Dengan
semangat seorang anak kecil melangkah riang sambil memikul beberapa potong kayu
di bahunya. Lidahnya tak berhenti melantunkan nada-nada lagu yang familiar di
telinga masyarakat sekitar, “Kambanglah bungo parawitan, simambang riang
ditarikan, di desa dusun ranah Minang”. Tak dihiraukannya keriuhan suasana
pasar yang selalu heboh dan penuh dengan angin jual beli. Langkahnya tetap
teguh bersama lagunya.
Derap
langkahnya terhenti seketika tatkala melewati dua orang yang saling duduk
berhadapan di sebuah teras kedai kopi, yang satu berbadan besar bulat hitam,
dan yang satunya lagi sedikit kurus dengan kepala yang mulai botak di bagian
ubun-ubun, seperti seorang professor. Di antara kedua orang itu terdapat sebuah
meja yang diatasnya terkembang papan berkotak-kotak hitam putih. Di atas papan
itu ada beberapa benda plastik yang berbentuk mainan robot, ada yang bentuknya
seperti kuda, benteng, runcing-runcing, dan ada pula yang bersalib diatasnya.
Benda-benda itu ada juga yang sudah tidak lagi berada diatas papan
berkotak-kotak.
“Macam mananya kau!” Lelaki
yang berbadan gemuk dengan suara yang keras berbicara kepada lelaki kurus di
depannya, seakan-akan menghardik. Lalu tangannya mengambil satu buah mainan
plastik tadi, mengangkatnya sedikit tinggi, kemudian ia hentakkan dengan keras
ke papan , “Skak Mat!”. Lelaki kurus hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Anak kecil itu hanya
menganga dalam keheranan dan kekaguman melihat tingkah dua orang dihadapannya,
sampai sebuah tangan menempel di bahunya “Apo nan ang caliak tu Rizal?”1. Ah, ternyata Ayahnya. “Ndak ado Yah,
mancaliak urang nan main. Antah apo tu”2
Rizal menjawab dengan cuek karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia
lihat.
Ayahnya melihat ke arah pandangan
anaknya tadi, “Oh, itu namanya permainan catur”. Rizal cuma mengangguk-angguk
mendengar penjelasan awal ayahnya yang super singkat, tapi ia cukup mengerti. ”Ah
itu mainan urang Batak, indak karajo awak do. Pulanglah lai, antakan kayu tu ka
Ibu”3 Ayahnya seakan tak peduli,
menyuruh Rizal segera pulang untuk mengantar kayu bakar kepada Ibunya sebagai
peralatan memasak.
Rizal
menyusuri jalanan pulang di tengah-tengah sawah dan pandangan yang serba hijau.
Tangan kanannya menopang beberapa bilah kayu, dan kirinya memainkan sebatang
ilalang yang ia cabut. Pikirannya masih menggantung pada permainan yang
dimainkan dua orang tadi. “Kelihatannya keren. Pemainnya aja seperti professor”
Pikir Rizal.
Rizal
tiba di rumah orangtuanya yang sangat amat sederhana, kalau tak mau disebut
reot. Rumah panggung yang terbuat dari kayu, atapnya seng karatan, dan beberapa
bagian pintu ada yang sudah lapuk karena iklim. Kalau berjalan diatas rumah
ini, niscaya bunyi decitan kayu akan sangat terasa. Rizal menuju bagian
belakang rumahnya, tempat dimana ibunya biasa memasak dengan tungku. “Ini mak
kayunya” Kata Rizal sambil meletakkan beberapa bilah kayu di dekat perapian.
Ibunya hanya melirik dengan mimik wajah tanda mengerti, lalu meneruskan
tiupannya ke arah perapian dengan menggunakan pipa bambu.
“Mak,
masak apa hari ini?” Rizal duduk bersila di dekat Ibunya yang mengaduk-aduk
makanan diatas kuali yang menghitam legam. “Alhamdulillah hari ini Amak masak rendang,
tadi dikasih dari panitia Qurban kemarin” Jawab Ibunya dengan wajah yang sangat
riang. “Yo bana mak? Alhamdulillah” Begitu bahagia Rizal mendapati kabar bahwa
ia bisa mencicipi rendang. Bagi Rizal dan keluarga, masakan dari daging adalah
sesuatu yang sangat langka.
“Mudah-mudahan bisa sering-sering makan
daging Zal. Do’akan bapakmu mudah rezekinya” nasehat Ibu kepada Rizal yang
terlihat larut dalam kebahagiaan,
“Iya mak. Aman kalau itu” Rizal
menyanggupi.
-------
Di
bawah naungan langit yang bermega merah khas petang, sudah barang tentu
anak-anak kampung nan terpencil tempat Rizal tinggal ini menuju surau untuk
melaksanakan sholat Maghrib berjamaah, dilanjutkan membaca Al-Qur’an bersama
imam atau muadzin surau.
Namun berbeda dari biasanya, kali ini
Rizal seperti terburu-buru. Selesai mengaji, ia langsung keluar dari surau,
meninggalkan teman-temannya yang bermain di pelataran surau. “Kama waang Zal?”4 seorang temannya tampak heran
“Indak kama do, ado paralu.”5 Jawab Rizal singkat dan langsung melangkahkan
kaki dengan cepat, ke arah lapau6 di
ujung jalan.
Di
lapau ujung jalan ini, kaum bapak-bapak kerap berkumpul untuk bercerita, nonton
pertandingan olahraga atau bermain domino dan catur. Catur seperti telah
bertunas lalu tumbuh dengan cepat di hati Rizal, ia seakan jatuh cinta dengan
permainan 64 kotak itu. Ingin belajar, tapi dengan siapa?
Rizal duduk di bangku lapau, nasibnya
sungguh beruntung karena memang ada dua orang lelaki yang bermain catur di
lapau. Dengan bertopang dagu ia perhatikan kedua pria yang bermain. Kehadiran
Rizal cukup menarik perhatian kedua pemain yang notabene adalah teman ayah
Rizal.
“Dengan siapa kamu kemari Zal?” Tanya
bapak berparas lembut, berkumis tipis dan berbadan kekar yang sedang bermain
“Sendiri pak.” Jawab Rizal singkat
“Lah? Ngapain kamu? Nanti ayahmu ngamuk”
Bapak itu terus melangkahkan buah catur meski intonasi suaranya melambangkan
rasa terkejut
“Liat-liat aja pak.” Mata Rizal terus
tertuju kepada permainan catur
“Bilang aja mau ikut main catur. Emang
kamu pandai?” Lawan main bapak tadi, seorang yang lebih muda menebak isi hati
Rizal dengan tepat.
“Nggak pandai.... Eh belum pandai” Rizal
menjawab dengan ragu-ragu
Kedua
orang itu terus bermain dan Rizal juga terus memerhatikan meski dalam
ketidakmengertiannya terhadap apa yang ia saksikan. “Rizal! Manga ang disiko!”7 Suara ayah membuyarkan perhatian Rizal. “Cuma
melihat ini yah” Rizal menundukkan pandangannya, tak sanggup menatap sang ayah
yang terlihat murka. “Sudah pulang sana, sebentar lagi ‘Isya.” Tidak dengan
nada yang membentak, tetapi dapat dimengerti oleh Rizal.
Dua orang yang bermain cuma saling
berpandangan dan serentak memandang ayah Rizal yang tak bersuara lagi, wajahnya
telah terlukis amarah.
Bersambung......
Catatan:
1. Apa yang
kamu lihat itu Rizal?
2. Tidak ada
Yah, melihat orang yang main. Entah apa itu
3. Ah, itu
mainan orang Batak, bukan mainan kita. Sekarang puang, antarkan kayu itu ke Ibu
4. Kemana
kamu Zal?
5. Tidak
kemana-mana. Ada perlu
6. Kedai
7. Rizal.
Mengapa kamu disini?
@soniindrayana