Sebait
kidung nan kudus mengungkap rasa yang mungkin saja fana,
mungkin
saja sesaat,
bisa
saja tak berarti,
bisa
pula hampa tanpa makna.
Ia
melintas seketika sewajarnya
Sayap-sayapnya
merentang cita pada sanubari
Mengigal
berahi di ujung sukma, seperti tawarkan sembilu bermata dua
Pada
sucinya ia, coba kubawa segala luka dan bisa
Luka
ketika melihat, luka ketika mendengar dan luka ketika bicara
Bisa
saat melihat, bisa saat mendengar, dan bisa saat bicara
Andai
saja nyiur di ujung sana melambaikannya padamu, apakah sahutanmu akan terasa?
Meski
angin juga berucap, tetapkah engkau pada keheningan?
Kalau
saja awan yang berarak melintasi langit memberikan hujannya, tetapkah sayapnya
kan terus cemerlang?
Dan
saat mentari berganti rembulan, bilakah ia tetap gemilang?
Apabila
sayap-sayapnya merangkum tubuhmu, akankah ia membawamu kepadaku?
Jika
semesta menginginkannya, mungkinkah engkau menjadi karuniaku?