Mentari
bersinar terang, memaparkan cahaya yang panas dan menyengat. Beberapa debu kasar b, sesekali menghantam wajahketerbangan di udara sehingga membuat
perih. Aku menggerakkan langkah kaki menelusuri jalanan aspal yang tertutup
oleh bebatuan, kepala kutundukkan seperti ingin menghitung banyaknya batu-batu
yang bentuknya tidak beraturan ini. Rasa sakit terkadang timbul saat bagian
tajam dari batu-batu ini menusuk kakiku, bahkan ada diantaranya yang menimbulkan titik-titik darah segar,
tapi biarlah karena ini beluml seberapa. Macam rupa wajah coba kusaksikan
hari ini saat mengangkat pandangan, masih seperti biasanya dalam beberapa waktu
terakhir, yaitu wajah-wajah menyedihkan yang mengharap penghibaan.
Setelah
sekian lama berjalan tanpa arah tubuhku pun terserang penat, si malas membantu
si lelah mempengaruhi diriku untuk beristirahat dan menghentikan langkah,
hingga akhirnya aku melihat sebuah batu besar yang mungkin bisa menjadi lokasi
beristirahat yang pas. Aku merebahkan badan diatas batu itu, walau hanya sebuah
batu kasar, tetapi bagiku terasa bagai sebuah singgasana penguasa yang
bersantai pongah. Kuseka aliran keringat di dahi yang hendak menuju mata. Paparan
sinar matahari sedikit terlindung oleh sisa gedung yang dulunya berdiri kokoh,
jadinya tempat ini sungguh cocok untukku mengisi tenaga kembali, ditemani
dengan sensasi rasa berat pada kelopak mata.
Rasa
kantuk yang semakin berat membuatku memejamkan mata agar rasa kantuk membawaku
ke alam mimpi. Namun perhatianku teralih saat kusadari ada seorang bocah
perempuan yang berjalan di sisi kananku, wajahnya yang lucu kumal dengan noda
minyak, tangan kirinya memeluk boneka beruang berwarna cokelat. Langkahnya yang
lesu dan polos membuat rasa kantukku hilang, mataku seperti senang memperhatikan
anak ini. Ingin menyapa dan mengajaknya bermain, “mudah-mudahan bisa membuatku
tersenyum” harapku.
Aku
bukanlah orang yang menutup diri dengan segala yang terbentang di sekitarku,
dengan apa yang aku dan orang-orang alami, namun entah kenapa ketika melihat
anak ini hatiku sangat ingin menangis, air mataku laksana air bah yang
memecahkan bendungan. Semua itu kurasakan tatkala tangan kanannya menyibak
ponis rambutnya yang sedikit kecoklatan. Tangan kanannya tak lagi berjari!. Ah.
Walau samar hatiku berkata yakin, “Bukan. Bukan, itu bukan cacat lahir. Itu
adalah perbuatan manusia berhati setan yang entah apa kata yang lebih cocok
untuk menyebutnya!” Aku beranjak berdiri, sebelum ku temui, mungkin ada baiknya
ku ikuti kemana ia pergi.
Dari
belakang ku perhatikan tangan kanannya yang tak berjari itu, dari segi bentuk
pastilah itu karena panas yang sangat dahsyat membakar tangannya. Dan tak
menutup kemungkinan ada bagian lain dari tubuhnya yang terkena luka bakar.
“Berapakah usia anak ini?” Kalbuku bertanya. Tinggi anak ini mungkin tak lebih
dari pinggangku, mungkin usianya kira-kira 4 sampai 5 tahun. Anak itu terus
berjalan, di depan sebuah genangan air yang cukup besar, ia berhenti. Terus
kuperhatikan dirinya, menggeser posisi ku melihat ke sebelah kanannya, seolah
tiada lagi yang dapat kuperhatikan selain dia. Ia meletakkan boneka beruang
coklatnya di atas batu kecil, lalu telapak tangan kirinya mengambil sebagian
air dari genangan tadi, sedangkan tangan kanannya yang tak berjari itu ia
letakkan di punggung tangan kirinya. Ia mendekatkan air yang ia ciduk ke
bibirnya, lalu meminumnya. “Maasyaa Allah” Aku langsung tertunduk lemas,
tulang-tulangku seakan melemah melihat itu. Sudah, sudah, memang beginilah
keadaannya. Air adalah barang berharga bagi kami. Keran-keran sudah tak
mengeluarkan air, pipa-pipa sudah tak berisi air lagi. Air bersih bagaikan
sepotong safir untuk kami, balada wajah yang menghiba.
Kuhampiri
anak itu, kubelai kepalanya dan kuucapkan salam kepadanya. Ia jawab salam ku
dengan suara yang lirih. “Dimana keluargamu?” Tanyaku langsung karena sedari
tadi aku melihatnya berjalan tak tentu arah. Ia tak menjawab dengan suara,
hanya gelengan kepala dengan pelan. “Orangtuamu?” Lanjutku. Jawabnya sama,
hanya gelengan kepala.
Memang jawaban
seperti itu sudah terdengar biasa di tanah ini, anak-anak yang tak berorangtua,
dicacatkan, tak punya mainan, tak punya makanan dan minuman dan tak punya
tempat tinggal. Tetapi kali ini aku seperti baru pertamakali mendengarnya. Aku
bahkan hanya makan seperempat potong roti dari tumpukan sampah hari ini, tapi
bagiku itu sudah sangat berarti lebih.
Setelah
cukup lama ku ajak bicara, akhirnya anak ini mulai mau mengeluarkan suaranya.
“Aku Cuma ingat, waktu sedang di rumah bersama ayah bunda, sesuatu yang suaranya
mengerikan jatuh dari langit yang membuat rumahku terbakar, setelah itu aku gak
ingat lagi. Sewaktu sadar aku udah di rumah sakit dan…..” Penjelasannya
berhenti. Menatap sedih tangan kanannya. Dari cara bicaranya yang lancar aku yakin
kalau anak ini sebenarnya cerdas dan riang, hanya saja rasa trauma akan
kejadian mengerikan itu telah merusaknya.
Anak
ini adalah pemandangan hiba kesekian yang kusaksikan di tanah airku dan masih
banyak lagi. Ibu yang dengan tenaga perempuannya menyingkirkan tumpukan batu
untuk mencari anaknya dibalik reruntuhan bangunan, ayah menggendong anaknya
yang berdarah-darah, anak kecil yang tumbuh dewasa lebih awal untuk merawat
adiknya, orang-orang tua dan muda yang kehilangan anggota tubuhnya, orang-orang
yang tak terobati penyakitnya, anak yang tidur sendirian diatas kasur batu,
orang-orang yang mengais makanan dari tempat sampah seperti diriku, tangisan
seorang anak melihat foto ayah bundanya yang telah tiada karena dibunuh oleh
kekejian, manusia tak berdosa yang dieksekusi, anak-anak penyongsong masa depan
yang disudahi hidupnya, gelimpangan mayat mengenaskan yang dijejerkan, dentuman
suara-suara meriam yang membuat hujan “bebatuan”, serangan dari burung-burung
besi dan terlalu banyak lagi. Itu adalah keseharian kami, di negeri para
syuhada, negeri jihad, Suriah. Kami yakin, “matahari” baru akan kembali terbit,
sesuatu yang batil akan lenyap, innal bathila kaana zahuuqaa.
@soniindrayana
*cerita berasal dari inspirasi penulis terhadap apa yang terjadi di Suriah