“Jaga
saudara dari Makkah mu ini baik-baik. Jangan sampai terjadi apa apa dengannya” Teringat
akan pesan sang ibu, Syaimah tak sekalipun lengah dalam menjaga Saudara
Makkahnya. Saudara sepersusuan yang datang dari Makkah saat adiknya, Abdullah,
masih bayi, empat tahun lalu. Saudara sepersusuan yang sangat ia cintai
layaknya cinta kepada adiknya sendiri.
Mereka
bertiga, Syaimah, Abdullah dan Saudara dari Makkah pagi itu sedang
menggembalakan domba-domba milik orangtua mereka sembari menikmati pagi yang
cerah dan menyejukkan. Mereka bertiga sangat akur, saling bercanda satu sama
lain dan saling mencintai. Meskipun suatu waktu Saudara dari Makkah itu pernah
menggigit tangan Syaimah hingga meninggalkan bekas gigitan, sama sekali tidak
membuat cinta diantara mereka tergerus.
Domba-domba
dengan “riangnya” merumput pada hamparan kehijauan, menikmati rezeki-rezeki
yang teramat banyak dari Sang Pencipta. Tapi Syaimah tetap tak pernah lengah
mengawasi Saudara dari Makkahnya, ia perhatikan terus saudara sepersusuannya
itu. Pesan Ibunya agar Sang Saudara Makkah dijaga dari lelah dan luka telah
membuat hatinya bersumpah setia.
Satu
hal yang menarik bagi Syaimah dari Saudara Makkahnya itu adalah kelakukannya
yang lebih suka merenung memerhatikan alam dengan penuh rasa kagum dan ingin
tahu. Seakan-akan bertanya tentang siapa pencipta dari segala karya agung ini.
Langit-langit yang terlihat biru cemerlang, bola cahaya yang bersinar terang di
langit, awan-awan putih yang beterbangan, hewan-hewan yang bermacam rupa bentuknya,
tumbuhan yang menghijau memukau dan tentu, dirinya sendiri. Syaimah hanya bisa
menebak-nebak isi pikiran saudaranya itu.
Mereka
bertiga bermain penuh kebersamaan yang membahagiakan, hingga matahari terus
meninggi dan menerik. Syaimah merasa khawatir Saudara dari Makkahnya itu akan
merasa kepanasan, ia lantas segera ingin memberikan keteduhan. Namun saat itu
pula ia mendapati sebuah kejadian aneh yang membuatnya takjub. Sebuah awan
putih menghalangi panasnya matahari ke arah saudara Makkahnya itu. Syaimah
seakan tak percaya atas apa yang ia lihat. Ia perhatikan saudaranya, lalu
mendongak ke atas, memerhatikan lagi saudaranya, lalu mendongak lagi ke atas,
dan barulah ia yakin bahwa awan itu terkhusus melindungi saudara sepersusuannya
itu. Sampai mereka tiba di rumah, awan itu juga terus melindungi. Kejadian ini
membuat Syaimah tak sabar untuk bercerita pada Halimah, ibunya.
Awalnya
Syaimah khawatir ibunya tak percaya dengan cerita ini, namun tak lama berselang
kekhawatiran itu lenyap bagai kemarau panjang yang tersapu hujan. Ibunya
membenarkan.
“Syaimah, apa yang engkau ceritakan
sungguh tidak membuat ibu terkejut. Saudara dari Makkahmu itu memang anak yang
diberkahi Tuhan.” Memori Halimah flashback
pada kejadian empat tahun lalu, tatkala ia mencari seorang anak untuk disusui
di Makkah. Ketika perjalanan beratnya ke Makkah terhapus begitu saja oleh
keajaiban-keajaiban. Mulai dari air susunya yang tiba-tiba saja melimpah, unta
betina kurus yang seketika punya banyak susu, keledai lemah yang berubah
menjadi kuat sampai turunnya hujan saat kemarau panjang tak pernah pergi dari
daerah tempat Halimah tinggal. Halimah menceritakan kejadian yang tidak
diketahui siapapun ini pada Syaimah, berharap dengan cerita ini Syaimah paham.
“Syaimah,
Abdullah. Waktu kalian tidak lama lagi. Saudara Makkah kalian harus segera
kembali kepada ibu kandungnya.”
“Ibu?.......”
Mata Syaimah berkaca-kaca. Tak percaya dan tak ingin berpisah.
“Syaimah,
dia punya seorang ibu yang paling berhak akan dirinya daripada aku” Halimah
mencoba memberi pengertian, walau ia tahu perpisahan ini adalah hal paling
menyedihkan bagi kedua anaknya.
Syaimah
seakan tak bertenaga lagi. Air matanya mengalir. Saudara Makkah yang sangat ia
cintai harus dipisahkan darinya. Ia tahu bahwa ini adalah hal yang tidak dapat
ditolak, namun tetap saja menelangsakan hati. Sangat sangat menelangsakan....
-------
Seorang
wanita tua dari pihak pasukan Hawaz yang menjadi tawanan pasukan Islam hendak
menemui pemimpin pasukan Islam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
sedang duduk di perkemahan pasukan, walau ia dapatkan kesempatan ini dengan
cara yang penuh perjuangan.
Melihat sesosok lelaki istimewa di
hadapannya, wanita tua itu langsung berkata-kata tanpa menunggu lagi, “Wahai
Muhammad..” Suaranya serak oleh tangis yang mendesak untuk keluar, “Ingatkan
engkau pada aku, saudaramu?”
Saudara? Orang yang mendengar
kata-kata itu pastilah akan menasbihkan wanita ini sebagai pendusta, karena Sang
Panglima pasukan Muslim itu tidak punya saudara kandung.
Rasulullah menatap wanita itu
dengan dalam dan penuh penghayatan. “Aku adalah Syaimah. Saudara perempuanmu.
Dan engkau adalah Muhammad, anak dari Makkah yang pernah tinggal bersamaku, ayahku
Harits, ibuku Halimah dan adikku, Abdullah”
Wanita tua itu lalu menyingkap
lengan bajunya dan menyorongkan tangannya yang terdapat bekas luka gigitan yang
sudah memudar. “Ingatkan engkau dengan luka ini? Ini adalah bekas gigitanmu
saat aku menggendongmu di Bukit Sarar. Dulu kita sama-sama menggembala domba,
bermain bersama-sama dengan adikku juga. Berlari dengan langkah-langkah kecil
kita sambil menikmati hari-hari indah kita dahulu.” Air mata wanita tua itu tak
berhenti mengalir. Saudara
sepersusuan yang telah lama berpisah dan sangat dirindu kini telah hadir di
hadapannya.
Rasulullah
terpaku. Terdiam dan hening, sedangkan matanya sudah berair. Tak lama, tangis
Rasulullah pun pecah. Ia tak kuasa menahan air matanya. Teringat olehnya
kenangan-kenangan indah dahulu bersama Syaimah dan Abdullah serta kebaikan
kedua orangtua mereka, Harits dan Halimah. Segera saja Rasulullah mengambil
tikar terbaik yang ia miliki, membentangkannya langsung dengan tangannya
sendiri, lalu mempersilahkan Syaimah duduk bersamanya.
Cerita-cerita indah mengalir
diantara mereka. Sesosok gadis yang dulu yang ditemui Rasulullah sebagai anak
perempuan yang ceria dan lincah, kini sudah menua dan memutih rambutnya, walau
semangat tidak sedikitpun tergerus.
“Syaimah”
Setelah lama bercerita, Rasulullah menyampaikan sesuatu. “Jika engkau bersedia,
maka tinggalah bersamaku. Engkau akan mendapatkan rasa kasih sayang dan
penghormatan. Kalau engkau tidak mau, maka aku akan mengembalikanmu kepada
kerabatmu”
“Muhammad
saudaraku, sungguh engkau begitu
murah hati. Namun aku punya suami dan anak yang membutuhkanku” Syaimah menolak
tawaran Rasulullah dengan halus.
Rasulullah
menerima keputusan Syaimah, ia memberikan Syaimah hadiah dan tiga orang
pelayan. Ia paham, bahwasanya keluarga adalah harta yang hakiki. Apalah di dunia ini yang dapat menggantikan
keluarga? Tak terbilang besarnya
kebahagiaan saat bersama keluarga.
Kenangan indah di masa lalu........
Indah dikenang dengan hati yang tenang
اللهم صل على محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين