contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Kamis, 05 Juni 2014



            Aku tahu siapa diriku, aku pun tahu siapa engkau. Semua tahu bahwa  apabila Sang Maha Raja membuat objek dalam segaris, maka akan selalu segaris meskipun harus menjadi miris.
-------
            Aku dan engkau berada pada sebuah langit nan megah dan kita memiliki jalan yang sama, pikirku. Tapi tak terbayangkan oleh benakku jika suatu saat nanti kita saling memeluk dalam sebuah perpaduan yang masyhur. Aku bukan apa apa, bagi Bumi, aku tidak lebih dari sekedar teman dekat bagi sang bintang yang jauh dan cahaya temaram untuk malamnya, yang baru hadir setelah orang-orang mengakhiri denyut hari bersamamu. Sedangkan engkau adalah sosok yang seolah dititipi secercah wibawa Sang Maha Abadi. Engkaulah yang membuat mereka tertunduk, seakan tak mampu melihat kecantikanmu, sekalipun tudung melingkupimu, pesonamu tetap memancar jernih bagai tak bercela. Kalau saja kita benar-benar ada dalam satu garis, maka waktu yang bengis itu akan menyatukan kita, membuat kita terus mendekat mendekap sekalipun semesta menjadi miris dan gempar.

            Senandung alam teruntuk kita akan selalu dipersembahkan bagi tiap-tiap yang menyaksikan, kita adalah dua hasil kejadian ajaib dari Sang Maha Kekal, sekalipun aku benar-benar tak pernah bertemu apalagi memelukmu, tapi kutahu bahwa Dia selalu mengetahui kapan akan membuat dua hal yang ditakjubkannya pada semesta bersatu dalam ketunggalan rasa yang padu, dalam kesejatian yang murni.
            Duhai yang kuimpikan, pernahkah engkau menyaksikan malam yang kurangkai? Yang di dalamnya kuninabobokan sebagian dari Bumi, yang membuatku pada akhirnya berteman sunyi? Aku ini hanya Rembulan, yang selalu berharap cahaya darimu untuk Sang Bumi. Dan kenapa engkau, duhai Matahari, lebih memilih pagi sebagai pengantarmu  dan siang sebagai kerajaanmu? Aku terkadang berpikir, kenapa Yang Maha Bijaksana tidak menjadikan aku seperti para bintang siarah yang selalu mengitarimu dengan syahdu? Melainkan Ia jadikan aku sebagai pelayan bagi Sang Bumi setelah tiba waktumu untuk beristirahat dari sebagian belahannya.
            Aku pergi menghadap Merkurius, menceritakan keinginanku untuk memelukmu padanya, namun ia menjawab “Setiap kali kukitari dirinya, dan setiap itu pula aku merasakan panasnya membakarku. Tidakkah kau rasakan betapa panasnya tubuhku ini wahai Rembulan? Padahal aku tidak menyentuhnya. Kau tak akan sanggup memeluknya.” Aku kecewa, memang, lalu aku menuju Uranus, melontarkan pertanyaan yang sama. “Aku tahu bahwa aku tidak akan sanggup memeluknya, maka aku menjauh, tapi sayangnya aku terlalu jauh, dan kini saksikan dan rasakanlah betapa aku telah menjadi yang terdingin dari seluruh bintang siarah. Tapi aku bersyukur, cahayanya masih menujuku, sedikit kehangatan sudah cukup sebagai pengganti pelukannya” Uranus memberikan jawaban yang berlawanan dengan Merkurius, walau intinya tetap sama, mereka mustahil melakukan apa yang aku impi-impikan.
            Aku ingin bertanya pada bintang siarah lainnya, tapi jawaban Merkurius dan Uranus telah membuat keputus asaan datang lebih cepat, merontokkan mental yang tidak pula ideal. Ingin melupakan semua itu, mengirim ke lubang hitam agar lenyap entah kemana.
            Aku lara, seperti baru sadar betapa tingginya impianku, seperti aku tak tahu siapa aku, seperti bercintakan guliga di mulut naga. Sang Bumi menghampiriku, seperti biasa dengan raut kebijaksanaannya “Wahai Yang Setia Mengitariku, apakah yang membuatmu begitu sedih?”
Aku tidak menjawab, kupikir ia sudah tahu, ialah Tuanku, ia pasti tahu.
“Dengarlah Wahai Rembulan, kami hanya ada karena ketetapan Sang Maha Agung, Dia yang ingin kami seperti saat ini. Apapun itu, tidak satupun yang ia ceritakan melebihi apa yang kami ketahui. Biar Sang Waktu yang kelak memberitahu dan mengajarimu tentang cinta sejati” Ucap Sang Bumi.
Aku tertegun dari kesedihan, menatapnya yang penuh dengan citra kesahajaan. Begitulah Bumi, ia adalah yang terbijak dari semuanya.
“Apakah aku begitu naif?”  Aku bertanya lagi.
“Tidak, tidak. Itulah fitrahmu” Jawabnya lagi, kali ini dengan lebih santai.
“Tapi.....”
“Bagiku engkau dan dirinya tetaplah bersanding mesra meskipun kalian tak saling bertemu. Dialah ratu bagi kerajaan siang, dan engkau adalah raja bagi malam.” Lagi, ucapan Bumi begitu bijak dan bermakna, membuatku lebih dapat merasakan angkasa yang tak terkira luasnya.
            Wahai Matahari, kalaulah siang dan malam tidak pernah tercipta, akankah kita saling mengenal? Pernahkah engkau berpikir tentang keberadaan seonggok benda yang jauh dan kecil seperti aku ini? Akankah suatu saat nanti aku dapat memelukmu? Agar rasa nelangsa karena kerinduan ini segera terusir, dan kita dapat bersanding? Perlukah seluruh bintang diangkasa kuperintah untuk membuatmu menujuku? Kalau aku bisa bertanya langsung kepadamu, maukah engkau memelukku wahai Matahari?
            Biarlah. Biarlah. Aku ingin menjadi tak peduli saja, biarlah cintaku tetap kudus di suatu tempat, sampai sang waktu membawa sebuah kabar bahwa Yang Maha Pengabul telah mengeluarkan titahnya pada semesta.



| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI