contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Minggu, 26 Juni 2016
“Sudahkah kepantasan dalam takdir hadir padamu?”
Pertanyaan itu, pertanyaan yang mengiang-ngiang di kupingku setiap kali melihat wujud harapan dan doa yang kupintakan menari-nari dalam tudung sutra yang melingkupinya. Aku tidak pernah ragu, tidak pula mengingkari kekhawatiran, namun bayang-bayangnya adalah idam-idaman sanubari yang senantiasa membisikkan asa.
Di depanku dirimu bergerak, berpindah dari satu pijakan ke pijakan lainnya dengan gemulai anggun yang mungkin nilainya tiada dapat terukur. Setiap kakimu memijak bumi, netramu memandang sesuatu dan mengabaikan acuhanku. Asyik bersenandung dengan orang yang memberikan sesuatu yang masih belum mampu kuhadirkan untukmu. Aku hanya melihat abai, menikmati berbagai adegan dalam rangkaian detik yang menggilas, menunggu hingga tiba waktu yang seharusnya datang.
Di suatu hari yang muram, saat suara riangmu menerimanya dengan gempita, aku bertanya pada seseorang yang mungkin empunya akan sesuatu yang tidak tampak oleh mata, dan tak terasa oleh akal. Pertanyaan yang penuh keresahan, memancar dari kedua bola mataku yang menatapnya dengan suram.
“Lepaskanlah nak. Lepaskan. Jika tangan mereka yang meraih bukanlah tangan yang suci, waktu akan membawanya pergi untukmu,” kata Si Empu Tua dengan suara yang sudah melemah termakan usia.

Aku tidak menjawab langsung. Menghela beberapa hirupan napas kemudian aku berkata kepadanya, “akankah kubiarkan kedua mataku menjadi saksi?”
Si Empu Tua itu tidak lagi menjawab dengan lisan. Ia berjalan mendekatiku, menepukkan kedua tangannya yang keriput ke bahuku. Berlalu pergi, meninggalkan aku yang sedang dinaung rasa nestapa.
Dengan kalbu yang pudar, kusisiri jalan setapak yang terbentuk di tengah padang ilalang. Di bawah langit mendung yang kelabu, aku berjalan lurus tanpa benar-benar tahu apa yang ada di depan, bagai menjaring keputusasaan. Batang demi batang ilalang yang kulewati patah oleh petikan tangan, walau kubuang petikan itu tanpa menggali manfaatnya.
Terus berjalan, lelah dan penat mendekatiku. Mengajakku untuk mampir sebentar, alih-alih terus berjalan tak tentu arah. Aku tidak memaksa, kuturuti keinginan mereka dan menyelonjorkan kaki sambil bersandar di batang sebuah beringin. Aku duduk di atas salah satu akar besarnya yang terpampang ke permukaan tanah. Pohon beringin ini sangat rimbun, hanya titik kecil cahaya yang sanggup melewati kerindangan dedaunannya.
Pawana yang lembut menyapu-nyapu di wajahku. Sejuk lembutnya mengobati kepenatan yang menjamur di otot-otot tubuh, lama-kelamaan mendatangkan kantuk yang ingin membawaku pergi ke dunia angan-angan. Sekejap aku sempat berpikir, ‘bukankah dunia angan-angan itu lebih indah?’
Belum sampai tiga detik rasanya aku memejamkan mata, sesosok perempuan dengan rambut tergerai telah berdiri di sampingku. Wajahnya ramah, senyum membentang dan matanya memandang penuh binar.
“Hai,” katanya kepadaku.
“Ha, hai,” jawabku terbata. Aku baru saja melompat beberapa desimeter menjauhinya karena rasa kaget yang luar biasa.
“Ada apa gerangan engkau kemari?” tanyanya, masih dengan senyum terbentang.
“Tidak ada apa-apa selain melepaskan keriuhan penat. Adakah keberadaanku mengusikmu?” tanyaku dengan sedikit segan dan ekspresi memohon maaf.
“Tentu saja tidak. Teruskanlah. Aku tidak akan mengganggumu,” jawabnya. Wajahnya masih menampilkan senyum.
Perempuan ini masih muda, kurasa. Wajahnya belum terlalu dimakan usia, mungkin baru saja melewati masa remaja dan kalaupun ia adalah wanita yang lambat penuaannya, usianya pasti belumlah terlampau jauh. Paling-paling sebaya denganku. Kulitnya bersih meski pakaiannya kumal, gerai rambutnya tidak beraturan tapi hitam cantik. Kakinya tidak beralas, memijak bumi.
“Duduklah, mari bercerita sebentar,” tangan kanannya menunjuk kembali akar tempatku duduk tadi. Isyarat memperkenankan.
-----
Ia begitu santun kepadaku. Segelas air dan ramah tamah lainnya begitu mengena. Menyampaikan siratan bahwasanya ia adalah sosok yang ramah dan bisa diajak berteman serta mungkin saja menjadi empu dalam berbagai masalah pribadi.
“Siapa namamu?” tanyaku padanya.
Ia tersenyum dan memandang jauh ke padang ilalang yang tadi kutempuh. “Kau boleh menamaiku apa saja. Silahkan,”
Aku mengangguk-angguk saja meski rasa heran menggerayangi sanubari. Biarlah, mungkin itu haknya, dan aku bukanlah siapa-siapa selain seseorang yang baru saja berada di dekatnya.
“Kulihat, engkau begitu cemburu,” ia bertanya kepadaku sambil tertawa terkikik.
Daripada tawa yang terkikik itu, aku lebih menaruh perhatian kepada kalimatnya. Aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya, bahkan tak tahu apa yang ia tanyakan. Tidak mengerti, diam saja.
Selama beberapa saat kami senyap bersama. Aku tidak bergerak sedikitpun dengan mata yang tertuju pada padang ilalang yang rimbun. Banyak hal yang kurasakan, nelangsa, nestapa tapi tidak tahu apakah yang ia tanyakan tadi juga ada kurasakan. Terik sang surya menghujami rimbun ilalang,  sedang hati dipayungi kontras yang sendu.
Dari kejauhan kulihat tiga orang, mungkin lelaki, mendekat. Mereka berjalan dengan risih akan ilalang di sisi mereka. Raut wajah mereka tampak tidak menyenangi sesuatu, barangkali waspada dan siaga atau penuh ketakutan? Entahlah. Aku bukan pembaca raut wajah. Kuabaikan saja meski arah penglihatan kepada mereka.
“Andai engkau boleh cemburu, engkau mau?” Ia bertanya lagi kepadaku. Lagi-lagi kalimat itu. Sungguh enggan aku menjawab, meski akhirnya menjadi segan.
“Tidak apa-apa. Tidak usah engkau jawab. Jangan pernah putus asa, ya! Jangan seperti mereka, yang datang kepadaku tanpa cahaya dan mengakhiri waktu dengan tatapan putus asa. Lihatlah ilalang itu, meski terkadang dipotong dan dicabuti, ia tetap tumbuh dan tak peduli. Ia hanya menyerahkan nasibnya kepada Yang Esa.” Ia diam sebentar, kemudian melanjutkan, “waktu akan memberimu sesuatu yang semestinya untukmu.”
Aku mendengar dan menyimak, tapi tidak menjawab dan memerhatikannya. Aku masih fokus memandangi tiga orang lelaki yang kini sudah semakin dekat. Semakin dekat jarak, semakin bergegas langkah mereka.
“Kenapa engkau di sini? Pulanglah!” ucap salah seorang dari mereka, dan dua orang lagi hanya berdiam diri dan gemetar.
Aku diam meski heran. Mereka terlihat tidak senang. Aku tahu bahwa sudah saatnya pergi, daripada orang-orang ini menjadi semakin durja. Aku berpaling ke samping, hendak berpamitan dan berterimakasih atas jamuan singkat yang disuguhkan. Namun, belum sempat berucap, perempuan tadi telah tiada. Tidak terlihat tanda-tandanya, bahkan bekasnya pergi. Aku memutar badan dan mengerjapkan mata, tapi nihil.
Ketiga orang pria yang “mengusirku” itu memberi isyarat agar aku cepat pergi. Aku tidak banyak menjawab, kuanggukkan kepala dan kaki kulangkahkan ke arah padang ilalang. Menyusuri jalan pulang, kembali dalam kehidupan rutin. Sejenak, kusadari ketiga orang laki-laki tadi menggeleng-gelengkan kepala ke arahku, seolah tidak habis pikir melihat keberadaanku.




| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI