Sebelum membaca tulisan ini, saya
ingin memberitahu pembaca bahwa saya hanya ingin bercerita melalui rangkaian
kata-kata sederhana tentang sekelumit kisah hidup saya di masa lalu. Cerita ini
serius, dan mungkin dibumbui kata-kata berbau drama, tapi saya hanya ingin
manfaat bagi para pembaca. Bila ada sesuatu yang tidak berkenan, mohon untuk
protes langsung ke saya, jangan bully saya di media sosial, apalagi jika
itu sampai membuat saya terkenal, he…he…he… bercanda.
-------
Pada zaman dahulu kala,
puluhan purnama yang lalu, sewaktu duduk di bangku kelas 3 SD, saya dimasukkan
oleh orangtua ke Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tempat saudara-saudara sepupu
saya juga belajar agama. Harapannya jelas mulia, agar anaknya tumbuh beragama
dan mengenal agama. Awalnya mereka berharap saya masuk MDA pada kelas 2 SD,
namun apa daya, kala itu saya belum siap untuk menikah, eh sekolah MDA.
Sebagaimana di sekolah
umum, saya menjalani hari-hari awal yang berat di MDA. Jujur saja, saya adalah
anak yang cengeng, sewaktu SD (sampai kelas 6 SD) saya seringkali menangis
sebelum masuk sekolah, padahal saya di sekolah sangat disayang guru, apalagi
saya anak yang pintar (katanya sih). Nah di MDA, saya menjalaninya dengan lebih
parah. Saya menjalani hari-hari di MDA dengan perasaan takut, takut dimarahi
oleh ustadz dan ustadzah yang mengajar, meskipun saya nyaris tak pernah
benar-benar dimarahi.
Ada suatu hari yang
benar-benar membuat mental saya jatuh di MDA, ketika itu sebagaimana biasa kami
para murid-murid yang kecil-kecil ini baru saja selesai sholat ashar berjamaah.
Imam sholat, yang merupakan guru MDA berbalik dengan segera dan berteriak,
“yang laki-laki sujud semua!” Beliau marah. Beliau tidak senang karena ketika
sholat banyak anak-anak yang ribut dan batuk-batuk, katanya sih begitu, dan
sebagian anak-anak ia anggap batuk main-main. Lalu setelah kami semua sujud, ia
memukuli (maaf) pantat kami. Waktu itu saya ketakutan, padahal saya tidak
pernah main-main saat sholat. Setiap kali sholat ashar saya takut, dan kejadian
seperti ini pun terulang, entah sekali entah dua kali lagi.
Saya masih ingat betul
tentang mu’adzin masjid di komplek MDA yang bagi saya “jahat” kepada anak-anak.
Ia sering ikut memarahi kami dengan wajahnya yang sangar, berkulit hitam dan
suara yang keras. Waktu itu saya sering heran dan bergumam dalam hati, ‘ini
orang siapa yak ok ikutan marah-marah?’
Saya ingat kejadian pada suatu hari,
ketika itu sore jam istirahat setelah ashar, saya melihat ke dalam ke arah
masjid, melihat si mu’adzin sedang membersihkan sejadah. Ia melihat ke arah
saya, lalu berkata dengan keras, “apa? Apa? Apa?!” setengah menghardik.
‘Sialan memang,’ saya bergumam dalam
hati. Kemudian saya pergi, dengan perasaan takut dan kesal.
Semasa di MDA, jam
sholat ashar adalah waktu yang berat untuk saya. Saya melihat jelas bagaimana
teman-teman saya dimarahi, dibentak bahkan diberi kontak fisik berupa cubitan
misalnya (tidak melanggar HAM kok) ketika mereka bermain-main di mesjid. Mereka
tidak hanya dimarahi oleh guru, tapi juga bapak-bapak yang datang untuk sholat
ashar. Belum lagi rasa takut kalau-kalau nanti dihukum semua, disuruh sujud
lalu dipukul pantat.
Selama di MDA, saya sering melihat
teman-teman saya yang kata mereka nakal dimarahi, ada yang dipukul rotan, ada
yang dimarahi, dihukum dan sebagainya. Rasanya saya tidak pernah menerima hukuman-hukuman
demikian, tapi saya tetap takut MDA. Sering bolos dan menangis agar dibolehkan
untuk tidak ke MDA. Saya takut, saya takut bertemu beberapa guru yang menurut
saya menghancurkan mental saya, tapi saya juga berterima kasih kepada guru-guru
yang membuat saya menyayangi mereka.
Masa-masa saya bersekolah di MDA
tidak lama. Tidak sampai 1,5 tahun. Saya berhenti sebelum akhir semester ganjil
di kelas 2. Saya tidak mau MDA lagi. Saya tidak berani, saya takut, saya tidak
suka dimarahi, dan saya tidak mau dihukum. Saya berhenti, dan sampai sekarang
itu adalah salah satu rasa bersalah yang baru kali ini saya ungkapkan.
Mesjid, rumah ibadah bagi agama yang
saya anut, adalah tempat yang cukup saya takuti. Kenapa? Ya kan sudah saya
jelaskan, pahami saja. Saya takut dimarahi! Bukan sekali dua kali saya melihat
anak-anak seumuran saya dimarahi. Itu sudah cukup membuat saya takut. MDA dan
Mesjid adalah dua tempat yang saling berkaitan, dan dua tempat yang sebisa
mungkin saya hindari. Kalau bisa, saya ke masjid ya hari Jum’at saja. Parah kan
saya ini? Terserah deh.
Ketika mulai memasuki usia remaja,
rasa takut untuk ke masjid mulai berangsur hilang. Kenapa? Karena saya merasa
bukan anak kecil yang akan dimarah-marahi lagi. Masuk akal toh?
Sewaktu kuliah, saya duduk menunggu
waktu adzan di suatu masjid. Di dekat saya banyak anak-anak berlarian, bermain
penuh ceria. Saya tidak mengikuti mereka, saya sibuk dengan gadget.
Tiba-tba sebuah suara keras menggelegar, “keluar kalian semua! Ribut aja
kalian!” Suara itu datang dari seorang
pria tua. Wajahnya tampak dilukis amarah. Sorot matanya tajam. Anak-anak yang
tadi bermain di masjid pun berlarian keluar.
Menyaksikan hal itu, darah saya
tersirat. Jantung saya bergetar. Saya ingin marah kepada pria tua ini, tapi mungkin
saatnya tidak tepat dan saya pun tidak berani. Saya hanya diam dan
menggelengkan kepala. Tidak lama kemudian adzan berkumandang dan sholat
dilaksanakan. Jujur, sholat saya sama sekali tidak khusyu’ karena diimami oleh
pria tua yang tadi marah-marah itu.
--------
Saya yakin, ada banyak
cara agar mendidik anak belajar agama itu bisa menyenangkan tanpa harus dengan
marah, hukuman, dan sebagainya. Mungkin
cara-cara ini pernah berhasil di masa lalu, ketika untuk saling
berkomunikasi membutuhkan waktu berjam-jam sampai berbulan-bulan. Zaman terus
berubah, manusia berubah, kehidupan berubah, dan mestinya cara mendidik pun
juga ikut berubah.
Bayangkan ketika kita
memarahi, membentak bahkan sampai mengusir anak-anak yang bermain di masjid,
akan membuat mereka takut dan enggan ke masjid. Dan ketika orangtua-orangtua
yang biasa ke masjid ini sudah mati, siapa yang akan mengisi masjid itu lagi
kalau bukan anak-anak yang pernah diusir tadi? Apakah kita sebagai sesepuh ini
lebih memilih menyalahkan para orangtua yang kita anggap tidak pandai mendidik
anak berperilaku santun di masjid alih-alih membuat masjid menjadi tempat yang
nyaman untuk mereka?
Saya bersyukur, bahwa
apa yang saya alami ini menjadikan saya seseorang yang tidak marah ketika
anak-anak bermain di masjid. Saya
bersyukur, karena saya pernah menyarankan orang untuk tidak memarahi anak-anak
yang ribut di masjid. Dan yang paling saya syukuri, saya masih mau ke masjid ketika
remaja dan dewasa. Mungkin semuanya adalah hikmah yang Allah berikan, agar saya
bisa memberikan manfaat kepada yang lain dalam hal ini.
Mesjid tempat saya MDA
itu kini sudah berubah. Pengurus sudah berganti, bahkan bangunan mesjidnya
sudah sepenuhnya baru. Tidak ada lagi saya lihat mu’adzin, imam atau pengurus
yang memarah-marahi anak-anak. Kalaupun ada, itu masih dalam batas wajar yang
sama sekali tidak semenakutkan era saya dulu. Pihak masjid saya lihat lebih
bijak dalam menyikapi anak-anak.
Pada Ramadhan tahun
tulisan ini dibuat, saya terkesima melihat pengurus masjid menghadapi anak-anak
ini. Mereka membuat program yang namanya Ramadhan Camp. Mereka mendidik
anak-anak sekitar masjid, mereka memfasilitasi semua kebutuhan anak-anak itu
dan menargetkan anak-anak untuk hafal satu juz. Tidak ada lagi mu’adzin yang
suka marah-marah, malah mu’adzin yang sekarang lebih ramah, pun dengan sang
imam yang suaranya sangat merdu. Pengurus juga rajin memberikan hadiah kepada
anak-anak yang ikut sholat tarawih, dan ini berdampak positif seharusnya.
Anak-anak bisa menjadikan masjid sebagai suatu tempat yang menyenangkan. Masjid
bukan lagi tempat amarah dan sumpah serapah terhadap anak-anak.
-Soni Indrayana-