Sambungan dari Janji Nan Tongga
Di Pulau Ranggeh Suri….
Sesampainya pada tujuan, Nan Tongga
menyaksikan sebuah negeri yang indah, menghijau batang kelapa dibaur dengan
membiru bukit barisan. Ia takjub bukan main. Menghampir seorang pedagang
kepadanya, menjajakan bahan pangan yang barangkali bisa berguna.
“Permisi ambo batanyo. Saya baru pertama kali ke negeri ini. Rancak bukan alang-alang, ramai tampak
dari jauh, siapa nama raja di sini?” Tanya Nan Tongga kepada pedagang itu.
Pedagang itu memerhatikan Nan Tongga
yang muda lagi mentah, dan berpenampilan layaknya seorang bangsawan. Rasa segan
datang singgah menghampiri. “Kalau Engkau
seorang sultan, kami akan persultan, kalau Engkau raja maka ampuni kami. Pulau
ini bernama Ranggeh Suri, di bawah perintah Katik Intan yang bergelar Tuanku
Jangguik Panjang,” pedagang itu menjelaskan dengan santun seperti pantun
sebagaimana orang-orang di negeri itu. Ia kemudian melanjutkan, “Pulau Ranggeh
Suri berada di bawah naungan Koto Tanau yang dipimpin Patih Mangkudun, yang bernama
asli Mangkudun Sati.”
Terkejut Anggun Nan Tongga. Darahnya
mengalir dengan cepat. Ia temukan apa yang dicari, ia dapat apa yang disalami,
kiranya kedua pamannya selamat bahkan menjadi pemimpin di negeri orang. Berbeda
nasib dengan Nangkodoh Rajo. Nan Tongga menuturkan maksud langkah kakinya ke
Koto Tanau untuk berguru lalu pedagang itu mengangguk-angguk sambil
mengingat-ingat sesuatu.
“Ada satu hal lagi duhai Tuanku,
putri raja kami, Andami Sutan, sangatlah masyhur dengan kecantikannya. Selain
itu, ia memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara, bijak sebagaimana
manusia,” tambah si Pedagang dengan tiba-tiba.
Semakin terkejut Nan Tongga. Apa
yang ia cari segera dapat, tak tanggung sekali dua kan segera diraih. Terngiang
semua tentang Gondoriah dalam batinnya, rasa rindu mulai membuncah setelah puluhan
hari meninggalkan Pariaman.Segera pulang memang keinginan, namun cinta atas
nama keluarga pun tidak kalah penting. Segera Anggun Nan Tonggamempersiapkan
diri menemui Katik Intan, pamannya yang kini telah menjadi orang nomor satu di
Pulau Ranggeh Suri.
Anggun Nan Tongga berjalan diiringi
beberapa orang pemandu menuju surau Tuanku Jangguik Panjang. Ia membawa syarat
dan rukun setempat yang biasa digunakan untuk berguru. Negeri itu adalah negeri
yang ramai dan damai, Nan Tongga berjalan menuju surau danorang-orang yang
melihat tercengang karena penampilan Nan Tongga yang seperti seorang sultan
atau raja.
Tuanku Jangguik Panjang duduk
menanti di mihrabnya. Pakaiannya serba putih dengan sorban yang membungkus
kepalanya. Janggutnya bergoyang-goyang dihembus angin sepoi-sepoi. Bibirnya
komat-kamit seperti melantunkan dzikir.
Di hadapan Tuanku Jangguik Panjang,
Anggun Nan Tongga dengan takzim bersikap. Gerakan tubuhnya sangat pelan dan
sabar, berbeda dengan hatinya yang sudah melimpah dengan tanda Tanya.
“Maksud ambo mencari Tuan Guru adalah karena niat belajar dan berguru. Setelah
hari berganti hari, hari berselisih bulan barulah sayasampai disini. Niat
hendak belajar dengan Tuan Guru, karena Tuan tersebut di khalayak, murid sudah
banyak yang khatam, sedangkan saya yang belum. Tapi daripada itu, saya pun
mendengar kabar bahwa Tuan Guru berasal dari Pariaman, izinkan saya bertanya,
tapi janganlah Tuan salah sangka karena apa yang saya katakan. Saya orang
Pariaman, satu asal dengan Tuan Guru, entah kita berdekat kampung, entah kita
bertali-tali, cobalah terangkan kepada saya wahai Tuan Guru.”
Panjang kata-kata Anggun Nan Tongga,
Tuanku Jangguik Panjang telah terkejut dan terpana. Darahnya seolah berkumpul
di dada dan membeku.
Tuanku Jangguik Panjang mengambil
napas yang dalam terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Sudah lama, dan sejak
muda saya di sini. Tapi belumlah pernah ada yang datang dari Pariaman,”
berhenti kata-kata Tuanku Jangguik Panjang. Tangannya mengelus-elus janggutnya
yang panjang dengan penuh wibawa. Tuanku Jangguik Panjang menelan ludah, ia
bersiap melanjutkan kalimatnya. “Kami berlima bersaudara. Tiga orang laki-laki
dan dua orang perempuan. Laki-laki yang paling tua bernama Mangkudun Sati, yang
di tengah Nangkodoh Rajo dan yang paling kecil Katik Intan. Adik perempuan
tertua bernama Ganto Pamai dan yang terkecil bernama Suto Suri. Ganto Pamai
telah memiliki seorang suami yang bergelar Tuanku Haji Mudo yang bertarak ke gunung
Ledang. Nangkodoh Rajo saat itu telah beristri dan memiliki seorang anak
perempuan bernama Gondan Gondoriah yang baru berusia beberapa minggu saat kami
tinggalkan.”
Anggun Nan Tongga dengan seksama
mendengarkan penjelasan dari Tuanku Jangguik Panjang. Ia tidak memberikan
sepatah katapun. Hanya diam, tapi hatinya telah yakin kemana akhir dari
pembicaraan ini.
Tuanku Jangguik Panjang melanjutkan,
“pada suatu hari kami yang bertiga laki-laki pergi merantau mencari rezeki ke
negeri orang. Lama merantau, rezeki tak banyak diraih hingga kami memutuskan
pulang kembali ke Pariaman. Sayang, di perjalanan, tepatnya di Pulau Binuang
Sati, kami bertemu perompak. Mereka merampas semua barang bawaan kami, dan
Nangkodoh Rajo berhasil ditangkap. Mangkudun Sati dan Katik Intan melarikan
diri, hingga sampailah di negeri ini. Sedangkan Nangkodoh Rajo tak kami ketahui
nasibnya hingga saat ini, apakah ia hidup ataukan mati. Kamipun tak pernah tahu
bagaimana kabar orang-orang di kampung. Sedang sebelum kami pergi merantau,
titip pesan kami kepada Ganto Pamai yang tengah hamil tua, kalaulah beranak
perempuan, namai ia dengan nama yang elok, dan kalaulah beranak laki-laki,
namailah ia Anggun Nan Tongga. Selanjutnya tak ada lagi yang diketahui. Pesan
tak kunjung sampai, berita tak kunjung datang.” Terdiam selanjutnya semua
orang. Sedangkan Anggun Nan Tongga, matanya telah memerah dan basah.
“Ampunkan saya wahai Paman. Sayalah
Nan Tongga itu. Anak Ganto Pamai yang juga keponakan Paman.” Tangis haru tak
tertahankan. Paman dan keponakan tengah bersatu dalam haru kebahagiaan.
Orang-orang yang menyaksikan tak tahan menahan tangis.
Dalam keharuan itu, Anggun Nan
Tongga mencoba mengendalikan emosinya. Ia berkata kepada Tuanku Jangguik
Panjang, “mengenai Nangkodoh Rajo, beliau selamat di pulau Binuang Sati. Palimo
Bajai selaku pemimpin perompak telah saya kalahkan. Beliau, Nangkodoh Rajo,
kini telah sehat dan selamat di sana. Menanti segala kabar yang akan datang.”
Mendengar semua itu, senanglah hati
Tuanku Jangguik Panjang. Lepas sudah segala kerinduan yang terpendam, lenyap
pula beban di hidup selama ini. Kemudian Anggun Nan Tongga diperlakukan dengan
penuh hormat dan diberikan tempat beristirahat.
Di Pariaman…….
Gondoriah menangis sejadi-jadinya.
Air matanya tidak berhenti menetes dan suaranya telah parau. Hatinya remuk
redam bagai tempurung yang telah menjadi abu. Ia masih tidak percaya, pria
kecintaannya, Anggun Nan Tongga dikabarkan telah tiada. Ya, begitulah berita
yang dibawa Cik Malin sepulangnya dari Pulau Binuang Sati.
Sedangkan Suto Suri, meskipun
mencoba tegar, air matanya tetap mengalir. Ia tdak bersuara, hatinya berlatih
ikhlas dengan cepat. Orang-orang kampung juga tidak kalah berduka, kehilangan
sosok pemuda yang begitu dicintai karena kesolehan, kecerdasan dan keberaniannya.
Bersambung . . . . . .