contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Minggu, 31 Mei 2015
Abbie melangkah pelan ke tepian sungai. Kain biru kotor ia lingkupkan ke badannya, seolah merasakan dinginnya angin sore. Ia duduk dan kedua kakinya yang penuh noda ia masukkan ke dalam sungai. Menatap kosong kepada aliran air dengan kedua mata yang melelahkan tetes demi tetes air mata dan hati yang terus saja bertanya dan meyakinkan tentang apa yang terjadi kepadanya. Mencoba tidak percaya tapi semuanya begitu nyata.

-------------------------

Sebagaimana biasa, siang selepas menunaikan kewajiban bersekolah adalah saat yang tepat bagi Abbie untuk kembali bercengkrama bersama sosok yang selalu mengundang senyum dan gelak tawanya, Mitch. Seorang lelaki tampan berperawakan layaknya suami teromantis yang senantiasa menggandeng tangan Abbie dengan erat dan melindunginya kemanapun dan di mana pun mereka bersama.
“Makan siang?” pertanyaan yang biasa diucapkan salah satunya. Kali ini giliran Abbie.
Tak seperti biasa, kali ini Mitch membalas pertanyaan itu dengan ekspresi datar dan sebuah anggukan. Abbie awalnya merasa heran, namun ia tidak peduli dan segera menarik lengan Mitch.
“Aku ganti pakaian dulu ya,” Abbie membuka ranselnya dan mengambil sebuah sweater dan jelana jeans panjang. Ia permisi masuk ke dalam salah satu WC umum untuk berganti kostum.

“Ayo pergi!” Dengan riang Abbie keluar dan setengah melompat merentangkan tangan di hadapan Mitch. Pakaiannya telah berganti dari satu stel seragam putih abu-abu menjadi kaos tanpa lengan berwarna putih yang dibalut dengan sweater hitam serta celana jeans yang membungkus paha hingga mata kakinya. Rambut panjangnya ia ikat kuncir kuda.
“Kamu kenapa, Mitch?” Abbie mulai merasa aneh dengan tingkah kekasihnya. Sambil memasukkan makanan ke mulut ia memerhatikan Mitch yang baginya benar-benar berbeda pada hari itu.
“Tidak apa-apa. Makan saja. Kau pasti lapar. Setelah ini akan jadi perjalanan yang sangat melelahkan, jadi makanlah yang banyak.” jawab Mitch dengan nada yang sangat rendah dan penuh ketenangan.
“Kamu yakin tidak apa-apa?” Abbie bertanya lagi dan ekspresi yang ia saksikan dari wajah Mitch membuatnya kembali mengalihkan konsentrasi pada makan siang sekaligus sarapannya pada hari itu.
Setelah perut terisi penuh, mereka berjalan-jalan berdua. Tangan mereka tak henti-hentinya saling menggenggam dan sesekali mata mereka saling bertatapan. Mitch berjalan sedikit ke depan, sehingga ia yang menjadi stir kemana mereka harus berjalan. Ia mengajak Abbie melewati beberapa gedung tua dan berhenti di sebuah ruko yang sudah tidak dihuni.
Mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, saling bertatapan dan kedua tangan mereka saling menggenggam. Jantung Abbie berdetak sagat cepat, mukanya memerah. Mitch meletakkan tangan kirinya diatas bahu kanan Abbie, menatap semakin dalam. Tangan kanannya merapikan ponis Abbie yang sedikit berantakan. Isi tubuh Abbie seakan berserakan di dalam, ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa selain diam. Titik-titik keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Mitch menurunkan tangan kanannya, lalu menggerakkannya lagi ke bawah ketiak Abbie kemudian menuju punggung dan mendorong Abbie untuk mendekap kepadanya. Bibir mereka semakin dekat, sebuah ciuman akan terasa manis dalam saat-saat seperti ini.
Namun dengan cepat Mitch menjauhkan bibirnya. Menolak sebuah percumbuan dan mendorong Abbie dengan pelan untuk menjauh. Abbie yang belum sempat bereaksi tiba-tiba tersentak mendapati sebuah pukulan yang teramat keras telah mendarat di perutnya. Ia tak sempat lagi berkata atau menyadari sesuatu, matanya kabur, tubuhnya limbung dan kemudian kehilangan kesadaran.
---
Abbie bernapas perlahan, membuka matanya dan mendapati segala sesuatu berputar. Ia bergerak-gerak pelan merasakan setiap bagian tubuhnya. Pikirannya belum terlalu mengingat apa yang telah terjadi, hanya pusing yang ia rasakan.
Setelah beberapa menit, Abbie mulai menyadari apa yang sebenarnya telah menimpa dirinya. Kini ia terbaring di sebuah ruangan kosong dengan sumber cahaya hanya dari ventilasi di atas jendela yang dipaku papan. Abbie beringsut ke arah dinding dan bersandar sambil memegangi perutnya yang masih terasa nyeri. Hawa panas dari ruangan yang pengap membuat tetes-tetes keringat membasahi tubuhnya.
Bunyi pintu berdecit, Mitch telah berdiri tak jauh dari Abbie. Tangannya menggenggam plastik kecil berisi beberapa butir pil. Ia mendekati Abbie yang masih terpana penuh keheranan melihat kelakuan Mitch. Mitch meraih mulut Abbie, menekan pipi dan membuka paksa mulut kekasihnya itu. Abbie mencoba melawan tapi dua kali tamparan dan sebuah lutut yang menghajar perut membuatnya tak berdaya. Mitch memasukkan semua pil dalam plastik dan Abbie pun menelannya dengan susah payah.
Pasca menelan pil-pil itu, Abbie merasakan kepalanya berputar. Ia pusing bukan main. Belum pernah ia mengalami vertigo separah ini. Seluruh pandangannya kabur tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga. Di dekatnya Mitch yang datar tanpa ekspresi mendekat, ia melepas sweater hitam yang dikenakan Abbie kemudian merobek sweater itu menjadi dua bagian untuk mengikat tangan dan kaki gadis cantik itu. Mitch menarik tubuh Abbie keluar ruangan, membawanya ke suatu tempat untuk suatu tujuan.
Antara sadar dan tidak, Abbie merasakan ia terikat dalam sebuah mobil yang bergerak dengan kencang. Vertigonya semakin akut, terlebih setelah beberapa saat yang lalu sekantong pil kembali ia telan dan kini ada segumpal kain dari potongan sweater yang menyumpal mulutnya. Beberapa saat kemudian, ia terlelap.
Sebuah lampu sorot yang dinyalakan tepat satu meter di hadapannya membuat Abbie tersadar. Ia bernapas tersengal, terbaring telentang di atas sebuah meja dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Abbie terkejut menyadari dirinya terbaring hanya menggunakan pakaian dalam, ia menyangka dirinya telah diperkosa tapi sedikit lega karena celana jeansnya masih terpasang dengan rapi. Ia memberontak dan berusaha melepas ikatan-ikatan yang membelenggunya tapi selalu berujung kegagalan.
Dengan penuh keheningan Mitch mendekat. Wajahnya masih tanpa ekspresi, menatap Abbie yang sudah menangis. Ia membelai kening kekasihnya itu dan menyeka setiap tetes air mata. Kemudian ia menampari Abbie beberapa kali dengan keras. Kemudian ia melepas setiap ikatan dan menyeret Abbie yang sudah tak berdaya ke arah dinding. Ia kemudian menghajar Abbie dengan penuh aroma dendam seolah ada yang telah menyakiti hatinya.
Abbie terus menangis dan tak kuasa melawan. Ia seakan pasrah tubuhnya menjadi samsak tangan Mitch. Mukanya sudah memar dan beberapa tetes darah telah keluar. Mitch belum puas, ia arahkan tendangannya ke perut Abbie dan beberapa pukulan ke arah yang sama. Mengakhiri perbuatannya, Mitch menghempaskan Abbie ke dinding hingga tak sadarkan diri.
“Bertahanlah sayang, ini masih permulaan,” ucap Mitch dengan senyum kepuasan.a




............bersambung




| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI