Abbie melangkah pelan
ke tepian sungai. Kain biru kotor ia lingkupkan ke badannya, seolah merasakan
dinginnya angin sore. Ia duduk dan kedua kakinya yang penuh noda ia masukkan ke
dalam sungai. Menatap kosong kepada aliran air dengan kedua mata yang
melelahkan tetes demi tetes air mata dan hati yang terus saja bertanya dan
meyakinkan tentang apa yang terjadi kepadanya. Mencoba tidak percaya tapi
semuanya begitu nyata.
-------------------------
Sebagaimana biasa,
siang selepas menunaikan kewajiban bersekolah adalah saat yang tepat bagi Abbie
untuk kembali bercengkrama bersama sosok yang selalu mengundang senyum dan
gelak tawanya, Mitch. Seorang lelaki tampan berperawakan layaknya suami teromantis
yang senantiasa menggandeng tangan Abbie dengan erat dan melindunginya
kemanapun dan di mana pun mereka bersama.
“Makan siang?”
pertanyaan yang biasa diucapkan salah satunya. Kali ini giliran Abbie.
Tak seperti biasa, kali
ini Mitch membalas pertanyaan itu dengan ekspresi datar dan sebuah anggukan.
Abbie awalnya merasa heran, namun ia tidak peduli dan segera menarik lengan
Mitch.
“Aku ganti pakaian dulu
ya,” Abbie membuka ranselnya dan mengambil sebuah sweater dan jelana jeans
panjang. Ia permisi masuk ke dalam salah satu WC umum untuk berganti kostum.
“Ayo pergi!” Dengan
riang Abbie keluar dan setengah melompat merentangkan tangan di hadapan Mitch.
Pakaiannya telah berganti dari satu stel seragam putih abu-abu menjadi kaos
tanpa lengan berwarna putih yang dibalut dengan sweater hitam serta celana
jeans yang membungkus paha hingga mata kakinya. Rambut panjangnya ia ikat
kuncir kuda.
“Kamu kenapa, Mitch?”
Abbie mulai merasa aneh dengan tingkah kekasihnya. Sambil memasukkan makanan ke
mulut ia memerhatikan Mitch yang baginya benar-benar berbeda pada hari itu.
“Tidak apa-apa. Makan
saja. Kau pasti lapar. Setelah ini akan jadi perjalanan yang sangat melelahkan,
jadi makanlah yang banyak.” jawab Mitch dengan nada yang sangat rendah dan
penuh ketenangan.
“Kamu yakin tidak
apa-apa?” Abbie bertanya lagi dan ekspresi yang ia saksikan dari wajah Mitch
membuatnya kembali mengalihkan konsentrasi pada makan siang sekaligus
sarapannya pada hari itu.
Setelah perut terisi
penuh, mereka berjalan-jalan berdua. Tangan mereka tak henti-hentinya saling
menggenggam dan sesekali mata mereka saling bertatapan. Mitch berjalan sedikit
ke depan, sehingga ia yang menjadi stir kemana mereka harus berjalan. Ia
mengajak Abbie melewati beberapa gedung tua dan berhenti di sebuah ruko yang
sudah tidak dihuni.
Mereka hanya berjarak
beberapa sentimeter, saling bertatapan dan kedua tangan mereka saling
menggenggam. Jantung Abbie berdetak sagat cepat, mukanya memerah. Mitch
meletakkan tangan kirinya diatas bahu kanan Abbie, menatap semakin dalam.
Tangan kanannya merapikan ponis Abbie yang sedikit berantakan. Isi tubuh Abbie
seakan berserakan di dalam, ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa selain
diam. Titik-titik keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Mitch
menurunkan tangan kanannya, lalu menggerakkannya lagi ke bawah ketiak Abbie
kemudian menuju punggung dan mendorong Abbie untuk mendekap kepadanya. Bibir
mereka semakin dekat, sebuah ciuman akan terasa manis dalam saat-saat seperti
ini.
Namun dengan cepat
Mitch menjauhkan bibirnya. Menolak sebuah percumbuan dan mendorong Abbie dengan
pelan untuk menjauh. Abbie yang belum sempat bereaksi tiba-tiba tersentak
mendapati sebuah pukulan yang teramat keras telah mendarat di perutnya. Ia tak
sempat lagi berkata atau menyadari sesuatu, matanya kabur, tubuhnya limbung dan
kemudian kehilangan kesadaran.
---
Abbie bernapas
perlahan, membuka matanya dan mendapati segala sesuatu berputar. Ia
bergerak-gerak pelan merasakan setiap bagian tubuhnya. Pikirannya belum terlalu
mengingat apa yang telah terjadi, hanya pusing yang ia rasakan.
Setelah beberapa menit,
Abbie mulai menyadari apa yang sebenarnya telah menimpa dirinya. Kini ia
terbaring di sebuah ruangan kosong dengan sumber cahaya hanya dari ventilasi di
atas jendela yang dipaku papan. Abbie beringsut ke arah dinding dan bersandar
sambil memegangi perutnya yang masih terasa nyeri. Hawa panas dari ruangan yang
pengap membuat tetes-tetes keringat membasahi tubuhnya.
Bunyi pintu berdecit,
Mitch telah berdiri tak jauh dari Abbie. Tangannya menggenggam plastik kecil
berisi beberapa butir pil. Ia mendekati Abbie yang masih terpana penuh
keheranan melihat kelakuan Mitch. Mitch meraih mulut Abbie, menekan pipi dan
membuka paksa mulut kekasihnya itu. Abbie mencoba melawan tapi dua kali
tamparan dan sebuah lutut yang menghajar perut membuatnya tak berdaya. Mitch
memasukkan semua pil dalam plastik dan Abbie pun menelannya dengan susah payah.
Pasca menelan pil-pil
itu, Abbie merasakan kepalanya berputar. Ia pusing bukan main. Belum pernah ia
mengalami vertigo separah ini. Seluruh pandangannya kabur tapi ia berusaha
sekuat tenaga untuk tetap terjaga. Di dekatnya Mitch yang datar tanpa ekspresi
mendekat, ia melepas sweater hitam yang dikenakan Abbie kemudian merobek
sweater itu menjadi dua bagian untuk mengikat tangan dan kaki gadis cantik itu.
Mitch menarik tubuh Abbie keluar ruangan, membawanya ke suatu tempat untuk
suatu tujuan.
Antara sadar dan tidak,
Abbie merasakan ia terikat dalam sebuah mobil yang bergerak dengan kencang.
Vertigonya semakin akut, terlebih setelah beberapa saat yang lalu sekantong pil
kembali ia telan dan kini ada segumpal kain dari potongan sweater yang menyumpal
mulutnya. Beberapa saat kemudian, ia terlelap.
Sebuah lampu sorot yang
dinyalakan tepat satu meter di hadapannya membuat Abbie tersadar. Ia bernapas
tersengal, terbaring telentang di atas sebuah meja dengan kedua tangan dan
kakinya terikat. Abbie terkejut menyadari dirinya terbaring hanya menggunakan
pakaian dalam, ia menyangka dirinya telah diperkosa tapi sedikit lega karena
celana jeansnya masih terpasang dengan rapi. Ia memberontak dan berusaha
melepas ikatan-ikatan yang membelenggunya tapi selalu berujung kegagalan.
Dengan penuh keheningan
Mitch mendekat. Wajahnya masih tanpa ekspresi, menatap Abbie yang sudah
menangis. Ia membelai kening kekasihnya itu dan menyeka setiap tetes air mata.
Kemudian ia menampari Abbie beberapa kali dengan keras. Kemudian ia melepas
setiap ikatan dan menyeret Abbie yang sudah tak berdaya ke arah dinding. Ia
kemudian menghajar Abbie dengan penuh aroma dendam seolah ada yang telah
menyakiti hatinya.
Abbie terus menangis
dan tak kuasa melawan. Ia seakan pasrah tubuhnya menjadi samsak tangan Mitch.
Mukanya sudah memar dan beberapa tetes darah telah keluar. Mitch belum puas, ia
arahkan tendangannya ke perut Abbie dan beberapa pukulan ke arah yang sama.
Mengakhiri perbuatannya, Mitch menghempaskan Abbie ke dinding hingga tak
sadarkan diri.
“Bertahanlah sayang,
ini masih permulaan,” ucap Mitch dengan senyum kepuasan.a
............bersambung