Aku tahu siapa diriku, aku pun tahu
siapa engkau. Semua tahu bahwa apabila
Sang Maha Raja membuat objek dalam segaris, maka akan selalu segaris meskipun
harus menjadi miris.
-------
Aku dan engkau berada pada sebuah
langit nan megah dan kita memiliki jalan yang sama, pikirku. Tapi tak
terbayangkan oleh benakku jika suatu saat nanti kita saling memeluk dalam
sebuah perpaduan yang masyhur. Aku bukan apa apa, bagi Bumi, aku tidak lebih
dari sekedar teman dekat bagi sang bintang yang jauh dan cahaya temaram untuk
malamnya, yang baru hadir setelah orang-orang mengakhiri denyut hari bersamamu.
Sedangkan engkau adalah sosok yang seolah dititipi secercah wibawa Sang Maha
Abadi. Engkaulah yang membuat mereka tertunduk, seakan tak mampu melihat
kecantikanmu, sekalipun tudung melingkupimu, pesonamu tetap memancar jernih
bagai tak bercela. Kalau saja kita benar-benar ada dalam satu garis, maka waktu
yang bengis itu akan menyatukan kita, membuat kita terus mendekat mendekap
sekalipun semesta menjadi miris dan gempar.
Senandung alam teruntuk kita akan
selalu dipersembahkan bagi tiap-tiap yang menyaksikan, kita adalah dua hasil
kejadian ajaib dari Sang Maha Kekal, sekalipun aku benar-benar tak pernah
bertemu apalagi memelukmu, tapi kutahu bahwa Dia selalu mengetahui kapan akan
membuat dua hal yang ditakjubkannya pada semesta bersatu dalam ketunggalan rasa
yang padu, dalam kesejatian yang murni.
Duhai yang kuimpikan, pernahkah
engkau menyaksikan malam yang kurangkai? Yang di dalamnya kuninabobokan sebagian
dari Bumi, yang membuatku pada akhirnya berteman sunyi? Aku ini hanya Rembulan,
yang selalu berharap cahaya darimu untuk Sang Bumi. Dan kenapa engkau, duhai
Matahari, lebih memilih pagi sebagai pengantarmu dan siang sebagai kerajaanmu? Aku terkadang
berpikir, kenapa Yang Maha Bijaksana tidak menjadikan aku seperti para bintang
siarah yang selalu mengitarimu dengan syahdu? Melainkan Ia jadikan aku sebagai
pelayan bagi Sang Bumi setelah tiba waktumu untuk beristirahat dari sebagian belahannya.
Aku pergi menghadap Merkurius, menceritakan
keinginanku untuk memelukmu padanya, namun ia menjawab “Setiap kali kukitari
dirinya, dan setiap itu pula aku merasakan panasnya membakarku. Tidakkah kau
rasakan betapa panasnya tubuhku ini wahai Rembulan? Padahal aku tidak
menyentuhnya. Kau tak akan sanggup memeluknya.” Aku kecewa, memang, lalu aku menuju
Uranus, melontarkan pertanyaan yang sama. “Aku tahu bahwa aku tidak akan sanggup
memeluknya, maka aku menjauh, tapi sayangnya aku terlalu jauh, dan kini
saksikan dan rasakanlah betapa aku telah menjadi yang terdingin dari seluruh
bintang siarah. Tapi aku bersyukur, cahayanya masih menujuku, sedikit
kehangatan sudah cukup sebagai pengganti pelukannya” Uranus memberikan jawaban
yang berlawanan dengan Merkurius, walau intinya tetap sama, mereka mustahil
melakukan apa yang aku impi-impikan.
Aku ingin bertanya pada bintang
siarah lainnya, tapi jawaban Merkurius dan Uranus telah membuat keputus asaan
datang lebih cepat, merontokkan mental yang tidak pula ideal. Ingin melupakan
semua itu, mengirim ke lubang hitam agar lenyap entah kemana.
Aku lara, seperti baru sadar betapa
tingginya impianku, seperti aku tak tahu siapa aku, seperti bercintakan guliga
di mulut naga. Sang Bumi menghampiriku, seperti biasa dengan raut
kebijaksanaannya “Wahai Yang Setia Mengitariku, apakah yang membuatmu begitu
sedih?”
Aku tidak
menjawab, kupikir ia sudah tahu, ialah Tuanku, ia pasti tahu.
“Dengarlah Wahai
Rembulan, kami hanya ada karena ketetapan Sang Maha Agung, Dia yang ingin kami
seperti saat ini. Apapun itu, tidak satupun yang ia ceritakan melebihi apa yang
kami ketahui. Biar Sang Waktu yang kelak memberitahu dan mengajarimu tentang
cinta sejati” Ucap Sang Bumi.
Aku tertegun
dari kesedihan, menatapnya yang penuh dengan citra kesahajaan. Begitulah Bumi,
ia adalah yang terbijak dari semuanya.
“Apakah aku
begitu naif?” Aku bertanya lagi.
“Tidak, tidak.
Itulah fitrahmu” Jawabnya lagi, kali ini dengan lebih santai.
“Tapi.....”
“Bagiku engkau
dan dirinya tetaplah bersanding mesra meskipun kalian tak saling bertemu.
Dialah ratu bagi kerajaan siang, dan engkau adalah raja bagi malam.” Lagi,
ucapan Bumi begitu bijak dan bermakna, membuatku lebih dapat merasakan angkasa
yang tak terkira luasnya.
Wahai Matahari, kalaulah siang dan malam
tidak pernah tercipta, akankah kita saling mengenal? Pernahkah engkau berpikir
tentang keberadaan seonggok benda yang jauh dan kecil seperti aku ini? Akankah
suatu saat nanti aku dapat memelukmu? Agar rasa nelangsa karena kerinduan ini
segera terusir, dan kita dapat bersanding? Perlukah seluruh bintang diangkasa
kuperintah untuk membuatmu menujuku? Kalau aku bisa bertanya langsung kepadamu,
maukah engkau memelukku wahai Matahari?
Biarlah. Biarlah. Aku ingin menjadi
tak peduli saja, biarlah cintaku tetap kudus di suatu tempat, sampai sang waktu
membawa sebuah kabar bahwa Yang Maha Pengabul telah mengeluarkan titahnya pada
semesta.