contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 09 November 2015

Seekor kuda yang berlari kencang menerbangkan debu-debu dengan setiap hentakan kakinya. Pemuda penunggang kuda jantan coklat itu mengeluarkan suara aba-aba yang mendorong kudanya untuk terus berlari dengan cepat. Sesekali ia pukulkan tangannya ke badan kuda sambil berteriak memberi komando dan menyusuri jalanan yang ramai,di punggungnya juga terikat beberapa batang kayu-kayu kecil yang biasa digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak.
“Hendak kemana Engkau, Nan Tongga!” teriak salah seorang pria di tepi jalan.Pria itu pada mulanya sedang asyik menonton beberapa wanita yang tengah menenun songket.
“Ah tidak kemana-mana, hanya mencari kayu bakar, Malin” jawab si Penunggang kuda dengan santai.
“Oh kalau begitu segeralah pulang, barangkali Ibumu Suto Suri sudah menunggu,” Malin Cik Ameh, pria di tepi jalan itu, mempersilahkan sambil menjadikan tangannya isyarat yang memperkenankan lawan bicaranya pergi.
“Baiklah, terimakasih Malin, wassalamu’alaikum.” Kuda kembali berlari kencang.

Anggun Nan Tongga, si penunggang kuda, adalah seorang pemuda yang masyhur namanya bagi masyarakat di Pariaman. Sosoknya yang tampan, bersahaja, penuh sopan santun dan didukungberbagai keterampilan yang dikuasai seperti berkuda, bersilat dan mengaji, menjadikannya kesenangan banyak orang, serta acapkali diharap setiap orangtua untuk dijadikan menantu. Ia disebut-sebut sebagai lelaki yang nyaris sempurna.
Suto Suri bukanlah ibu kandung Anggun Nan Tongga, aslinya Suto Suri adalah bibi dari Nan Tongga. Ibu kandung Nan Tongga adalah Ganto Pamai, seorang wanita cantik yang wafat kala melahirkan Nan Tongga, sedangkan sang Ayah hilang tak tahu rimbanya kala memutuskan bertarak ke gunung Ledang, di Johor. Ketiga orang pamannya,Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intanhilang dan diberitakan ditawan oleh bajak laut di Pulau Binuang Sati. Jadilah sedari bayi Nan Tongga diasuh oleh Suto Suri.
-------
            “Apakah engkau benar-benar ingin mengikuti sayembara dari Nangkodoh Baha yang sedang mencari istri bagi Intan Koro, adiknya itu?” Suto Suri dengan wajah yang sendu menatap Nan Tongga dengan dalam. Wajahnya telah keriput dimakan usia dan kepala yang tertutup songkok telah ditumbuhi rambut putih, namun kebijaksanaan sebagai wanita yang berumur sudah semakin matang.
            “Mandeh, restuliah aku untuk mengikutinya. Nangkodoh Baha dari Sungai Garinggiang itu seorang yang ternama, ia sangat terkenal dan adiknya si Intan Koro adalah seorang wanita yang diketahui sangat cantik. Tidakkah kau mengizinkanku?” Nan Tongga menggenggam tangan Suto Suri yang sudah keriput dan menatap lekat matanya.
            “Sayangku, ketahuilah bahwa urang-urang tuo alah menjodohkanmu dengan Gondan Gondoriah. Apakah ia kalah cantik dari Intan Koro?” Suto Suri mengingatkan Nan Tongga akan Gondoriah. Seorang gadis cantik yang telah dipasangkan dengan Nan Tongga.
            Mendengar nama Gondoriah, Nan Tongga langsung terdiam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Suto Suri. Hati kecilnya sangat menyukai Gondoriah yang sebenarnya juga masih memiliki hubungan keluarga dengannya, namun di sisi lain sayembara dari Nangkodo Baha adalah barang langka.
            Belum selesai hati Nan Tongga berkecamuk, Suto Suri membelai kepala Nan Tongga lalu berkata, “tapi jika memang itu keputusanmu, ikutilah! Lakukanlah! Aku merestuimu.”
Mata Nan Tongga Berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan Suto Suri dengan takzim. Ia segera menyiapkan diri untuk mengikuti sayembara Nangkodoh Baha.
Di hari sayembara, Nan Tongga menjadi pemuda yang gilang gemilang. Ia memenangi setiap permainan yang diperlombakan, memanah, adu ayam, pencak silat dan permainan catur.  Nan Tongga girang bukan main, ia sudah tak sabar menanti hadiah dari perlombaan itu, Intan Koro.
Nangkodoh Baha melangkah mendekati Nan Tongga. Tidak ada senyum ataupun rona kebanggaan yang terlukis di wajahnya. Ia menatap lekat mata Nan Tongga, tangan kanannya ia letakkan di bahu kiri Nan Tongga kemudian ia tersenyum penuh penghinaan.
“Kau memenangkan semua tantangan yang kuberikan. Apakah karena itu kau memiliki alasan untuk memiliki adikku?” Ucap Nangkodoh Baha kepada Nan Tongga. Ia kemudian menarik tangannya dan berjalan mondar mandir sambil mengelus-elus janggut panjangnya di depan Nan Tongga yang seketika itu kehilangan kegembiraan dan kini diselimuti keraguan.
“Bagaimana mungkin engkau dapat dikatakan hebat kalau pamanmu yang ditawan bajak laut itu tidak mampu kau selamatkan?” Teriak Nangkodoh Baha di hadapan Nan Tongga.
Semua orang yang ada di sekitar mereka terdiam terpaku, pun begitu dengan Nan Tongga. Ia tidak bisa lagi menjawab, hatinya yang pilu mengunci mulutnya. Ia sebenarnya tegar dari rasa hina yang ia terima. Ia mengangguk dan langsung berjalan dengan cepat meninggalkan Nangkodoh Baha. Ia berjalan pulang sambil beritikad di dalam hati, ‘akan kuselamatkan ketiga orang pamanku!’
Bersambung ke - Janji Nan Tongga
                                                              
                                                           -Soni Indrayana-

| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI