madinggalasta.blogspot.com |
Sudah menjadi hal yang biasa bagi kita untuk
merayakan hari-hari besar yang jatuh satu kali dalam setahun, yakni hari raya
keagamaan dan hari besar nasional. Ketika sudah dekat dengan tanggal hari-hari
besar itu, maka sebagian besar masyarakat akan larut dalam euforia atau paling
tidak hasrat untuk ikut “berpartisipasi” dalam perayaannya. Partisipasi yang
paling lazim pada masa sekarang tentunya melalui tulisan-tulisan singkat di
media sosial serta acara-acara terkait di stasiun televisi.
Ketika mendekati bulan puasa misalnya, media
sosial dipenuhi dengan tulisan-tulisan yang bernada agama Islam dan stasiun televisi
berbondong-bondong menayangkan tayangan-tayangan keagamaan. Ini ditambah lagi
lagu-lagu rohani yang diputar di pusat-pusat perbelanjaan dan hiasan-hiasan
dekoratif di sekitar lingkungan. Semua ini tentu bagus, menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki atensi yang cukup tinggi terhadap agama mereka.
Pada
hari besar-besar nasional pun atensi masyarakat juga sama. Contoh ketika
memasuki bulan Agustus, maka lihatlah lingkungan sekitar, semuanya berbalut
merah putih. Media sosial dan media massa sibuk membahas nasionalisme, dan
semua yang berkaitan dengan Indonesia dan kemerdekaan. Banyak pula
honoris-honoris causa yang bermunculan dengan pemahaman mengenai kemerdekaan.
Lagu-lagu nasional diputar dimana-mana, dan foto profil akun media sosial pun
berubah menjadi bendera merah putih.
Semua antusiasme itu sangatlah baik. Seperti menunjukkan
betapa masyarakat menjadi pihak yang sangat bersyukur atas segala karunia yang
Tuhan anugerahkan. Tapi sayang, banyak implementasi semua perayaan hanya
sebatas seremoni belaka. Banyak yang cuma beribadah saat hari besar agama, dan
banyak yang mengaku cinta Indonesia hanya pada hari besar nasional. Ambilah
contoh perayaan HUT kemerdekaan Indonesia, betapa banyak tayangan-tayangan yang
bertema Indonesia, ajakan untuk kerja-kerja-kerja bagi Indonesia,
tulisan-tulisan untuk Indonesia dan lain sebagainya. Tapi pasca bulan Agustus
berlalu, masihkah semua itu tersisa?
Memang, hari yang datangnya satu tahun sekali
harus diperingati dengan berbagai macam kegiatan, namun apa arti dari perayaan
satu hari untuk 300 lebih hari setelahnya? Apakah upacara kemerdekaan hanya
sebatas seremoni belaka untuk mengingat hari ulang tahun? Cobalah perhatikan,
contoh kecil saja lagu wajib nasional, berapa banyak sih yang dihafal masyarakat khususnya golongan yang katanya
terpelajar karena sudah sekolah dan kuliah tinggi? Atau adakah media yang “bersuara”
yang mau memutar lagu-lagu tersebut paling tidak satu atau dua kali sehari?
Tentu pemutarannya tidak sebanding dengan lagu-lagu modern yang beberapa
diantaranya hanya digubah tanpa ada esensi yang berarti.
Banyak yang setiap hari menulis tentang cinta,
jodoh dan ajaran yang kadangkala berisi pengurusan untuk orang lain, tapi adakah banyak yang mau
menulis paling tidak satu tulisan saja yang memiliki manfaat untuk Indonesia?
Adakah yang selain di bulan Agustus atau hari besar nasional yang mau
bercuit-cuit di media sosial tentang nasionalisme? Masih adakah golongan
pelajar yang hafal paling tidak sebagian nama-nama pahlawan Indonesia, yang
sudah mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia? Apakah ada yang masih
tertartik belajar tentang sejarah Indonesia? Masih adakah yang bercita-cita
besar bagi Indonesia selayaknya orangtua-orangtua terdahulu?
Peringatan-peringatan hari-hari besar,
khususnya dalam tulisan ini adalah hari besar nasional, mestinya memiliki
esensi yang berlanjut sampai hari peringatan selanjutnya. Memiliki manfaat
untuk memberikan kebaikan yang lebih baik untuk hari esok, dan terus membangun
harapan dan asa demi mewujudkan kehidupan yang indah bagi segenap bangsa
Indonesia. Marilah maknai lagi apa makna dari setiap seremoni yang dilakukan
selama ini, apakah ada manfaat yang lebih baik bagi kepentingan dan kebaikan
bangsa? Tulisan singkat yang sangat sederhana ini tidak bermaksud menafikan
semua kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh masyarakat, hanya
mengingatkan sekaligus mengajak untuk menjadi manusia yang lebih baik bagi
segenap bangsa, kalau bisa sih
sedunia.
Maka dari itu Bangsa menentukan negara merupakan keunikan indonesia dan Mungkin satu2nya Negara Republik yang menerapkannya.
sebab banyank konsep negara lain menggunakan konsep negara menentukan bangsa.
yang terjadi di negara tersebut khususnya eropa+Amerika yang Mungkin banyak ditentang banyak dari negara di Asia dan Afrika adalah banyaknya sifat elitis yang lahir atas dasar kemakmuran.
Untuk kebanyakan orang Kekayaan Itu relatif walaupun Bisa diukur
Tapi ingat klasifikasi Maju dan berkembang suatu negara itu sama saja menjerumuskan kita dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan, yaitu liberalisme.
Maka izinkanlah saya memberi tulisan ini dengan menyatakan bahwa tidak heran collapsenya asia diakibatkan eropa memang mengatur agar liberalisme masuk ke indonesia