contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Sabtu, 30 Agustus 2014
            Musik, adalah makanan sehari-hari bagi hampir setiap manusia di penjuru dunia. Boleh jadi, tiada hari tanpa yang namanya musik. Tak sekedar seni dan hiburan saja, musik telah menjadi industri yang menghasilkan gunung fulus sehingga tidaklah mengherankan apabila setiap yang menekuninya dapat menjadi manusia yang bergelimang harta.
Bagaimana tidak? Ketika kusaksikan antrian orang-orang yang berebut tiket konser ini, aku kembali bertanya-tanya ‘Apa artinya menonton orang yang menjual suaranya selain hanya sekedar hiburan belaka?’. Hmm, ya biarlah. Mungkin ini pula dunia mereka. Bagiku, eskrim neopolitan yang tengah kujilati ini jauh lebih nikmat daripada hiburan yang disebut musik itu.
            “Minggir!” Seorang laki-laki dengan langkah tergesa-gesa menuju loket penjualan tiket nyaris menabrak tubuhku. Aku menganjakkan tubuh ke atas trotoar dengan wajah tengadah. Rasa terkejutpun sudah membuat eskrim tadi berantakan di dekat kedua kakiku. Sebegitunyakah perjuangan mendapatkan tiket sampai-sampai tak menghiraukan situasi lagi bahkan hanya untuk sekedar minta maaf?
Aku hanya menggelengkan kepala penuh tanda tanya dan menggerakkan langkah kaki di tengah tetes-tetes hujan yang mulai turun.       
            Sambil terus berjalan, aku memerhatikan sekitarku. Keramaian kota beserta kesemrawutannya, para pejalan kaki, gedung-gedung, papan-papan iklan, anak-anak yang bermain dan segala yang biasa ada di kota-kota besar. Langkahku terus berlanjut sampai pandanganku tertuju pada poster besar seorang penyanyi wanita yang tiket konsernya tengah diantri orang-orang tadi di dinding sebuah gedung.  Aku berhenti dan menghadap poster yang tingginya kira-kira 4 meter itu sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaket hoodie donkerku.
            Orang-orang bilang suara penyanyi wanita berjubah dalam poster ini seperti menghipnotis setiap pendengar, gerakan tubuhnya yang terasa dari balik jubah seakan memaksa setiap orang untuk jatuh cinta padanya. Kesan dingin dan misterius semakin melengkapi sosoknya yang mengundang tanya. Dalam suara dan nyanyian megah, ia mampu membuat jiwa bergairah. Ia selalu tampil dimanapun dengan jubah biru tuanya, dan belum ada orang yang pernah melihat wajahnya, kecuali mungkin beberapa kru dan keluarganya yang juga tidak jelas siapa.
            Dengan penampilan yang menyeramkan itu, ia bisa saja membuat takut setiap orang yang melihatnya. Tapi kenyataannya, justru gaya itu yang membuatnya sangat fenomenal. Bahkan, anak-anakpun tak ragu untuk menawarkan jabat tangan padanya, walau memang hanya jabat tangan anak kecil yang mau diterima penyanyi itu. Menurutku, kalau ada yang sekedar mau tahu rasa sentuhan tangannya, mungkin bisa bertanya langsung pada anak-anak itu
            Ah sudahlah, semuanya hanya penilaian orang-orang. Syukur kalau mereka memuji, kalaupun menghina tidak ada yang mesti ditanggapi. Tidak mungkin semuanya mencintai hal yang sama!
            Sebuah bola kaki yang bergulir di dekat kakiku mengakhiri tontonan terhadap poster itu. Kuambil bola yang lembab itu dan seketika seorang anak kecil sudah berdiri di dekatku.
            ‘Pasti dia pemilik bola ini’ pikirku. Dan langsung saja kuberikan bola itu padanya. “Makasih, kak” Ucapnya.
“Sama-sama dik. Hati-hati mainnya ya.” Balasku padanya dengan singkat.
“Iya kak” Anak kecil itu dengan segera kembali menuju tempat ia bermain, namun langkahnya berhenti sejenak dan berbalik ke arahku. “Mau permen? Anggap saja ucapan terimakasihku” Dengan polos ia menawarkan sebuah permen di telapak tangannya padaku. Aku hanya tersenyum kecil, dan kuterima pemberian tulusnya itu
            Saat aku mengambil permen di tangannya, air mukanya perlahan-lahan berubah. Matanya menatap wajahku yang sedikit tersingkap dari balik topi dengan sejuta arti. Matanya berbinar, seolah ada perasaan bahagia dalam hatinya. Bukan, bukan karena aku mengembalikan bolanya atau menerima pemberiannya, tapi mungkin karena ada sesuatu yang ingin ia sampaikan atau mungkin ia tanyakan.
Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir, memberikannya senyuman hangat dan berlalu meninggalkannya setelah terlebih dahulu kubelai kepalanya.






| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI