النَّبِىَّ الْأُمِّىَّ الَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى التَّوْرَٮٰةِ وَالْإِنجِيلِ
"....Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil...." (QS. Al A'Raf:157)
Bushra, Syiria, 582 Masehi . . .
. . .
Bahira memegang manuskrip kuno
berisi kata-kata Tuhan yang selama ini selalu ia pelajari dan pahami, kali ini
manuskrip yang ia pegang berisi tentang ramalan masa depan yang disebut-sebut
sangat dinanti oleh semesta alam.
“ve yavu
himdath kol haggoyim. Dan aku akan menggoncangkan semua bangsa, dan Himada
untuk semua bangsa akan datang dan Aku akan mengisi rumah ini dengan kemegahan,
kata Tuhan pemilik rumah”
Tangan
Bahira menggigil membaca kata-kata Tuhan dari nabi Hagai itu, ia gundah. “Kapan
Himada akan datang?” Hatinya bergumam, gelisah. “Akankah dapat kusaksikan
manusia yang kelak akan menjadi raja penguasa bumi, raja penyelamat, raja
pembawa rahmat Tuhan itu?” Bahira benar-benar tak tentram, sedang lubuk hati
yang terdalam begitu menanti dan yakin dalam hidupnya ini, ia akan dapat
bertemu Himada, nabi terakhir yang dijanjikan Tuhan.
-------
Biara
tempat tinggal Bahira terletak tak jauh dari tempat para kafilah-kafilah Makkah
biasa berhenti untuk beristirahat. Sudah biasa bagi Bahira melihat banyaknya
penduduk Makkah membawa dagangan mereka melintasi berbagai negeri, namun kali
ini ada sesuatu yang begitu membuatnya terkejut laksana disambar petir di siang
bolong, yaitu segumpal awan yang bergelayut di atas para kafilah.
Awan
tersebut tidaklah besar, ia berada tepat di bawah matahari dan dengan ukurannya
dapat memberi keteduhan bagi beberapa orang dari kafilah itu. Tapi tidakkah
aneh ada awan kecil di langit saat tak satupun awan bergumpal di tengah cuaca
yang luar biasa terik ini? Bahira mendekati para kafilah itu, ia yakin ini ada
hubungannya dengan kata-kata Tuhan di manuskrip-manuskrip kuno perihal nabi
akhir zaman.
Timbul
kekaguman Bahira tatkala melihat awan tersebut terus bergerak mengikuti
beberapa orang yang memutuskan berteduh di bawah pohon, dan seketika pohon itu
terlihat merundukkan dahan-dahannya. Bahira melihat semua keajaiban barusan
sebagai tanda yang mempunyai signifikansi tinggi untuk menjelaskan nabi yang
diharapkan itu.
-------
Bahira
mengundang kafilah Quraisy itu untuk makan di biaranya, berhubung ia juga baru
mendapatkan persediaan makanan yang banyak, sekaligus membuatnya berkesempatan
menjawab tanda tanya mengenai kejadian aneh yang baru saja ia saksikan. “Wahai kaum Quraisy, makan dan minumlah di
biaraku, telah kusediakan berbagai macam makanan. Datanglah kepadaku, tua dan
muda, budak maupun yang merdeka!”
Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong
datang ke biaranya, dan Bahira menatap satu persatu wajah mereka. Namun, tak
satupun dari orang-orag Quraisy yang terlihat seperti manusia pilihan Tuhan.
Tidak sesuai dengan penggambaran kitab dan tidak pula rasanya cocok mendapat
dua keajaiban yang telah ia saksikan.
“Wahai kaum Quraisy, bawa semua anggota kalian.
Jangan ada yang tertinggal!” Seru Bahira pada semua tamunya.
“Tidak ada yang tertinggal, kecuali seorang
anak kecil” Jawab orang-orang Quraisy itu.
Bahira tertegun, dan langsung bertitah untuk
memanggil anak kecil yang mereka tinggalkan untuk menjaga unta itu. “Jangan
berlaku seperti itu, bawa ia kemari!”
Para
tamunya pun saling menyalahkan, salah seorang berkata “Kita telah meninggalkan
anak Abdullah. Celakalah kita!”
-------
Bahira
menatap kagum wajah anak kecil yang datang belakangan itu, tak pernah ia
melihat wajah manusia yang sebercahaya ini, layaknya bintang yang memancarkan
sinar benderang.
“Siapa
anak ini, wahai Tuan Abu Thalib?” Bahira bertanya pada seorang laki-laki Arab
pemimpin dari rombongan. Ia yakin sekali bahwa anak yang sedari tadi berada di
dekat Abu Thalib ini akan menyingkap tabir dari kejadian aneh yang ia alami,
sekaligus jawaban dari nubuat Tuhan pada Hagai.
“Dia anakku” Jawab Abu Thalib. ‘Tidak
mungkin! Nabi terakhir itu akan datang dalam keadaan yatim.’ kata Bahira dalam
hati.
“Dia bukan anakmu. Mustahil ayahnya masih
hidup!” Bahira tahu bahwa Abu Thalib tidak jujur menjawab pertanyaannya.
“Di..dia, anak saudaraku” Abu Thalib telah
merasa menjadi tamu yang tidak sopan karena sudah berbohong dan tidak terus
terang. “Ayahnya telah meninggal saat anak ini masih dalam kandungan.”
Tambahnya menjelaskan.
Raut
muka Bahira berubah, tak jelas apa maknanya. Apa-apa yang ia yakini sebagai
janji Tuhan terlihat semakin nyata dan dekat. Ia berhadapan dengan anak yang
bernama Muhammad itu dengan gemetar.
“Bersumpahlah
demi Al-Lata dan Al-‘Uzza!” Bahira meminta anak itu untuk mengucapkan dua tuhan
besar sesembahan bangsa Arab.
“Jangan suruh aku melakukan itu. Sungguh,
tak ada yang lebih kubenci dari dua tuhan itu.”
Tulang-tulang
Bahira lemas seakan tak mampu menopang tubuhnya, ia kaget setengah mati
mendengar jawaban Muhammad. ‘Bagaimana mungkin anak sekecil ini pandai menghina
tuhan-tuhan sesembahan kaumnya?’ gumam Bahira.
Bocah dihadapannya ini adalah anak belia
yang terpercaya di Makkah. Lidahnya tak pernah berdusta, tak pernah berucap
kotor dan tak pula melihat yang buruk-buruk. Jiwa kepemimpinannya terasah, dan
segala yang ia lakukan seolah mendikte Tuhan.
“Bolehkah aku melihat punggungmu?” Bahira
meminta izin untuk melihat punggung Muhammad. Izin ia dapatkan, dan sesegera
mungkin ia singkap bagian belakang pakaian Muhammad dengan jari yang gemetaran
dan semakin gemetaran serta berguncang tatkala melihat tanda diantara dua bahu
si Anak. ‘Ini sama persis dengan nubuat tentang Himada!” gumam Bahira di
hatinya. Ia langsung menutup kembali pakaian Muhammad, dan langsung berbicara
dengan ekspresi wajah sangat serius pada Abu Thalib dengan nafas yang sesak. “Bawa
anak ini pulang ke negerimu. Jagalah ia. Kalau sampai orang Yahudi melihatnya
seperti aku mengenalinya, maka mereka akan berbuat jahat. Keponakanmu ini
adalah pemimpin masa depan. Masa depan ada dalam genggamannya!”
-------
Di
malam yang dingin dan sunyi, Bahira menyendiri dalam biaranya. Ia menangis
bahagia, apa yang ditunggu-tunggunya telah datang. Kebenaran akan tiba. “Aku
akan beriman kepada Nabi Akhir Zaman dan menjadi pengikutnya”.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ،
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ،
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ