Musik, adalah makanan sehari-hari
bagi hampir setiap manusia di penjuru dunia. Boleh jadi, tiada hari tanpa yang
namanya musik. Tak sekedar seni dan hiburan saja, musik telah menjadi industri
yang menghasilkan gunung fulus sehingga tidaklah mengherankan apabila setiap
yang menekuninya dapat menjadi manusia yang bergelimang harta.
Bagaimana tidak?
Ketika kusaksikan antrian orang-orang yang berebut tiket konser ini, aku
kembali bertanya-tanya ‘Apa artinya menonton orang yang menjual suaranya selain
hanya sekedar hiburan belaka?’. Hmm, ya biarlah. Mungkin ini pula dunia mereka.
Bagiku, eskrim neopolitan yang tengah kujilati ini jauh lebih nikmat daripada
hiburan yang disebut musik itu.
“Minggir!” Seorang laki-laki dengan
langkah tergesa-gesa menuju loket penjualan tiket nyaris menabrak tubuhku. Aku
menganjakkan tubuh ke atas trotoar dengan wajah tengadah. Rasa terkejutpun
sudah membuat eskrim tadi berantakan di dekat kedua kakiku. Sebegitunyakah
perjuangan mendapatkan tiket sampai-sampai tak menghiraukan situasi lagi bahkan
hanya untuk sekedar minta maaf?
Aku hanya
menggelengkan kepala penuh tanda tanya dan menggerakkan langkah kaki di tengah
tetes-tetes hujan yang mulai turun.
Sambil terus berjalan, aku
memerhatikan sekitarku. Keramaian kota beserta kesemrawutannya, para pejalan
kaki, gedung-gedung, papan-papan iklan, anak-anak yang bermain dan segala yang
biasa ada di kota-kota besar. Langkahku terus berlanjut sampai pandanganku tertuju
pada poster besar seorang penyanyi wanita yang tiket konsernya tengah diantri
orang-orang tadi di dinding sebuah gedung.
Aku berhenti dan menghadap poster yang tingginya kira-kira 4 meter itu
sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaket hoodie donkerku.
Orang-orang bilang suara penyanyi
wanita berjubah dalam poster ini seperti menghipnotis setiap pendengar, gerakan
tubuhnya yang terasa dari balik jubah seakan memaksa setiap orang untuk jatuh
cinta padanya. Kesan dingin dan misterius semakin melengkapi sosoknya yang
mengundang tanya. Dalam suara dan nyanyian megah, ia mampu membuat jiwa
bergairah. Ia selalu tampil dimanapun dengan jubah biru tuanya, dan belum ada
orang yang pernah melihat wajahnya, kecuali mungkin beberapa kru dan
keluarganya yang juga tidak jelas siapa.
Dengan penampilan yang menyeramkan
itu, ia bisa saja membuat takut setiap orang yang melihatnya. Tapi
kenyataannya, justru gaya itu yang membuatnya sangat fenomenal. Bahkan,
anak-anakpun tak ragu untuk menawarkan jabat tangan padanya, walau memang hanya
jabat tangan anak kecil yang mau diterima penyanyi itu. Menurutku, kalau ada
yang sekedar mau tahu rasa sentuhan tangannya, mungkin bisa bertanya langsung
pada anak-anak itu
Ah sudahlah, semuanya hanya
penilaian orang-orang. Syukur kalau mereka memuji, kalaupun menghina tidak ada
yang mesti ditanggapi. Tidak mungkin semuanya mencintai hal yang sama!
Sebuah bola kaki yang bergulir di
dekat kakiku mengakhiri tontonan terhadap poster itu. Kuambil bola yang lembab
itu dan seketika seorang anak kecil sudah berdiri di dekatku.
‘Pasti dia pemilik bola ini’
pikirku. Dan langsung saja kuberikan bola itu padanya. “Makasih, kak” Ucapnya.
“Sama-sama dik.
Hati-hati mainnya ya.” Balasku padanya dengan singkat.
“Iya kak” Anak
kecil itu dengan segera kembali menuju tempat ia bermain, namun langkahnya
berhenti sejenak dan berbalik ke arahku. “Mau permen? Anggap saja ucapan
terimakasihku” Dengan polos ia menawarkan sebuah permen di telapak tangannya
padaku. Aku hanya tersenyum kecil, dan kuterima pemberian tulusnya itu
Saat aku mengambil permen di
tangannya, air mukanya perlahan-lahan berubah. Matanya menatap wajahku yang sedikit
tersingkap dari balik topi dengan sejuta arti. Matanya berbinar, seolah ada
perasaan bahagia dalam hatinya. Bukan, bukan karena aku mengembalikan bolanya
atau menerima pemberiannya, tapi mungkin karena ada sesuatu yang ingin ia
sampaikan atau mungkin ia tanyakan.
Aku meletakkan
jari telunjukku di depan bibir, memberikannya senyuman hangat dan berlalu
meninggalkannya setelah terlebih dahulu kubelai kepalanya.