Ada sebuah lagu dangdut masyhur yang penggalan liriknya sama dengan
judul yang penulis berikan untuk artikel ini, “kalau cinta sudah direkayasa.”
Lirik tersebut barangkali menjadi sangat cocok dan sesuai jika dikorelasikan
dengan realita yang terjadi di tengah masyarakat sekarang, dalam hal ini
dititikberatkan kepada kaula remaja.
Sebagaimana yang dikemukakan Papalia (2008), manusia normal, sesuai dengan tugas
perkembangan pada setiap tahap, akan mengalami fase saat organ dan hormon seksual
menjadi aktif dan berkembang menuju kematangan. Ketika hal itu terjadi, manusia
akan mendapati dirinya berhasrat dan tertarik kepada lawan jenisnya serta
memiliki kemauan untuk memenuhi hasrat seksual. Remaja, adalah fase tempat
seksualitas berkembang secara pesat.
Penulis sendiri menganggap bahwa seksualitas adalah salah satu karunia
Tuhan yang sangat agung untuk manusia. Jadi wajar saja, jika setiap manusia
menghendaki adanya hubungan cinta dengan seseorang yang ia senangi. Baron
(2003) bahkan mengatakan bahwa para homoseksual dan heteroseksual sekalipun
memiliki harapan yang sama akan suatu hubungan intim yang romantis (Baron &
Byrne, 2003).
Sayangnya, seiring dengan kecanggihan teknologi yang membawa berbagai
macam budaya baru, perilaku-perilaku remaja mengalami perubahan yang tampak
jelas sekali. Saat ini, berbagai macam budaya yang sebenarnya tabu dan
menyimpang dari norma yang berlaku pada masyarakat Indonesia seperti berkembang
pesat dan bahkan mulai diadaptasi oleh masyarakat sendiri. Remaja-remaja
seperti telah terkontaminasi secara bebas oleh perilaku-perilaku yang sudah
dihalalkan dengan dalih modernisasi dan kemajuan kualitas hidup.
Cinta, yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang agung, kini seolah
telah direkayasa menjadi komoditi yang dapat diobral dengan harga semurah
mungkin. Tayangan-tayangan televisi, musik bahkan karya-karya sastra maupun
seni seperti tidak menarik jika tidak menjadikan cinta sebagai tema utama.
Cinta akhirnya menjadi eksplorasi bebas untuk memeroleh keuntungan finansial
sebesar mungkin tanpa melihat efek negatif yang mungkin terjadi bagi remaja
yang malahan sering diibaratkan sebagai tunas masa depan bangsa.
Kita dapat mengambil contoh tayangan-tayangan sinetron yang ditayangkan
beberapa stasiun televisi Indonesia, adegan-adegan seperti pegangan tangan,
pelukan sampai berciuman seperti menjadi adegan yang sangat mudah dan murah dilakukan
tanpa ada pelarangan ataupun batasan. Sinetron-sinetron tersebut berisi kisah
cinta para tokoh, yang diberi penyedap berupa perselisihan, pertentangan sampai
kecemburuan yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku agresif. Sialnya,
sinetron-sinetron tersebut selain segmentasinya adalah remaja, juga dimainkan
oleh para artis yang usianya masih dalam usia remaja.
Selain sinetron, acara-acara yang berbau musik pun sudah menjadikan
cinta sebagai bumbu utama. Lirik-lirik lagu cinta ternyata sangat digandrungi
oleh masyarakat Indonesia, meskipun penuh pretensi dan hipermelankolis.
Malahan, lagu-lagu yang hipermelankolis tersebut maknanya sangat sentimental,
penuh dramatisasi dan parahnya mengabaikan logika dan moral. Yang lebih mengerikan, tidak sedikit dari
lirik-lirik lagu yang sedang populer di Indonesia mengisahkan tentang cinta
yang terlarang secara normatif, penghianatan, hubungan tanpa status bahkan
perselingkuhan. Konsep musik yang depresif menjadi raja yang progresif dalam
kepongahan industri musik Pop modern saat ini (Pransetyo, 2009)
Lebih ironisnya lagi, tidak sedikit penyanyi yang masih berusia remaja menyanyikan
lagu-lagu tentang cinta kepada pasangan. Para penyanyi remaja, dan yang dibalut
dengan bungkus indah (baca: tampan dan cantik) itu menjadi idola utama para
remaja masa kini. Mereka menghafal lagu-lagunya, dan rela histeris seperti akan
mati saat melihat wajah idola mereka. Tidak berhenti sampai di sana,
penyanyi-penyanyi remaja (termasuk artis remaja yang bukan penyanyi) itupun
terus diliput kehidupan pribadinya dan diungkit-ungkit tentang gairah
seksualnya yang “baru saja” membara. Media yang terus mencari kuantitas
tayangan dengan getol meliput kisah cinta para penyanyi remaja yang malahan
dengan asyiknya mempertontonkan kemesraan melalui tindakan bergandengan tangan
sampai rangkul-merangkul di depan wartawan yang secepat mungkin ditayangkan
melalui media-media elektronik.
Ada pula acara-acara reality show
yang mempertontonkan perselisihan antara sepasang kekasih yang kemudian menjadi
ajang penelanjangan terhadap aib seseorang. Belum lagi intrik-intrik berupa
konflik dalam tayangan tersebut yang semakin memperjelas bahwa cinta memang
telah direkayasa. Mereka menjadikan kisah cinta yang hampir seluruhnya adalah
kisah cinta remaja sebagai tayangan persuasif demi mendapatkan atensi penonton
yang lagi-lagi (pasti) remaja tanpa memedulikan kualitas tayangan.
Dengan segala bentuk tayangan seperti demikian, tak ayal perilaku
seksual para remaja mengalami perubahan yang luar biasa. Jika setiap hari para
remaja menyaksikan dan mendengarkan sinetron dan musik yang mengandung pesan
seksual yang salah, apa yang akan terjadi? Tentu saja pikiran akan dipenuhi
oleh hasrat seksual yang salah kemudian merasuk ke alam bawah sadar dan
akhirnya terbentuk menjadi perilaku. Sederhananya, sesuai dengan apa yang
dikemukakan Sigmund Freud (dalam Pervin, 2004), bahwa perilaku manusia banyak
yang dipengaruhi oleh motivasi alam bawah sadar. Pendapat tokoh lain seperti
Bandura (dalam Mukhlis, 2014), memaparkan bahwa individu belajar lebih cepat
melalui proses mengamati. Melalui pengamatan, individu akan melakukan imitasi
terhadap individu lain yang dijadikan model. Bayangkan apabila remaja condong
menjadikan para artis yang menampilkan perilaku-perilaku seperti yang telah
diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya sebagai model dalam kehidupan
mereka (Mukhlis, 2014).
Tayangan-tayangan yang penulis
anggap tidak berkualitas itu seperti dibiarkan saja oleh pihak-pihak yang
sebenarnya berwenang memberikan tindakan preventif ataupun tindakan intervensi.
Mereka mampu dengan cepat menindak acara-acara agama yang keliru, namun gagal
dalam melihat acara-acara yang berisi pesan-pesan seksual yang memberi dampak
negatif. Sedihnya, kritik yang coba dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu
kepada pihak media dianggap sebagai pengekangan dan penyerangan terhadap
kebebasan berekspresi. Ironis memang apabila kita memandang masalah tersebut
berdasarkan budaya seksual di Indonesia yang sangat normatif. Konsep
seks normatif adalah nilai-nilai
seksual yang telah terinstitusionalisasi
dalam kehidupan masyarakat dan dipandang sebagai pedoman masyarakat dalam memperlakukan seks mereka. Seperti yang diketahui bersama bahwa struktur nilai
dalam masyarakat Indonesia sarat dengan
nilai-nilai kehidupan
timur, yang berkaitan erat dengan ajaran-ajaran agama
(Wahyudianata, 2007).
Pencegahan dan pemfilteran melalui pendidikan keluarga dan sekolah juga
mulai kalah oleh cinta yang sudah direkayasa tadi. Anak-anak remaja zaman
sekarang juga tidak malu dan segan menunjukkan kemesraan melalui gandengan
tangan di lingkungan sekolah, bahkan di hadapan orangtua dan guru. Sakitnya,
ada juga pihak guru dan orangtua yang mempersilahkan anak-anak mereka
bergandengan tangan dan menganggap bahwa hal tersebut adalah normal. Apa yang
mereka lakukan, nyaris sama dengan yang ditampilkan di sinetron-sinetron masa
kini. Padahal, masa remaja adalah masa yang berbahaya, masa saat individu
mengalami krisis karena belum adanya pegangan padahal kepribadiannya sedang
mengalami pembentukan. Pada waktu itu, remaja membutuhkan bimbingan, terutama
dari orangtuanya (Soekanto, 2013).
-------
Cinta bukan barang murahan yang dengan gampang bisa diobral dan
dijadikan alat untuk mendapat keuntungan yang sebesar-sebesarnya. Cinta
semestinya diperlakukan sesuai dengan kesejatiannya sebagai elemen mulia yang
yang dapat memberi banyak manfaat bagi semesta.
Cinta memang telah direkayasa, cinta tidak lagi diartikan sesuai dengan
maknanya yang sejati, melainkan menjadi landasan utama untuk menghalalkan
segala perbuatan yang terlarang. Cinta kini telah menjadi dalih, selain sebagai
ajang mencari untung, juga sebagai alasan untuk bercengkrama sampai
bersenggama.
REFERENSI
Baron, Robert A. Donn
Byrne. 2003. Psikologi Sosial: Jilid II.
Jakarta: Erlangga
Mukhlis, dkk. 2014. Konsep dan Teori Perkembangan.
Pekanbaru: Al-Mujtahadah Press
Papalia, dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Pervin, Lawrence A.
Daniel Cervone, Oliver P. John. 2004. Psikologi
Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono.
2013. Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Pers.
Pransetyo, Hizkia Joko.
2009. Lagu Cinta: Garda Depan Industri
Musik Pop Indonesia. Jurnal Pendar Pena. Vol. 2 No. 3.
Wahyudianata, Megawati.
2007. Televisi Dan Pergeseran Konsep Seks
Normatif: Pengaruh Tayangan Pornomedia Televisi dan Agama Terhadap Sikap Seks
Mahasiswa S1 Kota Surabaya. Jurnal Ilmiah Scriptura. Vol. 1 No. 1.