Suami semakin bingung. Ia kesal, namun hatinya berusaha selembut
mungkin
“Sudahlah, katakan saja siapa lelaki
itu.”
Mendengar perkataan Sang Suami yang
nampaknya mulai kesal, Si Istri mendekap suaminya, kali ini dengan dekapan yang
sangat mesra dan manja. “Sayangku, benar memang bahwasanya aku memendam rasa
cintaku, berhari-hari, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tak sanggup
kuungkapkan, aku terlalu takut, tak ingin kunodai rasa cinta suci yang Allah
anugerahkan padaku, meski hatiku bergetar setiap kali kulihat dirinya. Dan kini,
lelaki itu ku buat galau di malam pertamanya.” Sang Istri tertawa kecil. “Kau
ingin tahu siapa lelaki itu sayang? Saat ini dia sedang ku peluk erat. Ku keluarkan
kata-kata manja padanya, aku sangat, sangat mencintainya. Dia adalah engkau,
Ali. Ali bin Abi Thalib, sepupu ayahku Rasulullah. Engkaulah pujaan hatiku”
@soniindrayana
*kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra dengan pengeditan dialog antar tokoh