Ketenangan, mungkin itulah salah
satu dari sedikit penghibur diriku saat ini. Secara egois aku hanya berteman
dengan udara dingin yang sejuk, yang menerpa dan mengibas-ngibaskan pakaianku.
Di atas gondola, aku melamun, seolah tak peduli pada keindahan la città
sull'acqua ini.
Masih terngiang di telingaku alunan
musik klasik orkestra pengiring opera Turandot di Teatro Regio di Torino
beberapa waktu lalu. Kemegahan bangunan, gerakan-gerakan menawan hati dari para
pemain, dan alur opera. Semua itu semakin sempurna oleh suara tenor Roberto
Aronica yang seakan mengangkatku untuk kemudian berdiri dan memberikan tepuk
tangan penuh pengaguman. Sungguh, keindahan malam itu tidak mampu kulantunkan
dengan suara dan tak mampu kugores dengan tulisan.
Namun, semua itu memiliki kecacatan
yang melukai hingga dalam dan memerih, ketika tangan selembut saljumu ada dalam
genggamannya. Dalam keadaan yang dipuaskan oleh opera itu kau berjalan
bersamanya, tanganmu kau selipkan diantara tangannya dengan erat dan intim.
Berjalan dengan anggun, wajahmu yang cerah—mungkin karena bersamanya—itu senada
dengan gaun merahmu yang berkibar angkuh, dan jas hitam mahal yang dikenakan
olehnya, melengkapi keintiman, seolah kalian berdualah Turandot dan Calàf. Aku
berusaha untuk tidak melihat ataupun melirik, walau aku yakin bahwa aku ingin
sekali menatap dan merangkulmu lagi, seperti dahulu.
-------
Aku duduk sendiri sambil bermenung
di atas panchina, memikirkan dan mengingat lagi mimpi-mimpimu yang tak mampu ku
berikan itu. Lamunanku buyar tatkala sepasang kekasih melintas di depanku
sambil bercakap-cakap, si gadis tampak masih muda, rambutnya kecoklatan
berkilau memanjang hingga nyaris menutupi punggungnya, sedangkan si pria
terlihat gagah dengan pakaian ala orang Britania berwarna hitam yang membalut
tubuhnya. Dari aksen bicara mereka, kemungkinan besar mereka adalah orang
Inggris yang ingin memadu cinta di Venesia. Tangan mereka tak renggang sedikitpun,
erat akan cinta dan kasih. Cincin di jemari mereka semakin merekatkan, melekuk
dan memeluk mereka laksana sepasang merpati di pucuk Basilica San Marco.
“Thankyou for this Rose. I love it,” ucap si gadis itu sambil memegang mawar merah, lalu ia menyandarkan
kepalanya ke bahu sang pria dengan hangatnya.
Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan itu, berucap dalam hati, “I should have bought you flowers and held your hand.” Mereka pun semakin hilang dalam kejauhan. Ini akhir Februari, musim semi akan segera tiba, bunga-bunga akan merekah dengan permai, walau bagiku hanya musim gugur yang terasa sepanjang tahun.
Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan itu, berucap dalam hati, “I should have bought you flowers and held your hand.” Mereka pun semakin hilang dalam kejauhan. Ini akhir Februari, musim semi akan segera tiba, bunga-bunga akan merekah dengan permai, walau bagiku hanya musim gugur yang terasa sepanjang tahun.
Pemain-pemain gitar di Piazza San
Marco memainkan lagu-lagu klasik nan romantis, sampai pada sebuah lagu
‘something’ yang merupakan lagu favoritmu, lagu yang dulu selalu aku nyanyikan
di sisimu, walau suaraku tidaklah seindah yang kau inginkan. Aku teringat
dahulu, saat-saat kita berdua layaknya mereka. Berbagi kasih dalam bahtera asa,
di atas rasa saling sayang dan janji untuk selamanya bersama. Tapi ya sudahlah,
itu hanya tinggal cerita. Ingin segera kulupakan dan kuhapus dari istana
memoriku.
Aku mengakhiri penyendirianku di
atas panchina, menyudikan kakiku untuk melangkah kembali menyusuri serambi dan
kembali ke atas gondola. Sambil kuserakkan remahan roti dari saku mantelku
untuk para merpati, yang semoga selamanya di sini hingga akhir waktu.
-------
Gondola yang kutumpangi mulai
mengarungi kanal, bersama siulan lagu klasik dari si pengemudi. Aku merebahkan
punggung di sandaran yang berwarna merah maron, hingga tiba dibawah Ponte dei
Sospiri, aku memejamkan mata. Kembali, teringat akan hal itu bahwa dahulu
engkau utarakan keinginanmu mengecupku di sini, di bawah Bridge of Sighs nan
melegenda dengan dekorasi senja yang kudus.
Aku tahu sebentar lagi harapanmu itu
akan terwujud, setelah terlebih dahulu kulewati jembatan ini. Bersama dia yang
mengikatmu dengan kesucian, yang akan memberikan segenap waktunya padamu, yang
akan berdansa bersamamu di ristoranto, yang akan bernyanyi lagu ‘something’
untukmu, yang akan memberimu bunga, yang akan menggenggam erat tanganmu dan
tentu yang akan mengecup bibirmu, di sini, di tempat yang seperti mitos para
penduduk, akan membuat engkau dan dia selamanya bersama. Per sempre insieme!
Bagus, alurnya udah jelas, cuman kesedihannya menggantung
Gantung bagaimana?
dramatisnya masih kurang, lokasi dicerita awalpun samar, entah itu dikanal torino atau venesia. tapi selebih cukup bagus.
Baiklah . . terimakasih dan silahkan kemukakan ide ide baru