Selama Ramadhan, hari raya dan satu setengah bulan ke
depan saya memiliki waktu senggang yang luar biasa banyak. Saking banyaknya,
saya pun bingung harus berbuat apa dan malah banyak bercumbu dengan gadget yang telah setia mendampingi saya
lebih dari setahun tanpa pernah saling cemburu atau khianat mengkhianati karena
kami yang memelihara sifat saling memberi (saya membelikannya paket internet
dan dia memberikan saya kesenangan)..
Kebetulan saya punya akun-akun media sosial, dan saya
manfaatkan semuanya untuk paling tidak mendapatkan informasi-informasi yang
mungkin saja berguna, apalagi saya mengikuti akun-akun dakwah media sosial yang
banyak mengajak kepada amar ma’ruf nahi munkar walau jujur ada kalanya saya
malas membaca isinya.
Saya yakin dan percaya bahwa niat mereka sangatlah
baik dalam menyampaikan semua itu. Hanya saja, sebelum tulisan ini berlanjut
kepada intinya, saya yang jauh dari kesempurnaan pribadi ini memohon izin untuk memberikan saran, barangkali
ada gunanya bagi saya dan pembaca yang akan berdakwah.
Begini, saya jadi tersenyum dan tergelitik ketika ada
akun dakwah yang menceritakan “kisah hidup” selembar uang seribu dan selembar
uang seratus ribu. Saya yakin hampir semua dari kita pernah membaca cerita ini.
Batang tubuh cerita ini menjelaskan bagaimana uang seratus ribu yang awalnya
bangga karena memiliki “tubuh” yang terawat dan pernah memasuki tempat-tempat
mewah menjadi menyesal dan bertobat setelah mendengar cerita uang seribu lusuh
yang masuk ke tempat-tempat ibadah, ke kotak-kotak sumbangan atau ke tangan
fakir dan miskin. Dari sini sekilas kita bisa mengambil makna bahwa jangan
menjadi orang yang sombong, keep humble
dan teruslah menghargai orang lain.
Sayangnya analogi cerita ini kok kayaknya menyedihkan ya? Saya jadi sedih mendengar bagaimana
kisah Si Uang Seribu dan Si Uang Seratus Ribu itu. Eh tidak! Saya tidak sedih
karena perjalanan hidup Si Seribu yang menjadikannya lusuh itu, tapi sedih
dengan kenyataan kalau kita itu pelit, pake banget.
Oke deh itu hanya cerita yang dikarang-karang untuk memberi ajaran, tapi
bukankah khayalan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman? Mungkin, mungkin
ya, pengarang cerita itu memang dulunya terinspirasi saat melihat banyaknya
uang seribu di kotak-kotak sumbangan.
Saya sih tidak bermaksud menafikan sisi baik cerita
itu, hanya saja alangkah lebih baik apabila diberikan cara penyampaian yang
tidak menjadi bumerang bagi penyampainya. Belum lagi kebiasaan mengajak orang
bersedekah dengan kata-kata “biarlah sedekah seribu asal ikhlas daripada
seratus ribu tapi tidak ikhlas”. Wah gawat kalau kata-kata seperti ini terus
dipegang dan dipraktikkan seperti orangtua yang ngasih uang seribu ke anaknya untuk sedekah.
Ya begitulah. Secara tidak langsung cerita itu bisa
mempertontonkan kepelitan kita, bisa pula menyindir kalau kita itu pelit pake banget. Bayangin aja, kotak-kotak amal
itu isinya mayoritas uang seribuan, dan beruntung enam tahun lalu Bank
Indonesia mengeluarkan uang dua ribuan sehingga paling tidak, sudah ada
pengurangan populasi uang golok di kotak-kotak amal. Let us start new habits.