Matahari bersinar cerah seiring dengan langkah insan yang bertebaran
di muka bumi. Walau panas menyengat, hembusan angin ringan membuat para
dedaunan bergerak riang dalam damai. Di sekitarnya, beberapa pedagang gerobak menjajakan makanan demi sesuap
makanan pula bagi diri mereka, sesekali pengendara sepeda motor ataupun mobil
melintasi jalanan. Derap langkah cepat bersama menghentak aspal jalanan yang
sepi dan memang selalu sepi.
“Syifa! Tunggu, kita makan
dulu yuk!” ucap Fatma memanggil Syifa yang berjalan lebih dulu beberapa langkah
darinya.
“Enggak usah, Fat, aku belum lapar. Kamu saja yang makan
kalau memang sudah lapar. Aku nanti makan di rumah.” Gadis yang satunya itu
menolak dengan halus disertai lakaran senyum di bibirnya.
“Hmm ... kalau begitu tidak usah, Syif, tapi kita beli air kelapa muda yang
di dekat rumah kamu saja.”
“Wah kalau itu boleh, Fat. Kebetulan aku lumayan haus.”
Mereka melangkahkan kaki menuju pedagang kelapa muda
yang letaknya di dekat persimpangan jalan, tidak jauh dari rumah Syifa
“Kalian anak-anak di sini, ya?” Seorang pemuda yang
tengah menikmati kelapa muda tiba-tiba bertanya kepada Syifa dan Fatma. Pemuda itu
berperawakan layaknya seorang mahasiswa, memakai kemeja lengan pendek berwarna
merah, bahunya cukup lebar, suaranya lembut untuk ukuran laki-laki.
“Iya, Kak. Kenapa, Kak?” Syifa menjawab pertanyaan
mendadak itu disertai rasa heran
“Oh, tidak apa-apa. Kakak orang baru disini. Kamu anak Pak Ardi,
“Lho? Kok kakak tahu?” Syifa semakin heran
“Tahu, dong! Kakak tinggal di sebelah rumah kamu. Kakak keponakannya Pak Fendi,
baru pindah dari Bukittinggi.”
“Bukan itunya, Kak, maksud aku kenapa kakak bisa tahu
nama kami, aku anak siapa dan di mana aku tinggal?”
“Kalau cuma nama, kan, ada di seragam kalian. Hahaha.
Kalau soal yang lain, tentu kakak tahu. Kakak, kan, paranormal.” Pemuda itu tertawa
terbahak-bahak. Tak jauh, Pak Dedi si pedagang kelapa muda melirik sambil
tersenyum lebar melihat tingkah si pemuda.
“Ha?” Syifa semakin heran dengan pria di hadapannya.
“Bukan-bukan. Tadi kakak berkunjung ke rumah kamu, lalu
kakak melihat foto kamu di ruang tamu. Makanya kakak tahu.” Si Pemuda menjelaskan
pengetahuannya langsung setelah melihat wajah Syifa semakin terheran.
“Oh. bilang dong, kak, dari tadi. Jadinya, kan, gak bikin
bingung.”
Sementara Syifa dan pemuda asyik berinteraksi, Fatma
hanya bingung dengan apa yang ia hadapi, ia hanya meneguk air kelapa mudanya.
“Berapa, Pak? Sekalian sama anak berdua ini, ya.” Pemuda itu
beranjak menuju Pak Dedi dan membayarkan Syifa dan Fatma.
“Gak usah kak, gak usah.” Syifa mencoba melarang
pemuda itu.
“Tidak apa-apa, anggap aja salam perkenalan. Kalau cuma
kenalan siapa namamu udah basi.” Si pemuda tak mengindahkan larangan Syifa, ia
langsung beranjak menuju motornya. “Oh, ya, nama kakak Firman. Salam buat
orangtua kamu,” lanjutnya.
“Eh iya, terima kasih banyak, Kak.” Syifa dan Fatma hanya
terheran melihat tingkah pemuda itu. Terkesan lancang dan semaunya, tapi, ya,
sudahlah, pikir Syifa.
“Aku pulang, ya, Syif.” Fatma berpamitan.
“Iya, Fat, hati-hati, ya.”
----------------------------------
“Assalamualaikum.”
Langkah kaki kanan Syifa memasuki rumahnya.
“Wa’alaikumussalam,” sahut Ibunya. Segera Syifa menyalami dan mencium
tangan sang ibunda. Itulah kebiasaan yang seolah sudah menjadi kebutuhan bagi
anak pertama dari dua bersaudara ini. Ia selalu mencium tangan kedua orangtuanya ketika hendak meninggalkan
rumah dan menyalaminya kembali ketika pulang.
Ibundanya mengelus
rambut hitam berkilau Syifa, “Sudah
“Iya, Ma,” balas Syifa dengan senyum sambil bergerak menuju
kamarnya.
Syifa mengganti
pakaian seragam sekolahnya, kemudian mengambil air wudu dan mengembangkan
sajadah. Ia hadapkan wajahnya ke arah kiblat disertai takbir “Allahu akbar” memberikan ruhaninya kedekatan kepada Yang Maha
Menciptakan.