contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Selasa, 06 Juni 2017

Sebelum membaca tulisan ini, saya ingin memberitahu pembaca bahwa saya hanya ingin bercerita melalui rangkaian kata-kata sederhana tentang sekelumit kisah hidup saya di masa lalu. Cerita ini serius, dan mungkin dibumbui kata-kata berbau drama, tapi saya hanya ingin manfaat bagi para pembaca. Bila ada sesuatu yang tidak berkenan, mohon untuk protes langsung ke saya, jangan bully saya di media sosial, apalagi jika itu sampai membuat saya terkenal, he…he…he… bercanda.
-------
            Pada zaman dahulu kala, puluhan purnama yang lalu, sewaktu duduk di bangku kelas 3 SD, saya dimasukkan oleh orangtua ke Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tempat saudara-saudara sepupu saya juga belajar agama. Harapannya jelas mulia, agar anaknya tumbuh beragama dan mengenal agama. Awalnya mereka berharap saya masuk MDA pada kelas 2 SD, namun apa daya, kala itu saya belum siap untuk menikah, eh sekolah MDA.

            Sebagaimana di sekolah umum, saya menjalani hari-hari awal yang berat di MDA. Jujur saja, saya adalah anak yang cengeng, sewaktu SD (sampai kelas 6 SD) saya seringkali menangis sebelum masuk sekolah, padahal saya di sekolah sangat disayang guru, apalagi saya anak yang pintar (katanya sih). Nah di MDA, saya menjalaninya dengan lebih parah. Saya menjalani hari-hari di MDA dengan perasaan takut, takut dimarahi oleh ustadz dan ustadzah yang mengajar, meskipun saya nyaris tak pernah benar-benar dimarahi.
            Ada suatu hari yang benar-benar membuat mental saya jatuh di MDA, ketika itu sebagaimana biasa kami para murid-murid yang kecil-kecil ini baru saja selesai sholat ashar berjamaah. Imam sholat, yang merupakan guru MDA berbalik dengan segera dan berteriak, “yang laki-laki sujud semua!” Beliau marah. Beliau tidak senang karena ketika sholat banyak anak-anak yang ribut dan batuk-batuk, katanya sih begitu, dan sebagian anak-anak ia anggap batuk main-main. Lalu setelah kami semua sujud, ia memukuli (maaf) pantat kami. Waktu itu saya ketakutan, padahal saya tidak pernah main-main saat sholat. Setiap kali sholat ashar saya takut, dan kejadian seperti ini pun terulang, entah sekali entah dua kali lagi.
            Saya masih ingat betul tentang mu’adzin masjid di komplek MDA yang bagi saya “jahat” kepada anak-anak. Ia sering ikut memarahi kami dengan wajahnya yang sangar, berkulit hitam dan suara yang keras. Waktu itu saya sering heran dan bergumam dalam hati, ‘ini orang siapa yak ok ikutan marah-marah?’
Saya ingat kejadian pada suatu hari, ketika itu sore jam istirahat setelah ashar, saya melihat ke dalam ke arah masjid, melihat si mu’adzin sedang membersihkan sejadah. Ia melihat ke arah saya, lalu berkata dengan keras, “apa? Apa? Apa?!” setengah menghardik.
‘Sialan memang,’ saya bergumam dalam hati. Kemudian saya pergi, dengan perasaan takut dan kesal.
            Semasa di MDA, jam sholat ashar adalah waktu yang berat untuk saya. Saya melihat jelas bagaimana teman-teman saya dimarahi, dibentak bahkan diberi kontak fisik berupa cubitan misalnya (tidak melanggar HAM kok) ketika mereka bermain-main di mesjid. Mereka tidak hanya dimarahi oleh guru, tapi juga bapak-bapak yang datang untuk sholat ashar. Belum lagi rasa takut kalau-kalau nanti dihukum semua, disuruh sujud lalu dipukul pantat.
Selama di MDA, saya sering melihat teman-teman saya yang kata mereka nakal dimarahi, ada yang dipukul rotan, ada yang dimarahi, dihukum dan sebagainya. Rasanya saya tidak pernah menerima hukuman-hukuman demikian, tapi saya tetap takut MDA. Sering bolos dan menangis agar dibolehkan untuk tidak ke MDA. Saya takut, saya takut bertemu beberapa guru yang menurut saya menghancurkan mental saya, tapi saya juga berterima kasih kepada guru-guru yang membuat saya menyayangi mereka.
Masa-masa saya bersekolah di MDA tidak lama. Tidak sampai 1,5 tahun. Saya berhenti sebelum akhir semester ganjil di kelas 2. Saya tidak mau MDA lagi. Saya tidak berani, saya takut, saya tidak suka dimarahi, dan saya tidak mau dihukum. Saya berhenti, dan sampai sekarang itu adalah salah satu rasa bersalah yang baru kali ini saya ungkapkan.
Mesjid, rumah ibadah bagi agama yang saya anut, adalah tempat yang cukup saya takuti. Kenapa? Ya kan sudah saya jelaskan, pahami saja. Saya takut dimarahi! Bukan sekali dua kali saya melihat anak-anak seumuran saya dimarahi. Itu sudah cukup membuat saya takut. MDA dan Mesjid adalah dua tempat yang saling berkaitan, dan dua tempat yang sebisa mungkin saya hindari. Kalau bisa, saya ke masjid ya hari Jum’at saja. Parah kan saya ini? Terserah deh.
Ketika mulai memasuki usia remaja, rasa takut untuk ke masjid mulai berangsur hilang. Kenapa? Karena saya merasa bukan anak kecil yang akan dimarah-marahi lagi. Masuk akal toh?
Sewaktu kuliah, saya duduk menunggu waktu adzan di suatu masjid. Di dekat saya banyak anak-anak berlarian, bermain penuh ceria. Saya tidak mengikuti mereka, saya sibuk dengan gadget. Tiba-tba sebuah suara keras menggelegar, “keluar kalian semua! Ribut aja kalian!”  Suara itu datang dari seorang pria tua. Wajahnya tampak dilukis amarah. Sorot matanya tajam. Anak-anak yang tadi bermain di masjid pun berlarian keluar.
Menyaksikan hal itu, darah saya tersirat. Jantung saya bergetar. Saya ingin marah kepada pria tua ini, tapi mungkin saatnya tidak tepat dan saya pun tidak berani. Saya hanya diam dan menggelengkan kepala. Tidak lama kemudian adzan berkumandang dan sholat dilaksanakan. Jujur, sholat saya sama sekali tidak khusyu’ karena diimami oleh pria tua yang tadi marah-marah itu.
--------
            Saya yakin, ada banyak cara agar mendidik anak belajar agama itu bisa menyenangkan tanpa harus dengan marah, hukuman, dan sebagainya. Mungkin  cara-cara ini pernah berhasil di masa lalu, ketika untuk saling berkomunikasi membutuhkan waktu berjam-jam sampai berbulan-bulan. Zaman terus berubah, manusia berubah, kehidupan berubah, dan mestinya cara mendidik pun juga ikut berubah.
            Bayangkan ketika kita memarahi, membentak bahkan sampai mengusir anak-anak yang bermain di masjid, akan membuat mereka takut dan enggan ke masjid. Dan ketika orangtua-orangtua yang biasa ke masjid ini sudah mati, siapa yang akan mengisi masjid itu lagi kalau bukan anak-anak yang pernah diusir tadi? Apakah kita sebagai sesepuh ini lebih memilih menyalahkan para orangtua yang kita anggap tidak pandai mendidik anak berperilaku santun di masjid alih-alih membuat masjid menjadi tempat yang nyaman untuk mereka?
            Saya bersyukur, bahwa apa yang saya alami ini menjadikan saya seseorang yang tidak marah ketika anak-anak bermain di masjid.  Saya bersyukur, karena saya pernah menyarankan orang untuk tidak memarahi anak-anak yang ribut di masjid. Dan yang paling saya syukuri, saya masih mau ke masjid ketika remaja dan dewasa. Mungkin semuanya adalah hikmah yang Allah berikan, agar saya bisa memberikan manfaat kepada yang lain dalam hal ini.
            Mesjid tempat saya MDA itu kini sudah berubah. Pengurus sudah berganti, bahkan bangunan mesjidnya sudah sepenuhnya baru. Tidak ada lagi saya lihat mu’adzin, imam atau pengurus yang memarah-marahi anak-anak. Kalaupun ada, itu masih dalam batas wajar yang sama sekali tidak semenakutkan era saya dulu. Pihak masjid saya lihat lebih bijak dalam menyikapi anak-anak.
            Pada Ramadhan tahun tulisan ini dibuat, saya terkesima melihat pengurus masjid menghadapi anak-anak ini. Mereka membuat program yang namanya Ramadhan Camp. Mereka mendidik anak-anak sekitar masjid, mereka memfasilitasi semua kebutuhan anak-anak itu dan menargetkan anak-anak untuk hafal satu juz. Tidak ada lagi mu’adzin yang suka marah-marah, malah mu’adzin yang sekarang lebih ramah, pun dengan sang imam yang suaranya sangat merdu. Pengurus juga rajin memberikan hadiah kepada anak-anak yang ikut sholat tarawih, dan ini berdampak positif seharusnya. Anak-anak bisa menjadikan masjid sebagai suatu tempat yang menyenangkan. Masjid bukan lagi tempat amarah dan sumpah serapah terhadap anak-anak.


-Soni Indrayana-

| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI