Hujan turun deras sore itu, menyembunyikan
semua udara panas yang sudah membakar negeri selama beberapa hari. Sebagaimana
biasa, hujan selalu kujadikan teman untuk bersantai dan bercengkrama dengan
kesendirian di kamar yang hanya ada aku seorang. Hujan juga adalah obat bagiku,
pelipur lara dari setiap kegundahan yang sepertinya enggan pergi dariku.
Aku benar-benar kesal pada ibuku, ia
benar-benar tidak mengerti anaknya dan tidak mau mencoba mengerti aku. Aku
sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk pergi liburan ke luar negeri,
tapi ibu selalu saja belum mau mengabulkannya, dengan alasan harus membayar
banyak keperluan lain. Tadi malam aku juga meminta hal yang sama pada ayah,
tapi jawaban ayah juga berupa penolakan, “nak, ayah masih harus bayar cicilan
mobil ayah dan mobil kakak, masih ada cicilan lain yang mesti ayah bayar. Nanti
kalau cicilan ayah sudah habis pasti ayah penuhi kemauan kamu.”
Ketidakberuntunganku belum berakhir sampai
di sana, siang ini aku ingin sekali makan di kafe Ember Bintang. Kafe itu
sedang trend di kalangan teman-temanku, mereka sering kesana walau hanya
untuk minum segelas air sambil hangout bersama-sama. Tapi aku? Tidak ada
yang berkenan mengantarku kesana, jadilah tidak ada yang bisa aku ceritakan
besok di sekolah. Hatiku siang ini benar-benar mendung, sama seperti cuaca. Aku
hanya bisa duduk di kamar mencoba menghibur diri.
Tak ada media penghibur yang lebih baik
dari ponsel pintar, pikiranku seiring dengan tanganku yang langsung menarik ponsel
dari balik bantal. Aplikasi IGE adalah tujuan pertamaku, aplikasi inilah yang
sudah memberitahuku bahwa dunia ini begitu luas dan indah, tidak sesempit
pikiranku, apalagi kamarku yang cuma berukuran sembilan meter persegi ini. Aku berselancar,
guyuran hujan di luar sana kuabaikan bunyinya. Jari jempolku terus bergeser
dari bawah ke atas, ragam foto-foto indah silih berganti memanjakan mata.
“Aduh dia lagi di luar negeri ya? Cantiknya
foto dia di Great Wall,” kalimatku keluar tiba-tiba, dan jariku kembali
menggeser laman.
“Wah ini dimana ya? Gedungnya cantik,
bentuknya seperti kapal besar yang ditopang tiga buah gedung tinggi. Pengen
banget kesini,” dadaku bergejolak, mataku membaca tulisan di sudut kiri di
bawah nama pemilik akun, “Marina Bay,” ucapku membacanya. “Ah menyebalkan, ingin
sekali pergi kesana!”
Aku mengganti destinasi selanjutnya. Aku melihat
unggahan singkat yang biasa muncul di beranda paling atas, story
namanya. Aku klik dari nama yang paling kiri, dan……………………. Ah dia sedang hangout
dengan teman-temannya, hatiku sedikit iri. Aku kemudian menggeser jari ke kiri,
melihat story dari orang lain, kali ini teman SD ku dulu sedang pergi
nonton bioskop, yah, hari ini adalah hari pertama pemutaran filmnya Tomkrus, aktor
terkenal dari Amerika. Next! Eh, kakak sepupuku ternyata sedang asyik
bermesraan! Ceritanya benar-benar membuatku baper berat, suaminya yang
tampan dan fashionable itu pria idaman semua wanita sepertinya, hobi travelling
dan mereka juga rajin kencan, terlihat dari beragamnya foto mereka berdua. Padahal
waktu liburan ke kotaku mereka sempat bertengkar, tapi syukurlah mereka masih
bisa bermesraan.
“Sayang, shalawatan bareng yuk,” kata
suami sepupuku itu dalam story nya. Duh Gusti, semoga bisa punya suami
keren begini. Gak kuat melihatnya!
Aku beralih ke story orang lain,
dan bermacam-macam yang kutemui, Ada temanku yang sedang di pesawat, sedang di
ibukota, dan…… ada yang sedang menonton konser boyband Korea! Oh Tuhan,
malang niat nasibku cuma bisa jadi penonton kisah mereka. ‘Kapan aku bisa
seperti ini, Tuhan?’ gumamku dalam hati. Di luar sana, sinar matahari enggan
bertemu, aku kembali memandang syahdu layar ponselku dengan perasaan sendu sebagaimana
langit yang kelabu, sambil terpaku aku berseru, “sedihnya diriku, dan betapa
sempurna hidupmu.”