contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Minggu, 02 Agustus 2015
Selama Ramadhan, hari raya dan satu setengah bulan ke depan saya memiliki waktu senggang yang luar biasa banyak. Saking banyaknya, saya pun bingung harus berbuat apa dan malah banyak bercumbu dengan gadget yang telah setia mendampingi saya lebih dari setahun tanpa pernah saling cemburu atau khianat mengkhianati karena kami yang memelihara sifat saling memberi (saya membelikannya paket internet dan dia memberikan saya kesenangan)..
Kebetulan saya punya akun-akun media sosial, dan saya manfaatkan semuanya untuk paling tidak mendapatkan informasi-informasi yang mungkin saja berguna, apalagi saya mengikuti akun-akun dakwah media sosial yang banyak mengajak kepada amar ma’ruf nahi munkar walau jujur ada kalanya saya malas membaca isinya.
Saya yakin dan percaya bahwa niat mereka sangatlah baik dalam menyampaikan semua itu. Hanya saja, sebelum tulisan ini berlanjut kepada intinya, saya yang jauh dari kesempurnaan pribadi  ini memohon izin untuk memberikan saran, barangkali ada gunanya bagi saya dan pembaca yang akan berdakwah.
Begini, saya jadi tersenyum dan tergelitik ketika ada akun dakwah yang menceritakan “kisah hidup” selembar uang seribu dan selembar uang seratus ribu. Saya yakin hampir semua dari kita pernah membaca cerita ini. Batang tubuh cerita ini menjelaskan bagaimana uang seratus ribu yang awalnya bangga karena memiliki “tubuh” yang terawat dan pernah memasuki tempat-tempat mewah menjadi menyesal dan bertobat setelah mendengar cerita uang seribu lusuh yang masuk ke tempat-tempat ibadah, ke kotak-kotak sumbangan atau ke tangan fakir dan miskin. Dari sini sekilas kita bisa mengambil makna bahwa jangan menjadi orang yang sombong, keep humble dan teruslah menghargai orang lain.
Sayangnya analogi cerita ini kok kayaknya menyedihkan ya? Saya jadi sedih mendengar bagaimana kisah Si Uang Seribu dan Si Uang Seratus Ribu itu. Eh tidak! Saya tidak sedih karena perjalanan hidup Si Seribu yang menjadikannya lusuh itu, tapi sedih dengan kenyataan kalau kita itu pelit, pake banget. Oke deh itu hanya cerita yang dikarang-karang untuk memberi ajaran, tapi bukankah khayalan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman? Mungkin, mungkin ya, pengarang cerita itu memang dulunya terinspirasi saat melihat banyaknya uang seribu di kotak-kotak sumbangan.
Saya sih tidak bermaksud menafikan sisi baik cerita itu, hanya saja alangkah lebih baik apabila diberikan cara penyampaian yang tidak menjadi bumerang bagi penyampainya. Belum lagi kebiasaan mengajak orang bersedekah dengan kata-kata “biarlah sedekah seribu asal ikhlas daripada seratus ribu tapi tidak ikhlas”. Wah gawat kalau kata-kata seperti ini terus dipegang dan dipraktikkan seperti orangtua yang ngasih uang seribu ke anaknya untuk sedekah.
Ya begitulah. Secara tidak langsung cerita itu bisa mempertontonkan kepelitan kita, bisa pula menyindir kalau kita itu pelit pake banget. Bayangin aja, kotak-kotak amal itu isinya mayoritas uang seribuan, dan beruntung enam tahun lalu Bank Indonesia mengeluarkan uang dua ribuan sehingga paling tidak, sudah ada pengurangan populasi uang golok di kotak-kotak amal. Let us start new habits.






| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI