contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Minggu, 26 Februari 2017

“Ibu, kenapa akhir-akhir ini ayah sering telat pulang kerja?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut kecil Vira. Tidak seperti biasanya, ayahnya yang seorang dosen hampir setiap hari pulang larut malam. Vira yang begitu dekat dengan ayahnya mulai merasa kehilangan, dan bermain hanya dengan ibunya membuat Vira merasa ada sesuatu yang hilang.
“Ayah sedang punya banyak pekerjaan. Dia akan presentasi Senin besok di hadapan banyak orang,” Ibu Vira menjawab pertanyaan anaknya sambil memotong sayur-sayuran yang akan ia masak.
“Ehm, presentasi itu apa, ibu?”
Ibu Vira menghentikan pekerjaannya dan tersenyum sedangkan matanya menangkap pemandangan taman dari jendela dapur. Ia seakan lupa untuk menggunakan bahasa yang sederhana untuk memberi penjelasan kepada anaknya yang bahkan belum masuk ke sekolah dasar.
“Vira,” sapa Si Ibu sambil menunduk dan memegang kepala putrinya, “Ayah akan bicara kepada banyak orang tentang pekerjaannya, apa yang nanti mau disampaikan Ayah adalah sesuatu yang sangat penting, makanya Ayah sangat sibuk dan sering pulang malam.”
Vira mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ibunya. Ia mencoba mengerti, walau untuk anak seusianya tetap saja segala sesuatu harus tampak secara jelas.
“Siang ini Ibu akan mengantar beberapa berkas Ayah yang ketinggalan. Vira ikut ya, supaya Vira tahu tempat Ayah bekerja,” Ibu Vira senyum lagi kepada anaknya, dan tangannya sedari tadi belum beranjak dari puncak kepala anaknya.
Mendengar ajakan Ibunya, Vira sangat kegirangan. Seumur hidup ia belum pernah melihat tempat kerja ayahnya, dan momen yang akan ia rasakan sebentar lagi seakan menjadi karunia yang begitu menyenangkan hatinya.

---

            “Memangnya apa yang akan Ayah katakan besok lusa?” Vira berbicara kepada ayahnya yang sedang mengetik di notebook, namun pemandangan sekitarnya yang penuh buku-buku membuat Vira terpana. Ia sedang berada dalam ruangan ayahnya. Ia tetap di ruangan ayahnya untuk bermain dan tidak ikut pulang bersama ibunya.
            “Ayah akan berbicara tentang kamu,” jawab Ayah Vira yang langsung membungkuk sambil mencubit pipi putri kecilnya.
            “Loh? Kok aku?” Vira terheran dan menatap mata ayahnya yang bening sembari mengusap pipinya yang terasa panas.
            Ayahnya tertawa, “Vira senang gak jadi anak ayah?”
            Vira seperti bingung akan menjawab apa. Ia tampak keheranan dengan pertanyaan ayahnya. “apa selama ini Vira kelihatan gak senang, ayah?”
Ayah Vira tertawa lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah, “ayah ingin bercerita tentang keluarga ayah, dan cara ayah dan ibu mengerjakan tugas sebagai orangtua bagi Vira. Kalau Vira merasa senang jadi anak ayah, maka ayah juga berharap anak-anak yang lain juga senang dengan ayah dan ibu mereka.”
            Wajah ayahnya yang ramah membuat Vira dengan cepat paham, atau setidaknya mencoba untuk paham. Ia memeluk pinggang ayahnya yang sudah kembali bangkit berdiri.
            “Assalamu’alaykum,” ucap seorang perempuan dari balik pintu yang baru saja terbuka, “maaf pak, kami sudah menunggu Bapak.”
            Ayah Vira yang seketika itu membalikkan badan terlihat menjadi terburu-buru. “Wa’alaykumussalam. Ah, saya hampir lupa. Tunggu sebentar ya,” ucapnya dan perempuan tadi pun berlalu.
            “Vira, ayah ada keperluan mengajar sebentar. Vira tunggu di sini saja ya,” ucap Ayah Vira sambil pergi meninggalkan ruangan.
            “Siap Ayah!”

---

            Vira melihat ruangan ayahnya yang penuh dengan tumpukan buku. Ruangan ayahnya memiliki satu jendela yang berhadapan dengan pintu, di setiap sisi dinding terdapat lemari-lemari buku yang terisi penuh. Di samping rak buku di sisi kanan jendela, ada meja tempat ayahnya biasa mengetik setiap tugas. Jendela ruangan ini menghadap ke sisi barat, sehingga matahari sore mulai merambat masuk. Vira mulai merasa bosan dan ia ingin melakukan sesuatu.
            Ide Vira muncul saat ia melihat tumpukan buku yang berserakan. “Pasti ayah tidak sempat merapikan buku-buku ini,” gumamnya, “baiklah akan aku rapikan.”
            Vira mengambil setiap buku yang terletak di lantai, menyusunnya dengan rapi dan meletakkannya di rak-rak buku. Tangan dan kaki kecilnya dengan lincah bergerak kesana kemari, tidak peduli dengan letih. Terakhir, buku-buku tebal di sekitaran meja ayahnya hendak ia rapikan. Vira melihat ada satu papan yang tergantung di atas meja, dan ia mengira disanalah tempat buku-buku tebal di atas meja itu. Dengan gigih Vira memanjat meja ayahnya dan mengangkat buku-buku itu satu persatu menuju rak di atasnya. Setelah selesai dengan tugasnya, Vira turun dari meja. Ia berdiri di tengah-tengah ruangan dan merasa puas akan semua pekerjaannya.
            Tiba-tiba, Vira terkejut dengan sebuah bunyi keras yang bersumber dari ruangan itu. Ia mengalihkan pandangan ke sumber bunyi dan alangkah shock ia saat melihat rak tempat buku-buku besar di atas meja kerja ayahnya sudah jatuh dan menimpa notebook. Vira langsung berlari melihat notebook yang telah tertimpa buku itu.
            Vira tidak tahu harus berkata apa saat melihat layar notebook  itu pecah dan beberapa bagian patah. Ia berasa jatuh terhempas ke dalam sebuah lubang yang dalam dan sepi. Kedua matanya yang cokelat berkaca-kaca dan meneteskan buliran air mata.
            “Ada apa Vira?!” Ayah Vira masuk ke dalam ruangan terburu-buru, garis wajahnya menyiratkan kecemasan yang teramat sangat.  Matanya tertuju kepada Vira yang hanya terdiam di depan meja, dan langsung paham apa yang baru saja terjadi.
            “Vira mau merapikan ruangan ayah, tapi…tapi….” Jawab Vira sesenggukan.
            Ayahnya yang kini berdiri di belakang Vira membungkuk dan memeluk putri kecilnya itu dari belakang. “Vira tidak usah menangis. Ayah harus berterimakasih ke Vira karena sudah berusaha membantu ayah.” Suara Ayah Vira lirih berucap.
            “Tapi.. tapi pekerjaan ayah……..” Vira tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Tangisnya terus berderai.
            “Tidak apa-apa sayang, ayah masih menyimpan semua pekerjaan ayah di kepala. Ayah masih bisa membuatnya besok. Sekarang Vira tersenyum ya, karena Vira sudah berbuat baik kepada Ayah.”
            “Ayah tidak marah?”
            “Kenapa ayah harus marah? Memangnya Vira salah apa?” pelukan ayah semakin erat.

            Perlahan-lahan tangis Vira mulai berhenti. Ia mengusap air matanya walau belum mampu mengangkat wajahnya yang terus tertunduk sendu. Matahari kian menurun, cahayanya memerahkan seisi ruangan. Pemandangan sendu yang mengundang senyuman itu hampir membuat dua orang perempuan yang ikut bersama ayahnya menangis.




| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI