Selain kematian dan perubahan,
dunia tidak menjanjikan kepastian.
Saya rasa kalimat
tersebut tidak sulit dipahami. Dan yakinlah: kehidupan hari kemarin tidak akan
sama dengan kehidupan esok hari. Semuanya pasti berubah. Semuanya pasti
berganti seiring berjalannya waktu.
Cinta pun
begitu. Mencintai itu lumrah, namun bukan berarti dengan cinta semuanya akan
tetap sama. Kita tidak bisa menutup diri terhadap segala kemungkinan.
Dalam semesta
sepakbola, beberapa pemain memilih mencintai klub mereka dengan sepenuh hati.
Cinta adalah alasan utama bagi orang-orang seperti Paolo Maldini, Javier
Zanetti, Antonio Di Natale, Ryan Giggs, dan Francesco Totti mengakhiri karier
di klub yang mereka bela dalam jangka waktu yang lama (Totti belum pensiun,
tapi hampir dapat dipastikan bahwa Totti akan pensiun di AS Roma dan menjadi
bagian dari direksi klub) dan kemudian melanjutkan pengabdian di klub-klub yang
menjadikan namanya harum itu. Masih banyak contoh-contoh yang lain, tapi bukan
itu yang hendak dibahas.
Orang pacaran
diharapkan move on setelah putus dan pacarnya berubah status menjadi mantan.
Hal yang sama berlaku dalam sepakbola. Move on adalah salah satu metode untuk
melangkah maju. Tidak, tidak. Bukan berarti mengenang masa lalu itu haram, tapi
yang jelas masa lalu harus ditinggalkan dan diganti dengan masa kini.
Ayo kita mulai bahas soal Sepakbola
saja biar tidak terlalu baper.
Coba perhatikan
bagaimana seorang Sinisa Mihajlovic yang pernah menjadi pemain bintang di Lazio
dengan tendangan bebasnya, mulai musim 2015/2016 adalah seorang pelatih bagi
klub rival, AC Milan, yang notabene juga adalah musuh bebuyutan Internazionale,
klub tempat Mihajlovic mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola.
Di Lazio, Miha
adalah pujaan. Selama enam musim di Olimpico, ia menghadiahkan gelar Piala Winners
1998/99, Coppa Italia musim 1999/2000
dan 2003/04, UEFA Supercup 1998/1999, dan yang paling prestisius
tentunya gelar scudetto pada musim 2000/01. Di Inter? Miha masih sempat
menyumbang tenaga untuk dua trofi Coppa Italia musim 2004/05 dan 2005/06, serta
scudetto yang disebut-sebut sebagai hadiah calciopoli pada tahun 2006. Ketika
kini Miha diangkat menjadi pelatih Milan, tentu ada kejutan di dalamnya
(terlepas dari prestasinya membawa Sampdoria menjadi klub papan atas Serie-A
musim lalu). Ia adalah legenda Lazio, dan pensiun di Inter. Dua klub ini sudah
menjadi rival Milan sejak lama.
Sebelumnya, pria
yang akrab disapa Miha ini mengungkapkan bahwa ia mencintai Inter dan sulit
baginya melatih AC Milan. Daripada dikatakan menjilat ludah, lebih baik disebut
sebagai move on saja bukan? Lagipula kalau Miha menjilat ludah, ia tentu harus
move on dulu dari masa lalunya.
Di Jerman ada
nama Matthias Sammer yang dalam lima tahun terakhirnya sebagai pemain membela
Borussia Dortmund (1994-1999). Sammer juga sempat menjadi pelatih Dortmund
selama empat tahun sejak 2000. Selama membela Die Borussen sebagai pemain, Sammer mempersembahkan raihan
dua trofi liga Jerman (1994/95 dan 1995/96), dua trofi DFB Supercup (1995 dan 1996),
dan satu gelar juara Liga Champions pada musim 1996/97.
Setelah pindah
haluan menjadi pelatih, Sammer memberikan gelar juara Bundesliga musim 2001/02
serta membawa Dortmund mencapai posisi runner-up pada DFB Pokal tahun 2003 dan
UEFA Supercup setahun sebelumnya. Dengan semua raihan itu, layaklah rasanya
Sammer disebut salah satu orang yang berjasa bagi Dortmund. Tapi bagaimana
setelahnya?
Kini Matthias
Sammer malah menjabat posisi direktur di lawan abadi Dortmund, FC Bayern
Munchen. Entah apa yang menjadi alasan utama, tapi yang jelas Sammer mampu move
on dari Dortmund yang mengisi hari-harinya selama kurang lebih sepuluh tahun.
Sekilas seperti pengkhianatan, tapi tanpa faktor move on, pengkhianatan pun
sulit dilakukan.
Kembali ke
Italia, ada nama Leonardo Araujo. Gelandang Brasil ini adalah salah satu pemain
yang pernah membela AC Milan selama lima tahun dalam kurun waktu 1997-2001 dan
2002-2003. Pasca purna tugas sebagai pemain, ia diangkat menjadi pemandu bakat
dan memiliki jasa besar dalam mendatangkan pemain-pemain bintang AC Milan di
era kepelatihan Carlo Ancelotti, diantaranya adalah Ricardo Kaka dan Alexandre
Pato.
Selain menjadi
pemandu bakat, Leo juga menjadi direktur teknik AC Milan, sampai akhirnya ia
diangkat sebagai pelatih di awal musim 2009/10 saat Carlo Ancelotti memutuskan
untuk move on dengan pindah ke London; menuju Chelsea di akhir musim
sebelumnya. Meskipun mengawali karier
kepelatihannya di Milan dengan serangkaian hasil buruk, toh pada akhirnya
Leonardo tetap mampu menjaga level permainan Milan sebagai tim papan atas eropa
dengan gaya main ultra offensive dalam formasi 4-4-2 fantasista walaupun saat
itu baru saja ditinggal Kaka, sang megabintang.
Perjalanan
karier Leonardo di Milan berakhir saat ia berselisih paham dengan presiden
Silvio Berlusconi. Hanya semusim mengomandoi Milan, Leonardo kemudian
mengundurkan diri pada akhir musim dan posisinya digantikan oleh Massimiliano
Allegri. Apa yang terjadi kemudian? Tidak sampai setahun pasca lengser dari
jabatan pelatih AC Milan, Leonardo malah menerima pinangan Massimo Moratti,
presiden Internazionale, dan didaulat menjadi pelatih baru menggantikan Rafael
Benitez. Inter yang kala itu hancur-hancuran di tangan Benitez setelah berjaya
dengan treble winners, dibawanya melambung tinggi ke posisi dua klasemen dan
nyaris merebut posisi teratas dari tangan klub lamanya, Milan. Berbeda saat di
Milan, Leonardo malah menghadiahkan trofi Coppa Italia bagi Inter. Sesuatu yang
tidak pernah diberikannya selama menjadi pelatih di Milan. Sakit hati lalu move
on? Tentu saja.
Masih di Italia,
kali ini kita bahas Paulo Sousa: pelatih Fiorentina pengganti Vincenzo Montella
sejak 2015/16. Sekilas, penunjukan Sousa adalah wajar mengingat ia berprestasi
selama menangani klub Swiss, FC Basel. Namun yang menarik adalah, Sousa
merupakan mantan pemain Juventus yang meraih gelar Liga Champions pada tahun
1996. Tidak perlu dijabarkan lebih lanjut betapa bencinya supporter Fiorentina
pada Juventus. Para pendukung Fiorentina pada awalnya menentang kehadiran Sousa
di Artemio Franchi.
Hanya memperkuat
Juventus selama dua tahun, barangkali tidak sulit bagi pria Portugal ini untuk
move on melupakan Juventus, yang sulit dan mau tidak mau harus dilakukannya
dengan persembahan prestasi adalah membawa segenap penggemar Fiorentina untuk
move on dari kenangan akan masa bermain yang penah ia jalani bersama Juventus.
Tapi paling tidak, pramusimnya bersama Fiorentina berjalan baik.
Thiery Henry
juga tidak jauh berbeda. Memainkan 254 lama bersama Arsenal dengan sumbangsih
174 gol, dua gelar liga musim 2001/02 dan 2003/04, serta FA Cup dan Community
Shield dalam kurun waktu delapan tahun, maka layaklah ia disebut sebagai salah
satu legenda Arsenal. Tahun 2007 ia pindah ke Barcelona. Meski hanya dua tahun
di sana, Henry bergelimang gelar dan mendapatkan sebuah trofi yang belum pernah
ia raih, Liga Champions. Padahal tahun 2006, ia nyaris membawa Arsenal juara
Liga Champions saat menantang Barcelona di partai puncak. Keberhasilan Henry,
terlepas dari jam bermainnya di Barcelona, adalah hasil dari move on yang ia
lakukan. Bayangkan apabila ia tetap di Arsenal yang malah tidak pernah lagi
juara liga sejak terakhir kali diraih bersama Henry nyaris satu dekade silam.
Semua kisah yang
dijabarkan di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah move on di dunia
sepakbola. Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya seperti Carlos Tevez, Samir
Nasri, Kolo Toure, Andrea Pirlo dan lain-lain. Musim 2015/16 juga akan diwarnai
dengan para pelaku move on baru lainnya seperti Bastian Schweinsteiger, Arturo
Vidal, Maurizio Sarri, Pedro Rodriguez dan Andrea Pirlo yang meninggalkan
Juventus setelah euforia empat scudetto beruntun.
Kalau mereka
yang berprestasi untuk klub dan negara saja bisa move on, kalau mereka yang
menorehkan kenangan manis bersama satu klub saja bisa memulai cerita berbeda
dengan kesebelasan lain, kok kita move on dari pacar saja susah?
Belajarlah dari para pesohor dunia
sepakbola. Tinggalkanlah yang lama. Karena hidup terus berjalan…
*tulisan ini pernah diposting di laman PanditFootball