contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Selasa, 29 Oktober 2013


            Dengan semangat seorang anak kecil melangkah riang sambil memikul beberapa potong kayu di bahunya. Lidahnya tak berhenti melantunkan nada-nada lagu yang familiar di telinga masyarakat sekitar, “Kambanglah bungo parawitan, simambang riang ditarikan, di desa dusun ranah Minang”. Tak dihiraukannya keriuhan suasana pasar yang selalu heboh dan penuh dengan angin jual beli. Langkahnya tetap teguh bersama lagunya.
            Derap langkahnya terhenti seketika tatkala melewati dua orang yang saling duduk berhadapan di sebuah teras kedai kopi, yang satu berbadan besar bulat hitam, dan yang satunya lagi sedikit kurus dengan kepala yang mulai botak di bagian ubun-ubun, seperti seorang professor. Di antara kedua orang itu terdapat sebuah meja yang diatasnya terkembang papan berkotak-kotak hitam putih. Di atas papan itu ada beberapa benda plastik yang berbentuk mainan robot, ada yang bentuknya seperti kuda, benteng, runcing-runcing, dan ada pula yang bersalib diatasnya. Benda-benda itu ada juga yang sudah tidak lagi berada diatas papan berkotak-kotak.

“Macam mananya kau!” Lelaki yang berbadan gemuk dengan suara yang keras berbicara kepada lelaki kurus di depannya, seakan-akan menghardik. Lalu tangannya mengambil satu buah mainan plastik tadi, mengangkatnya sedikit tinggi, kemudian ia hentakkan dengan keras ke papan , “Skak Mat!”. Lelaki kurus hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Anak kecil itu hanya menganga dalam keheranan dan kekaguman melihat tingkah dua orang dihadapannya, sampai sebuah tangan menempel di bahunya “Apo nan ang caliak tu Rizal?”1. Ah, ternyata Ayahnya. “Ndak ado Yah, mancaliak urang nan main. Antah apo tu”2 Rizal menjawab dengan cuek karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia lihat.
Ayahnya melihat ke arah pandangan anaknya tadi, “Oh, itu namanya permainan catur”. Rizal cuma mengangguk-angguk mendengar penjelasan awal ayahnya yang super singkat, tapi ia cukup mengerti. ”Ah itu mainan urang Batak, indak karajo awak do. Pulanglah lai, antakan kayu tu ka Ibu”3 Ayahnya seakan tak peduli, menyuruh Rizal segera pulang untuk mengantar kayu bakar kepada Ibunya sebagai peralatan memasak.
            Rizal menyusuri jalanan pulang di tengah-tengah sawah dan pandangan yang serba hijau. Tangan kanannya menopang beberapa bilah kayu, dan kirinya memainkan sebatang ilalang yang ia cabut. Pikirannya masih menggantung pada permainan yang dimainkan dua orang tadi. “Kelihatannya keren. Pemainnya aja seperti professor” Pikir Rizal.
            Rizal tiba di rumah orangtuanya yang sangat amat sederhana, kalau tak mau disebut reot. Rumah panggung yang terbuat dari kayu, atapnya seng karatan, dan beberapa bagian pintu ada yang sudah lapuk karena iklim. Kalau berjalan diatas rumah ini, niscaya bunyi decitan kayu akan sangat terasa. Rizal menuju bagian belakang rumahnya, tempat dimana ibunya biasa memasak dengan tungku. “Ini mak kayunya” Kata Rizal sambil meletakkan beberapa bilah kayu di dekat perapian. Ibunya hanya melirik dengan mimik wajah tanda mengerti, lalu meneruskan tiupannya ke arah perapian dengan menggunakan pipa bambu.
            “Mak, masak apa hari ini?” Rizal duduk bersila di dekat Ibunya yang mengaduk-aduk makanan diatas kuali yang menghitam legam. “Alhamdulillah hari ini Amak masak rendang, tadi dikasih dari panitia Qurban kemarin” Jawab Ibunya dengan wajah yang sangat riang. “Yo bana mak? Alhamdulillah” Begitu bahagia Rizal mendapati kabar bahwa ia bisa mencicipi rendang. Bagi Rizal dan keluarga, masakan dari daging adalah sesuatu yang sangat langka.
“Mudah-mudahan bisa sering-sering makan daging Zal. Do’akan bapakmu mudah rezekinya” nasehat Ibu kepada Rizal yang terlihat larut dalam kebahagiaan,
“Iya mak. Aman kalau itu” Rizal menyanggupi.

-------

            Di bawah naungan langit yang bermega merah khas petang, sudah barang tentu anak-anak kampung nan terpencil tempat Rizal tinggal ini menuju surau untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah, dilanjutkan membaca Al-Qur’an bersama imam atau muadzin surau.
Namun berbeda dari biasanya, kali ini Rizal seperti terburu-buru. Selesai mengaji, ia langsung keluar dari surau, meninggalkan teman-temannya yang bermain di pelataran surau. “Kama waang Zal?”4 seorang temannya tampak heran
“Indak kama do, ado paralu.”5 Jawab Rizal singkat dan langsung melangkahkan kaki dengan cepat, ke arah lapau6 di ujung jalan.
            Di lapau ujung jalan ini, kaum bapak-bapak kerap berkumpul untuk bercerita, nonton pertandingan olahraga atau bermain domino dan catur. Catur seperti telah bertunas lalu tumbuh dengan cepat di hati Rizal, ia seakan jatuh cinta dengan permainan 64 kotak itu. Ingin belajar, tapi dengan siapa?
Rizal duduk di bangku lapau, nasibnya sungguh beruntung karena memang ada dua orang lelaki yang bermain catur di lapau. Dengan bertopang dagu ia perhatikan kedua pria yang bermain. Kehadiran Rizal cukup menarik perhatian kedua pemain yang notabene adalah teman ayah Rizal.
“Dengan siapa kamu kemari Zal?” Tanya bapak berparas lembut, berkumis tipis dan berbadan kekar yang sedang bermain
“Sendiri pak.” Jawab Rizal singkat
“Lah? Ngapain kamu? Nanti ayahmu ngamuk” Bapak itu terus melangkahkan buah catur meski intonasi suaranya melambangkan rasa terkejut
“Liat-liat aja pak.” Mata Rizal terus tertuju kepada permainan catur
“Bilang aja mau ikut main catur. Emang kamu pandai?” Lawan main bapak tadi, seorang yang lebih muda menebak isi hati Rizal dengan tepat.
“Nggak pandai.... Eh belum pandai” Rizal menjawab dengan ragu-ragu
            Kedua orang itu terus bermain dan Rizal juga terus memerhatikan meski dalam ketidakmengertiannya terhadap apa yang ia saksikan. “Rizal! Manga ang disiko!”7 Suara ayah membuyarkan perhatian Rizal. “Cuma melihat ini yah” Rizal menundukkan pandangannya, tak sanggup menatap sang ayah yang terlihat murka. “Sudah pulang sana, sebentar lagi ‘Isya.” Tidak dengan nada yang membentak, tetapi dapat dimengerti oleh Rizal.
Dua orang yang bermain cuma saling berpandangan dan serentak memandang ayah Rizal yang tak bersuara lagi, wajahnya telah terlukis amarah.

Bersambung...... 
Catatan:
1. Apa yang kamu lihat itu Rizal?
2. Tidak ada Yah, melihat orang yang main. Entah apa itu
3. Ah, itu mainan orang Batak, bukan mainan kita. Sekarang puang, antarkan kayu itu ke Ibu
4. Kemana kamu Zal?
5. Tidak kemana-mana. Ada perlu
6. Kedai
7. Rizal. Mengapa kamu disini?


@soniindrayana

| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI