“Sudahkah kepantasan dalam takdir
hadir padamu?”
Pertanyaan itu, pertanyaan yang
mengiang-ngiang di kupingku setiap kali melihat wujud harapan dan doa yang
kupintakan menari-nari dalam tudung sutra yang melingkupinya. Aku tidak pernah
ragu, tidak pula mengingkari kekhawatiran, namun bayang-bayangnya adalah
idam-idaman sanubari yang senantiasa membisikkan asa.
Di depanku dirimu bergerak,
berpindah dari satu pijakan ke pijakan lainnya dengan gemulai anggun yang
mungkin nilainya tiada dapat terukur. Setiap kakimu memijak bumi, netramu
memandang sesuatu dan mengabaikan acuhanku. Asyik bersenandung dengan orang
yang memberikan sesuatu yang masih belum mampu kuhadirkan untukmu. Aku hanya
melihat abai, menikmati berbagai adegan dalam rangkaian detik yang menggilas,
menunggu hingga tiba waktu yang seharusnya datang.
Di suatu hari yang muram, saat suara
riangmu menerimanya dengan gempita, aku bertanya pada seseorang yang mungkin
empunya akan sesuatu yang tidak tampak oleh mata, dan tak terasa oleh akal.
Pertanyaan yang penuh keresahan, memancar dari kedua bola mataku yang
menatapnya dengan suram.
“Lepaskanlah nak. Lepaskan. Jika
tangan mereka yang meraih bukanlah tangan yang suci, waktu akan membawanya
pergi untukmu,” kata Si Empu Tua dengan suara yang sudah melemah termakan usia.
