contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Minggu, 06 November 2022

 

“Subhanallah.” Papa sontak terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih bersih, matanya menusuk hati dan gerakannya memesona.

 

            “Ma, di rumah sebelah ada penghuni baru, ya? Tadi Syifa ketemu dia waktu pulang sekolah dengan Fatma di tempat Pak Dedi.” Syifa menanyakan tentang Firman pada ibundanya.

“Kenapa memangnya, Syifa? Iya, dia keponakan pak Fendi.” Ibunya menjawab dengan santai sambil memotong buah mangga di tangannya.

“Dia juga bayarkan minuman Syifa dengan Fatma.”

“Ya, syukur alhamdulillah kalau gitu.” Ibu Syifa terus mengupas kulit mangga, kemudian memotong daging buah itu dan meletakkannya di piring.

“Tapi herannya dia melihat Syifa lebih sering daripada Fatma. Setiap berbicara tatapannya selalu mengarah ke Syifa.” Syifa bercerita sambil tersenyum dan tersipu, rona wajahnya mulai memerah,dia juga ganteng.

 “Jadi kalau dia menatap kamu terus kamu merasa cantik?”

“Ya, bukan begitu, Ma, tapi aneh saja rasanya ditatap dengan tatapan seperti itu.” Syifa mencoba membela dengan halus.

“Bukan perkara ditatapnya Syifa, tatapan yang begitu kurang baik, apalagi lelaki itu belum terlalu mengenalmu.” Ibunya tersenyum.

“Menurut aku sih wajar untuk seusia aku. Bahkan teman-teman aku sudah ada yang pacaran.” Syifa menjawab dengan memaparkan fakta disekitar lingkungannya. “Mama juga pernah muda, kan?”

Ibu Syifa terus sabar dalam menghadapi anaknya yang mulai mengenal lawan jenis. “Syifa, seusia kamu jatuh cinta itu memang wajar. Mama juga pernah merasakan itu. Tapi bukan berarti boleh melampiaskan rasa itu dengan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Berhubungan dengan lawan jenis itu boleh, tetapi ada aturannya. Tidak dengan sesuka hati seperti yang kamu lihat di sekitar kamu.”

Tangan Syifa mengambil sepotong buah mangga berwarna oren kemerahan, menyuapkan ke mulutnya yang masih berasa pedas karena masakan ibunya.

 

----------

 

            “Mungkin sudah saatnya kamu pakai kerudung.” Suara berat ala Papa Syifa dengan halus merayu anaknya agar segera mulai berkerudung.

“Kamu sudah dewasa, kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Syifa mengerinyitkan alisnya. “Tapi Syifa belum siap, Pa. Belum siap. Jadi ….”

Pakai kerudung tidak mesti menunggu siap atau tidak siap, sayang.” Ibu mengelus rambut hitam Syifa yang hitam legam sampai ke punggung. Selama ini Syifa memang tidak pernah dipaksakan oleh orangtuanya untuk berkerudung, sehingga ketika hal itu diperintahkan, terasa olehnya sebagai sesuatu yang aneh.

            “Kalau bukan sekarang, kapan lagi Syifa mau pakai kerudung? Kan sudah dewasa, tidak baik kalau menunda-nunda.” Papa Syifa terus melobi dengan suaranya yang berat tapi rendah.

“Syifa belum siap, Pa.” Syifa terus menolak.

“Belum siapnya di mana, sayang?” Papanya belum menyerah.

“Ya Syifa belum ada keinginan untuk itu, teman-teman juga masih ada yang belum berkerudung.

“Fatma saja sudah, kamu kapan, Syifa? Tidak baik menunda-nunda. Berkerudung itu suatu kewajiban bagi setiap muslimah.” Papa mulai mengerinyitkan dahinya.Dengan kamu mulai memakainya, lama-kelamaan kamu akan siap. Tidak mesti menunggu siap.”

            Syifa hanya terdiam, ia tetap menolak dari hatinya untuk menggunakan kerudung. Disaat remaja seusianya masih asyik mengeksiskan diri dengan kecantikan, ia merasa kerudung akan membuat penampilannya terganggu, baginya, mengekspresikan diri bagi seorang remaja adalah hal yang wajar, semua orang pernah muda.

“Pokoknya Syifa belum siap.” Syifa tetap saja berkeras hati dengan sikapnya.

“Mati juga tidak akan bertanya kamu belum siap atau tidak.” Papa Syifa mulai berkeruh hati menghadapi anak perempuannya. Sementara mama Syifa menggelengkan kepala pertanda isyarat kepada Papa agar menghentikan pembahasan kerudung, sebelum suasana menjadi panas.

“Ya sudah kalau belum siap, tak apa-apa. Mungkin kamu bisa pelajari dahulu.” Mama Syifa memilih mundur untuk pembicaraan saat ini, terlalu gegabah memaksakan langsung kepada Syifa yang sifatnya sedikit keras kepala.

            Sikap Syifa berbeda dengan adik laki-lakinya, Dira. Dira cenderung lebih penurut dan tidak suka membantah. Ia terkesan tenang dan lebih banyak diam meski terkadang gaya bicaranya seperti orangtua.

“Kalau tidak mau, ya sudah. Jangan seperti itu wajahnya. Jelek.” Dira menyindir Syifa tanpa melihat sedikit pun, matanya asyik membaca tulisan-tulisan di buku yang ia baca.  

“Kamu diam saja. Tidak usah ikut campur.” Syifa yang kesal mulai memarahi adiknya.

“Sudah cukup. Tidak usah dibahas!” Suara mama mendiamkan semuanya, sepakat untuk tidak membahas masalah kerudung lagi, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan.

 

---------------

 

            “Harus sabar, Pa, jangan buru-buru. Papa tahu Syifa anak yang keras. semakin kita keras dia akan semakin keras pula. Lebih baik kita sabar. Insyaallah nanti hatinya akan terbuka.” Mama Syifa memberitahu Papa ketika mereka tinggal berdua, disaat semua telah tertidur lelap.

“Mama benar, semua butuh proses, hanya saja tidak baik berlama-lama. Dia sudah dewasa. Mungkin ini salah kita juga yang tidak membiasakannya sejak dahulu.”

Mama yang pembawaan selalu lembut tersenyum pada suaminya, merebahkan badannya di ranjang, menutup hari yang lelah.

 

--------------

 

Keesokan harinya di sekolah

            Fatma adalah yang paling dekat dengan Syifa, bisa dibilang sahabat terbaiknya. Fatma sebagai tempat mencurahkan segala cerita setelah keluarganya. Berbeda dengan Syifa, Fatma telah berkerudung sedari menduduki bangku SMP, ia tak pernah melepas kerudungnyanya dan selalu menjaga pandangannya kepada lawan jenis.

            “Fat, tadi malam orangtuaku menyuruh aku pakai kerudung.” Syifa membuka cerita di kelas ketika jam istirahat.

“Ya, bagus itu, Syif. Kamu kan sudah dewasa.”

“Yah … kamu sama saja dengan mereka.” Syifa sedikit kecewa mendengar tangapan dari sahabatnya itu.

Tapi kenapa kamu sejak dulu selalu berkerudung? Karena orangtuamu memaksa?” Syifa menyelidik.

“Enggaklah, Syif, aku pakai karena kesadaran aku. Bahkan orangtua aku tidak pernah memaksakan. Bagi aku berkerudung itu sebagai identitas seorang muslimah.” Penjelasan yang sederhana dari Fatma membuat Syifa hanya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi hatinya belum tergugah untuk berkerudung pula.

“Berkerudunglah Syif, nanti asyik, kok. Manfaatnya banyak,rayuan coba diutarakan Fatma pada Syifa, berharap sahabatnya mau mendengarkan.

“Iya, Fat, tapi mungkin bukan sekarang. Aku masih belum siap sepenuhnya.”

“Perlahan-lahan saja, Syif. mungkin setiap hari jumat kamu bisa pakai, semuanya butuh proses.”

Ajakan Fatma kali ini sedikit menggoyahkan Syifa, mungkin ada baiknya ia mencoba, pikirnya.

“Boleh juga, Fat, besok aku coba. Tapi nanti komentar orang pasti aneh. Syifa lagi-lagi ragu.

“Jangan dengarkan kata orang selagi yang kamu lakukan benar.

Syifa mengangguk-angguk mendengar omongan Fatma. Timbul rencana dalam hatinya untuk berkerudung, minimal mencobanya hari jumat esok.

 

-----------

 

Di hari Jumat ...

            Subhanallah ....” Papa sontak terkejut saat seorang gadis menuruni tangga dengan anggunnya, wajahnya putih bersih, matanya menusuk hati, dan gerakannya memesona. Tapi bukan itu yang membuat papa terkejut, melainkan kerudung yang menutupi kepalanya.

Ada apa ini?” Papa bertanya kepada anaknya itu.

“Gak ada apa-apa, Pa. Cuma mau mencoba saja. Lagi pula ini hari jumat,” jawab Syifa dengan cuek.

“Oh, begitu. Syukurlah kalau memang Syifa mau mencobanya. Mudah-mudahan berkelanjutan.”

“Begitu, kan, cantik, sayang.” Mama memuji Syifa sambil membelai kepala sang anak.

“Tapi Syifa belum siap untuk setiap saat memakainya.”

“Iya, tidak apa sayang, yang penting kamu mau mencobanya. Perlahan-lahan saja. Yaudah, sarapan sana.” Mama memerintah dengan lembut.

            Selesai, sarapan Syifa dan Dira berangkat ke sekolah diantar oleh pak Imran, tetapi biasanya ketika pulang Syifa lebih memilih berjalan kaki bersama Fatma, mengingat jarak antara sekolah dan rumahnya yang tidak jauh. Hati Syifa penasaran, komentar apa yang akan diberikan teman-temannya ketika melihat penampilan dirinya yang berbeda untuk pertama kali.

 

Di sekolah …

            Kaki Syifa melangkah menyusuri jalan menuju kelasnya, hatinya bertanya-tanya apakah ada orang yang melihatnya dengan aneh. Sesampainya di depan pintu kelas berwarna cokelat tua …., “Cieeeee …. ada yang berbeda hari ini.” Fatma mengejutkan. Seisi kelas tersenyum dan berkata hal yang sama dengan Fatma. Syifa berusaha menahan senyum, berjalan menuju mejanya di baris pertama tepat di depan meja guru.

“Kalau begitu kamu, kan, cantik, Syif.” Fatma sedikit tertawa mengucapkannya.

“Jelek, ya?” Syifa tidak percaya diri.

Cantik banget malah, Syif. Biasanya yang pakai kerudung itu cantik-cantik orangnya.” Fatma menyemangati perubahan Syifa. Syifa hanya tersenyum tipis.

            Bel berbunyi, rutinitas setiap hari jumat, sekolah mengadakan acara imtaq, singkatan dari iman dan taqwa, sebagai acara rohani bagi siswa-siswi yang beragama Islam. Syifa dan Fatma duduk di barisan paling depan. Hari ini kelas yang bertugas mengisi acara adalah kelas X-A.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh ....” Salam diucap oleh dua orang protokol ketika memulai dan menutup acara.

“Fat, yang jadi protokol itu siapa, ya?” Tiba-tiba, timbul rasa ingin tahu Syifa terhadap seorang protokol dalam acara imtaq yang baru saja selesai saat kembali menuju kelas.

“Protokol yang mana, Syif? Ada dua.

“Protokol yang di sebelah kanan, Fat.

“Sebelah kanan mana? Kalau di sebelah kananku berarti sebelah kiri mereka, kalau sebelah kanan mereka berarti sebelah kiriku.” Fatma masih belum mengerti.

“Aduh, di sebelah kanan kamu!” Syifa semakin ngotot.

“Oh, itu Andri. Dulu satu SD denganku. Kenapa, Syif?”

Tidak apa-apa, sih, Fat.”

“Oh, ya, Syif. Kamu mau jadi anggota ekstrakurikuler Rohani Islam? Kebetulan aku anggota Rohis. Kalau kamu mau, biar aku bantu masuk.” Tiba-tiba Fatma menawarkan sesuatu yang cukup membuat Syifa tertarik.

 “Kegiatannya apa saja Fat?” tanya Syifa.

“Tentunya yang berhubungan dengan Islam, terutama aqidah. Nanti kamu bisa tanya-tanya soal kerudung, jilbab, dan hijab.” Fatma semakin meyakinkan Syifa.

“Kegiatanya hari apa aja? Soalnya aku malas kalau sering-sering,” tanya Syifa malas.

“Setiap hari jumat untuk yang perempuan, kalau yang laki-laki hari kamis siang.”

Syifa berpikir sejenak hingga ia duduk di kursinya. “Boleh deh, Fat, tapi aku mulai ikut kegiatannya minggu depan, ya.

“Boleh. Apa sih yang enggak buat kamu, Syif?”

“Eh iya, soal yang tadi ....” Syifa mengembalikan topik pertanyaan, kali ini ia membisikkan suaranya.

Yang tadi? Andri?” Tanya Fatma.

Syifa tersenyum. Mukanya memerah. “Iya.”

“Kamu tiba-tiba kasmaran dengan dia?”

Mendengar ucapan itu Syifa langsung menutup mulut Fatma. “Sttt!. Cuma penasaran aja, kok.” Fatma mengangguk-angguk setuju.


| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI