“Ibu, kenapa akhir-akhir ini ayah
sering telat pulang kerja?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari
mulut kecil Vira. Tidak seperti biasanya, ayahnya yang seorang dosen hampir
setiap hari pulang larut malam. Vira yang begitu dekat dengan ayahnya mulai
merasa kehilangan, dan bermain hanya dengan ibunya membuat Vira merasa ada
sesuatu yang hilang.
“Ayah sedang punya banyak pekerjaan.
Dia akan presentasi Senin besok di hadapan banyak orang,” Ibu Vira menjawab
pertanyaan anaknya sambil memotong sayur-sayuran yang akan ia masak.
“Ehm, presentasi itu apa, ibu?”
Ibu Vira menghentikan pekerjaannya
dan tersenyum sedangkan matanya menangkap pemandangan taman dari jendela dapur.
Ia seakan lupa untuk menggunakan bahasa yang sederhana untuk memberi penjelasan
kepada anaknya yang bahkan belum masuk ke sekolah dasar.
“Vira,” sapa Si Ibu sambil menunduk
dan memegang kepala putrinya, “Ayah akan bicara kepada banyak orang tentang
pekerjaannya, apa yang nanti mau disampaikan Ayah adalah sesuatu yang sangat
penting, makanya Ayah sangat sibuk dan sering pulang malam.”
Vira mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Ibunya. Ia mencoba mengerti, walau untuk anak seusianya tetap saja
segala sesuatu harus tampak secara jelas.
“Siang ini Ibu akan mengantar
beberapa berkas Ayah yang ketinggalan. Vira ikut ya, supaya Vira tahu tempat
Ayah bekerja,” Ibu Vira senyum lagi kepada anaknya, dan tangannya sedari tadi
belum beranjak dari puncak kepala anaknya.
Mendengar ajakan Ibunya, Vira sangat
kegirangan. Seumur hidup ia belum pernah melihat tempat kerja ayahnya, dan
momen yang akan ia rasakan sebentar lagi seakan menjadi karunia yang begitu
menyenangkan hatinya.
---
“Memangnya apa yang
akan Ayah katakan besok lusa?” Vira berbicara kepada ayahnya yang sedang
mengetik di notebook, namun pemandangan sekitarnya yang penuh buku-buku
membuat Vira terpana. Ia sedang berada dalam ruangan ayahnya. Ia tetap di
ruangan ayahnya untuk bermain dan tidak ikut pulang bersama ibunya.
“Ayah akan berbicara
tentang kamu,” jawab Ayah Vira yang langsung membungkuk sambil mencubit pipi
putri kecilnya.
“Loh? Kok aku?” Vira
terheran dan menatap mata ayahnya yang bening sembari mengusap pipinya yang
terasa panas.
Ayahnya tertawa, “Vira
senang gak jadi anak ayah?”
Vira seperti bingung
akan menjawab apa. Ia tampak keheranan dengan pertanyaan ayahnya. “apa selama
ini Vira kelihatan gak senang, ayah?”
Ayah Vira tertawa lagi, kali ini
dengan nada yang lebih rendah, “ayah ingin bercerita tentang keluarga ayah, dan
cara ayah dan ibu mengerjakan tugas sebagai orangtua bagi Vira. Kalau Vira
merasa senang jadi anak ayah, maka ayah juga berharap anak-anak yang lain juga
senang dengan ayah dan ibu mereka.”
Wajah ayahnya yang
ramah membuat Vira dengan cepat paham, atau setidaknya mencoba untuk paham. Ia
memeluk pinggang ayahnya yang sudah kembali bangkit berdiri.
“Assalamu’alaykum,”
ucap seorang perempuan dari balik pintu yang baru saja terbuka, “maaf pak, kami
sudah menunggu Bapak.”
Ayah Vira yang seketika
itu membalikkan badan terlihat menjadi terburu-buru. “Wa’alaykumussalam. Ah,
saya hampir lupa. Tunggu sebentar ya,” ucapnya dan perempuan tadi pun berlalu.
“Vira, ayah ada
keperluan mengajar sebentar. Vira tunggu di sini saja ya,” ucap Ayah Vira
sambil pergi meninggalkan ruangan.
“Siap Ayah!”
---
Vira melihat ruangan
ayahnya yang penuh dengan tumpukan buku. Ruangan ayahnya memiliki satu jendela
yang berhadapan dengan pintu, di setiap sisi dinding terdapat lemari-lemari
buku yang terisi penuh. Di samping rak buku di sisi kanan jendela, ada meja
tempat ayahnya biasa mengetik setiap tugas. Jendela ruangan ini menghadap ke
sisi barat, sehingga matahari sore mulai merambat masuk. Vira mulai merasa
bosan dan ia ingin melakukan sesuatu.
Ide Vira muncul saat ia
melihat tumpukan buku yang berserakan. “Pasti ayah tidak sempat merapikan
buku-buku ini,” gumamnya, “baiklah akan aku rapikan.”
Vira mengambil setiap
buku yang terletak di lantai, menyusunnya dengan rapi dan meletakkannya di
rak-rak buku. Tangan dan kaki kecilnya dengan lincah bergerak kesana kemari,
tidak peduli dengan letih. Terakhir, buku-buku tebal di sekitaran meja ayahnya
hendak ia rapikan. Vira melihat ada satu papan yang tergantung di atas meja,
dan ia mengira disanalah tempat buku-buku tebal di atas meja itu. Dengan gigih
Vira memanjat meja ayahnya dan mengangkat buku-buku itu satu persatu menuju rak
di atasnya. Setelah selesai dengan tugasnya, Vira turun dari meja. Ia berdiri
di tengah-tengah ruangan dan merasa puas akan semua pekerjaannya.
Tiba-tiba, Vira
terkejut dengan sebuah bunyi keras yang bersumber dari ruangan itu. Ia mengalihkan
pandangan ke sumber bunyi dan alangkah shock ia saat melihat rak tempat
buku-buku besar di atas meja kerja ayahnya sudah jatuh dan menimpa notebook.
Vira langsung berlari melihat notebook yang telah tertimpa buku itu.
Vira tidak tahu harus
berkata apa saat melihat layar notebook itu pecah dan beberapa bagian patah. Ia berasa
jatuh terhempas ke dalam sebuah lubang yang dalam dan sepi. Kedua matanya yang
cokelat berkaca-kaca dan meneteskan buliran air mata.
“Ada apa Vira?!” Ayah
Vira masuk ke dalam ruangan terburu-buru, garis wajahnya menyiratkan kecemasan
yang teramat sangat. Matanya tertuju
kepada Vira yang hanya terdiam di depan meja, dan langsung paham apa yang baru
saja terjadi.
“Vira mau merapikan
ruangan ayah, tapi…tapi….” Jawab Vira sesenggukan.
Ayahnya yang kini
berdiri di belakang Vira membungkuk dan memeluk putri kecilnya itu dari
belakang. “Vira tidak usah menangis. Ayah harus berterimakasih ke Vira karena
sudah berusaha membantu ayah.” Suara Ayah Vira lirih berucap.
“Tapi.. tapi pekerjaan
ayah……..” Vira tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Tangisnya terus berderai.
“Tidak apa-apa sayang,
ayah masih menyimpan semua pekerjaan ayah di kepala. Ayah masih bisa membuatnya
besok. Sekarang Vira tersenyum ya, karena Vira sudah berbuat baik kepada Ayah.”
“Ayah tidak marah?”
“Kenapa ayah harus
marah? Memangnya Vira salah apa?” pelukan ayah semakin erat.
Perlahan-lahan tangis
Vira mulai berhenti. Ia mengusap air matanya walau belum mampu mengangkat
wajahnya yang terus tertunduk sendu. Matahari kian menurun, cahayanya
memerahkan seisi ruangan. Pemandangan sendu yang mengundang senyuman itu hampir
membuat dua orang perempuan yang ikut bersama ayahnya menangis.