contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 05 Agustus 2013


Mentari bersinar terang, memaparkan cahaya yang panas dan menyengat. Beberapa debu kasar b, sesekali menghantam wajahketerbangan di udara sehingga membuat perih. Aku menggerakkan langkah kaki menelusuri jalanan aspal yang tertutup oleh bebatuan, kepala kutundukkan seperti ingin menghitung banyaknya batu-batu yang bentuknya tidak beraturan ini. Rasa sakit terkadang timbul saat bagian tajam dari batu-batu ini menusuk kakiku, bahkan ada diantaranya  yang menimbulkan titik-titik darah segar, tapi biarlah karena ini beluml seberapa. Macam rupa wajah coba kusaksikan hari ini saat mengangkat pandangan, masih seperti biasanya dalam beberapa waktu terakhir, yaitu wajah-wajah menyedihkan yang mengharap penghibaan.
Setelah sekian lama berjalan tanpa arah tubuhku pun terserang penat, si malas membantu si lelah mempengaruhi diriku untuk beristirahat dan menghentikan langkah, hingga akhirnya aku melihat sebuah batu besar yang mungkin bisa menjadi lokasi beristirahat yang pas. Aku merebahkan badan diatas batu itu, walau hanya sebuah batu kasar, tetapi bagiku terasa bagai sebuah singgasana penguasa yang bersantai pongah. Kuseka aliran keringat di dahi yang hendak menuju mata. Paparan sinar matahari sedikit terlindung oleh sisa gedung yang dulunya berdiri kokoh, jadinya tempat ini sungguh cocok untukku mengisi tenaga kembali, ditemani dengan sensasi rasa berat pada kelopak mata.

Rasa kantuk yang semakin berat membuatku memejamkan mata agar rasa kantuk membawaku ke alam mimpi. Namun perhatianku teralih saat kusadari ada seorang bocah perempuan yang berjalan di sisi kananku, wajahnya yang lucu kumal dengan noda minyak, tangan kirinya memeluk boneka beruang berwarna cokelat. Langkahnya yang lesu dan polos membuat rasa kantukku hilang, mataku seperti senang memperhatikan anak ini. Ingin menyapa dan mengajaknya bermain, “mudah-mudahan bisa membuatku tersenyum” harapku.
Aku bukanlah orang yang menutup diri dengan segala yang terbentang di sekitarku, dengan apa yang aku dan orang-orang alami, namun entah kenapa ketika melihat anak ini hatiku sangat ingin menangis, air mataku laksana air bah yang memecahkan bendungan. Semua itu kurasakan tatkala tangan kanannya menyibak ponis rambutnya yang sedikit kecoklatan. Tangan kanannya tak lagi berjari!. Ah. Walau samar hatiku berkata yakin, “Bukan. Bukan, itu bukan cacat lahir. Itu adalah perbuatan manusia berhati setan yang entah apa kata yang lebih cocok untuk menyebutnya!” Aku beranjak berdiri, sebelum ku temui, mungkin ada baiknya ku ikuti kemana ia pergi.
Dari belakang ku perhatikan tangan kanannya yang tak berjari itu, dari segi bentuk pastilah itu karena panas yang sangat dahsyat membakar tangannya. Dan tak menutup kemungkinan ada bagian lain dari tubuhnya yang terkena luka bakar. “Berapakah usia anak ini?” Kalbuku bertanya. Tinggi anak ini mungkin tak lebih dari pinggangku, mungkin usianya kira-kira 4 sampai 5 tahun. Anak itu terus berjalan, di depan sebuah genangan air yang cukup besar, ia berhenti. Terus kuperhatikan dirinya, menggeser posisi ku melihat ke sebelah kanannya, seolah tiada lagi yang dapat kuperhatikan selain dia. Ia meletakkan boneka beruang coklatnya di atas batu kecil, lalu telapak tangan kirinya mengambil sebagian air dari genangan tadi, sedangkan tangan kanannya yang tak berjari itu ia letakkan di punggung tangan kirinya. Ia mendekatkan air yang ia ciduk ke bibirnya, lalu meminumnya. “Maasyaa Allah” Aku langsung tertunduk lemas, tulang-tulangku seakan melemah melihat itu. Sudah, sudah, memang beginilah keadaannya. Air adalah barang berharga bagi kami. Keran-keran sudah tak mengeluarkan air, pipa-pipa sudah tak berisi air lagi. Air bersih bagaikan sepotong safir untuk kami, balada wajah yang menghiba.
Kuhampiri anak itu, kubelai kepalanya dan kuucapkan salam kepadanya. Ia jawab salam ku dengan suara yang lirih. “Dimana keluargamu?” Tanyaku langsung karena sedari tadi aku melihatnya berjalan tak tentu arah. Ia tak menjawab dengan suara, hanya gelengan kepala dengan pelan. “Orangtuamu?” Lanjutku. Jawabnya sama, hanya gelengan kepala.
Memang jawaban seperti itu sudah terdengar biasa di tanah ini, anak-anak yang tak berorangtua, dicacatkan, tak punya mainan, tak punya makanan dan minuman dan tak punya tempat tinggal. Tetapi kali ini aku seperti baru pertamakali mendengarnya. Aku bahkan hanya makan seperempat potong roti dari tumpukan sampah hari ini, tapi bagiku itu sudah sangat berarti lebih.
Setelah cukup lama ku ajak bicara, akhirnya anak ini mulai mau mengeluarkan suaranya. “Aku Cuma ingat, waktu sedang di rumah bersama ayah bunda, sesuatu yang suaranya mengerikan jatuh dari langit yang membuat rumahku terbakar, setelah itu aku gak ingat lagi. Sewaktu sadar aku udah di rumah sakit dan…..” Penjelasannya berhenti. Menatap sedih tangan kanannya.  Dari cara bicaranya yang lancar aku yakin kalau anak ini sebenarnya cerdas dan riang, hanya saja rasa trauma akan kejadian mengerikan itu telah merusaknya.
Anak ini adalah pemandangan hiba kesekian yang kusaksikan di tanah airku dan masih banyak lagi. Ibu yang dengan tenaga perempuannya menyingkirkan tumpukan batu untuk mencari anaknya dibalik reruntuhan bangunan, ayah menggendong anaknya yang berdarah-darah, anak kecil yang tumbuh dewasa lebih awal untuk merawat adiknya, orang-orang tua dan muda yang kehilangan anggota tubuhnya, orang-orang yang tak terobati penyakitnya, anak yang tidur sendirian diatas kasur batu, orang-orang yang mengais makanan dari tempat sampah seperti diriku, tangisan seorang anak melihat foto ayah bundanya yang telah tiada karena dibunuh oleh kekejian, manusia tak berdosa yang dieksekusi, anak-anak penyongsong masa depan yang disudahi hidupnya, gelimpangan mayat mengenaskan yang dijejerkan, dentuman suara-suara meriam yang membuat hujan “bebatuan”, serangan dari burung-burung besi dan terlalu banyak lagi. Itu adalah keseharian kami, di negeri para syuhada, negeri jihad, Suriah. Kami yakin, “matahari” baru akan kembali terbit, sesuatu yang batil akan lenyap, innal bathila kaana zahuuqaa.



@soniindrayana
*cerita berasal dari inspirasi penulis terhadap apa yang terjadi di Suriah


| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI