Aku
duduk bersantai di beranda istana memandangi indahnya alam yang membentang
luas. Kakiku kumain-mainkan di atas pagar beranda dan kurasakan mandi hangat
cahaya mentari sore. Di bawah, beberapa anak kecil asyik bermain-main di
luar pekarangan istana. Aku tersenyum bahagia melihatnya.
Tidak
berapa lama kemudian, dari arah tempat anak-anak itu bermain terdengar suara
tangisan, seorang anak menangis karena lututnya berdarah. Aku langsung
berdiri hendak melihat secara langsung dan barangkali bisa memberi pertolongan
jika ada yang bisa aku lakukan di sana. Aku melangkah menuju pintu beranda yang
terhubung dengan kamarku yang mewah.
Kakiku
hanya berjarak beberapa langkah dari pintu saat aku melihat lagi ke bawah. Anak
yang tadi menangis kini sedang dipapah oleh dua orang temannya. Ia dibawa duduk
di bawah pohon mangga yang ku tanam di halaman istana beberapa tahun silam.
Tangis
anak itu mulai reda. Teman-temannya mampu memberikan ketenangan dan memberikan
pertolongan kecil, pasti sangat berarti, kepada anak itu. Aku menghentikan
langkah, berbalik arah ke pagar beranda. Ku pandangi pemandangan kebersamaan
yang indah itu, tersenyum dan tak sadar tawa kecilku lepas.
“Tuan
putri, ini minuman yang anda pesan tadi.”
Pendampingku
yang setia itu datang membawa segelas minuman yang tadi ku pesan. Aku mengambil
minuman itu dan meletakkannya di atas meja. Setelah aku mengucapkan
terimakasih, pelayan itu pergi.
Dia,
adalah pelayan yang setia mendampingiku dari kecil. Ia yang mengurus segala
perlengkapan yang aku butuhkan. Bagiku, selain setia dia juga sangat bijak. Ia pula
yang secara tak langsung menjadi guru kehidupan, meski orangtuaku telah
mencari para pembesar-pembesar ilmu ulung di negeri ini.
Sebagai
anak seorang raja, sudah sewajarnya hidupku penuh kemewahan dan kemegahan. Kemana-mana
akan ada dua orang yang setia mengikuti di belakang sambil bersiaga dengan
pedang mereka sebagai antisipasi kalau-kalau ada yang ingin mencelakakanku.
Apapun yang kuinginkan, dapat kubeli dan kudapatkan.
Hidup
serba berkecukupan itu pula yang membuatku berbeda dari anak-anak lainnya. Aku
adalah seorang putri kerajaan, semestinya aku tidak boleh bermain dengan anak-anak
biasa. Aku tidak boleh sembarangan bersentuhan dengan anak-anak yang berada di
luar lingkungan kerajaan. Mereka, juga orang-orang dewasa, mesti
memberi hormat saat berhadapan denganku. Bahkan anak-anak itu tidak boleh
memanggil namaku tanpa kata Putri di depannya. Menyebut nama seorang putri
kerajaan jelas adalah pelanggaran berat yang akan diberi hukuman berat pula. Jadilah
mereka memanggilku Tuan Putri, Yang Mulia, dan segala macam sebutan agung
lainnya.
Awalnya
aku merasa senang dengan status itu, sampai suatu ketika aku tersesat bersama
Si Pelayan setia itu. Kami tersesat boleh dibilang adalah akibat
kesalahanku yang memaksanya untuk menemaniku ke tengah hutan mencari anak
harimau.
Di
sana, kami berjalan dengan penuh kebingungan. Kami tersesat sangat jauh ke
pedalaman hutan dan aku berpikir tidak ada manusia yang hidup di tempat sangat
terpencil ini. Perkiraanku langsung terbantahkan saat kami melihat sebuah
perkampungan di tengah hutan. Aku terkejut bukan main. Tapi kegembiraanku juga
tumpah karena mereka akan dapat memberi pertolongan. Aku seorang putri kerajaan, mereka
wajib menolongku dan aku bisa mendapatkan apapun yang aku perlukan untuk pulang.
“Mintalah
bantuan kepada mereka. Kau bisa beli apa saja yang aku butuhkan dengan segala
yang kumiliki,” kataku kepada Si Pelayan.
Si
Pelayan agak sedikit bingung dengan permintaanku. Tapi ia segera mengangguk
setuju. “Baik Putri.”
Si
Pelayan langsung bergegas menuju perkampungan itu sedang aku menunggu dari jauh
saja. Si Pelayan berbicara dengan beberapa orang di sana. Wajah mereka tampak
serius dan beberapa dari mereka melirik sinis ke arahku. ‘Sepertinya mereka belum
tahu siapa aku,’ gumamku.
Si
Pelayan selesai berbicara dan segera menghampiriku. “Tuan Putri, bisakah engkau
menanggalkan jubahmu itu?” pintanya kepadaku.
“Loh,
untuk apa?” Aku heran dengan permintaannya.
“Begini
tuan Putri, ku rasa kita butuh jubah itu. Mereka bisa memberikanmu apa yang kau
butuhkan,” ucapnya meyakinkanku.
“”Hmm
baiklah. Ambil ini.” Aku melepaskan
jubah kerajaanku dan memberikannya kepada Si Pelayan. Ia melipat jubah itu dan
melangkah dengan cepat menuju perkempungan.
Tampak
olehku dia berbincang-bincang lagi dengan orang-orang tadi dan senyuman
terlukis di setiap wajah mereka. Tak sabar rasanya untuk segera keluar dari tempat
ini. Dan tiba saat Si Pelayan menghampiriku, permintaanku pastilah
terkabul.
“Tuan
Putri. Mari ikut saya,” ajaknya. Aku menurutinya dan setibanya di sana,
beberapa orangtua di pedalaman hutan itu menyambutku dengan hangat.
“Selamat
datang Yang Mulia, Putri Abigail. Semoga pertolongan kecil ini bisa memberikan
kebaikan,” ucap salah seorang dari mereka yang dari penampilannya seperti tokoh
atau orang bijak di perkampungan itu
Aku
mengangguk saja. Kemudian mereka mempersilahkan untuk melihat-lihat kampung
mereka. Sementara beberapa orang memandu Si Pelayan untuk keluar dari hutan. Awalnya
aku ingin ikut, tapi alasan berbahaya membuat mereka menyuruhku untuk tetap di
perkampungan sampai mereka kembali dengan kereta dari istana.
“Mau
main?” kata seorang anak kecil kepadaku.
Aku
menatapnya. Awalnya aku merasa enggan untuk menerima ajakannya, namun daripada
harus menunggu dengan penuh kebosanan aku akhirnya menerima.
“Baiklah.
Kita main apa?” tanyaku kepadanya.
“Banyak
kok yang bisa kita mainkan. Ayok ikut!”
Akhirnya
aku bermain bersama anak-anak hutan itu. Permainan yang kukira, sedikit kotor
karena harus bermain dengan tanah ini sebenarnya sangat mengasyikkan. Aku bisa
tertawa bersama mereka dan saling bekerja sama. Untuk pertamakalinya dalam 9 tahun
usia kehidupanku, aku bermain dengan anak-anak biasa.
“Ah!”
aku menjerit. Ketika sedang bermain aku terjatuh karena tersandung dan lututku
pun berdarah. Tanpa kuduga, mereka langsung memapah dan membawaku ke dalam
rumah. Lukaku dibersihkan dan diobati. Rasanya seperti, entahlah! Sulit diungkapkan.
Orang-orang
tua di sini juga melayaniku dengan baik. Biasanya orang-orang dewasa yang
bertemu denganku akan takut untuk berdekatan, apalagi berbicara. Tapi di sini
seorang ibu menjalin rambut panjangku dengan indahnya dan aku juga dihidangkan
makanan yang sangat lezat. Aku bahkan sempat tertidur di rumah kayu mereka yang
sederhana namun sangat nyaman.
Meskipun
ini pertamakalinya bertemu dengan mereka, tapi aku sudah merasa nyaman. Mereka juga
menyebut namaku, Abigail. Dipanggil dengan nama oleh orang-orang, sebenarnya
menjadi sesuatu yang aku inginkan. Menurutku, namaku adalah nama yang sangat
indah, dan pasti ada harapan di dalamnya, sayang sekali kalau orang-orang tidak
menyebut namaku.
Saat
petang hari tiba, Si Pelayan sudah kembali dengan membawa beberapa orang pegawai
istana berikut para pengawal. Ini waktunya pulang, dan berpamitan pada mereka
semua.
Anak-anak
yang tadi asyik bermain denganku, kini malah menjadi takut untuk mendekat. Saat
aku mengulurukan jabat tangan perpisahan, mereka semua berlindung di balik
punggung orang-orang dewasa yang juga merendahkan pandangan. Melihatku dengan
tatapan yang sangat tunduk penuh rasa takut. Aku heran. Padahal tadi rasanya
tidak ada suatu batasanpun dalam relasi kami.
Di perjalanan pulang
“Bagaimana
Tuan Putri? Maaf kalau sedikit lama,” kata Si Pelayan di dalam kereta.
“Sebenarnya
sangat menyenangkan!” aku menjawab bergairah.
“Syukurlah.”
“Tapi
aku sedih, mereka tiba-tiba menjadi takut denganku. Apa kau mengancam mereka
sebelumnya?”
“Oh
tentu tidak tuan putri. Bahkan aku meminta mereka memberikanmu apa yang kau
butuhkan.” Si Pelayan menatapku dengan senyumannya yang selalu terlihat tulus.
“Bantuan?”
“Bukan,
Tuan Putri.”
“Lalu?”
“Kebersamaan.
Maka dari itulah aku memintamu melepas jubah.”
Percakapan
kami berakhir sampai di sana. Kereta terus melaju dan kami pulang ke istana.
Aku sudah paham apa yang dimaksud Si Pelayan. Dia memang benar-benar pelayan
sekaligus guru yang baik.