contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Kamis, 19 September 2013

A     : “Hei hei… Tolong aku donk buat tugas matematika. Nilaiku rendah ni. Jadinya mesti mengulang    lagi”
B     : “Soalnya seperti apa?”
A     : “Matematika, materi trigonometri.”
B     : “Waduh! Aku benar-benar sudah lupa. Bagaimana ya caranya”
A     : “Loh kamu kan kemarin dapat nilai tinggi. Kok gak bisa sih?”
B      : “Mau bagaimana lagi, itu gak murni hasil kerjaku. Aku nyontek sama teman sebangku. Hehehe. Kalau kamu bersedia minta bantuan dengan dia saja”
A      : rrrrrrrr >:o :( :”(

-------

                Kejadian seperti tadi rasanya bukanlah hal yang tabu pada masa sekolah. Nilai tinggi, nilai sedang, tidak tuntas, remedial, pusing tujuh keliling karena nilai atau mencontek teman saat ujian adalah hal yang bisa dibilang BIASA pada kalangan anak-anak sekolah. Pun dengan saya sendiri pernah mengalami kejadian seperti tadi, baik dalam posisi Si A maupun Si B.
                Di Sekolah, setiap siswa diperkenalkan dengan nilai-nilai kejujuran melalui ajaran guru, praktik kejujuran, tulisan-tulisan di dinding sampai pada pembacaan Tri Pra Setia Pelajar yang dibaca saat upacara. Dalam belajar siswa dianjurkan untuk berlaku jujur. Jujur yang dimaksud di sini kebanyakan artinya adalah: kerjakan ujian sendiri-sendiri tanpa mencontek, bertanya ataupun membuat kertas salinan atau sering dikenal dengan istilah ‘kopekan’.

                Masalah-masalah dalam menegakkan kejujuran mulai bermunculan, dan masalah yang paling besar sudah pasti ‘contek-mencontek’. Mencontek adalah sesuatu yang hampir sama dengan mencuri, melakukannya juga termasuk pembohongan kepada guru, terlebih jika si guru tidak mengetahuinya.
                Siswa-siswi kerap diberikan sanksi apabila ketahuan melakukan tindakan “tidak jujur” tadi. Ada yang hasil kerjanya ditolak, dirobek, atau nilainya dikurangi dan dibagi dua, atau ada pula yang langsung diusir dari kelas. Tentunya seorang guru yang memberikan hukuman pada si pencontek bermaksud agar tidak ada lagi yang mencontek. Tetapi pernahkah kita bertanya kenapa perilaku mencontek tidak pernah hilang atau setidaknya berkurang dalam dunia pendidikan di Negara tercinta ini meskipun berbagai hukuman telah diberikan?
                Coba kita telaah lagi alasan yang menyebabkan seseorang mencontek sehingga ia tidak takut dengan hukuman dan dapat menciptakan teknik-teknik mencontek yang tak dapat terdeteksi oleh para guru.
                Yakinlah bahwa sebagian besar siswa yang menyontek beralasan bahwa ia tidak sanggup untuk mengerjakan soal yang diberikan kepadanya!
Jika hal ini sudah terjadi, maka timbul ajaran yang sering kita dengar “Biarlah dapat nilai jelek asal dikerjakan dengan kemampuan sendiri”. Benar memang ajaran itu, saya sangat setuju. Hanyasaja, apakah ajaran seperti itu bisa dipakai dalam dunia persekolahan di Negeri ini?
                Setiap siswa sekolah dibebankan nilai minimal yang mesti dicapai untuk mendapatkan ketuntasan atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), apabila nilai tidak mencukupi, maka siswa wajib melakukan remedial atau pengulangan. Persyaratan ini tentu berbeda dengan zaman orangtua kita dahulu yang tak mengenal nilai minimal, bahkan meski mendapat nilai 1 pun akan tetap ditulis apa adanya, sekalipun di dalam ijazah.
                Saya tidak bermaksud melarang praktek contek-mencontek, karena saya sendiri dulu juga melakukannya agar nilai saya tuntas. Remedial bukanlah perkara mudah, dan nilai yang di dapat dari remedial tidak akan bisa setinggi mereka yang mendapat nilai dari jalur normal.
                Inilah sebenarnya yang menjadi alasan utama perilaku mencontek semakin marak terjadi. Semua siswa diwajibkan mendapat nilai diatas minimum, sedangkan tidak semua siswa kemampuan akademisnya sama. Bagi yang punya kemampuan hafalan dan hitungan bagus mungkin nilai minimum bukanlah hal yang menakutkan, tetapi  bagaimana dengan mereka yang lemah dalam pelajaran sekolah? Ingat bahwa mereka yang mendapat nilai rendah pada pelajaran sekolah bukan berarti mengalami kegagalan. Mereka barangkali tak merasa bahagia dengan apa yang dipelajari karena bertolak belakang dengan minat dan hasrat mereka.
                Sekolah di Indonesia cenderung menuntut siswa untuk mendapat nilai setinggi mungkin dalam pelajaran, terutama untuk empat bidang studi berikut: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA atau IPS. Angka 9 atau 8 seringkali menjadi tolak ukur kesuksesan siswa dalam belajar. Siswa yang memerolehnya akan mendapat berbagai sanjungan, lalu yang terbaik akan diberi gelar juara. Seperti klasemen sepakbola, tim dengan poin tertinggi akan menjadi juara. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu mencapai nilai ketuntasan? Tentu jalan keluarnya adalah remedial.
                Kebanyakan siswa sudah pasti memegang prinsip “kalau bisa jangan sampai remedial”, karena memang remedial tidak pernah menyenangkan, sudahlah membebani mental, nilaipun kelak tidak akan lebih tinggi dari nilai batas tuntas. Nah bagaimana cara untuk tidak mendapat remedial? Jawaban yang paling umum pasti “Belajarlah dengan baik”.
                Ujung-ujungnya tujuan belajar hanya menjadi sebatas “penyampai KKM”, mendapat nilai setinggi mungkin agar tuntas dan tidak remedial, apalagi kalau sampai tidak lulus. Yang seperti ini sudah biasa terjadi, ketika hari-hari ulangan dan ujian akan tiba, sebagian siswa-siswi akan sibuk bercengkrama dengan buku (Bagi yang sadar akan ketuntasan nilai), mereka membaca setiap materi yang akan diujiankan dan ada juga yang menulis beberapa poin-poin penting di atas secarik kertas kecil yang nantinya akan mereka buka di atas meja ujian. Lalu yang malas dan yang menganggap dirinya tak dapat mengerti? Mereka sudah bersiap-siap dengan berbagai jurus mencontek.
                Kembali kepada penyebab mencontek, bahwa ketidakmengertian dan ketidakbisaan menjadi alasan utama siswa untuk mencontek hasil kerja temannya atau jimat yang disiapkan. Ini semua tidak lain dan tidak bukan adalah karena keinginan mereka untuk mendapat nilai yang tinggi atau sekurang-kurangnya mendapat nilai tuntas. Pemikiran jangka panjangnya jelas: nilai tinggi akan mendekatkan siswa pada kelulusan.
                Selain karena nilai batas tuntas, banyaknya jumlah pelajaran yang harus diikuti juga menjadi salah satu sebab tindakan mencontek berkembang pesat. Belasan pelajaran harus diikuti dan masing-masingnya punya batas tuntas tersendiri. Apalagi kalau beberapa diantara pelajaran itu tidak ada kaitannya sama sekali. Jadilah sikap malas tumbuh yang akhirnya menjurus pada praktek mencontek.
                Permasalahan mencontek menurut saya sendiri, yang apabila kita pikir-pikir, merupakan sesuatu yang serba salah. Seorang tokoh Yunani berkata bahwasanya mati diatas kejujuran itu lebih baik daripada hidup diatas kebohongan. Benar memang, sedari kecil kita ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang sangat menentang kebohongan. Jujur, jujur dan jujur. Mau sukses? Hiduplah dengan jujur.
Tetapi sistem pendidikan yang berpusat pada nilai menjadi penghambat tumbuhnya sikap kejujuran dalam hati setiap insan pelajar, atau paling tidak sebagian besar. Pada hakikatnya manusia sangat menyukai kebaikan, termasuk kejujuran, hanyasaja mereka takut hidup diatas kejujuran karena konsekuensi yang harus dihadapi yaitu TIDAK LULUS. Saya juga merupakan salah satu orang yang takut akan hal ini, sehingga ketika saya tidak bisa mengerjakan sebutir soal, dan mendapati bahwa soal yang saya kerjakan sendiri kemungkinan belum memenuhi standar ketuntasan, maka saya akan berusaha meminta bantuan teman.
Apapun alasannya dan apapun caranya, mencontek tetaplah perbuatan tercela, hanya saja terkadang siswa mencontek bukan hanya karena malas, tetapi juga karena adanya unsur pemaksaan dari peraturan batas nilai yang telah ditetapkan, sehingga siswa lebih memilih mencontek daripada harus remedial dan tidak lulus.
Penghapusan standar ketuntasan tidak akan menurunkan motivasi belajar, malah dengan tidak adanya standar ketuntasan, peserta didik boleh jadi akan lebih termotivasi untuk selalu jujur dan berusaha sendiri meningkatkan prestasi akademisnya tanpa harus takut dengan ketidaktuntasan nilai.
Kalau ketakutan terhadap batas tuntas telah lenyap, maka para guru bisa dengan mudah memotivasi setiap siswa untuk berbuat jujur dalam mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian karena apapun hasilnya, tidak akan ada istilah tidak tuntas atau remedial lagi.
Secara kasar mungkin banyak orang beranggapan bahwa dengan tidak adanya batas tuntas akan merendahkan standar kemampuan akademik para siswa. Menghadapi pernyataan seperti ini, bolehlah kita membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang sangat membudaya “Apakah segala sesuatu harus dinilai dengan materi?”
Kalau sikap jujur telah tertanam kuat di hati para peserta didik, maka tinggal bagaimana seorang guru bisa memacu setiap muridnya agar terus meningkatkan kualitas diri. Selalu ada peran seorang guru dibalik kesuksesan seseorang. Tugas seorang guru bukan hanya memberikan materi pelajaran dan nilai, melainkan juga sebagai petani peradaban yang kelak akan memunculkan tokoh-tokoh baru bangsa yang siap menerbangkan Garuda setinggi langit dengan segenap kemuliaan dan kebanggan.


@soniindrayana
                                                                                                                     

| Free Bussines? |

0

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
"Berkaryalah dengan kesepuluh jari di tanganmu" -Syna-

Label

Artikel (46) Cerpen (49) Inspirasi (35) Sajak (29)

Followers

About Me

Foto Saya
Soni Indrayana
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Entri Populer

Selamat Datang Di SONI BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama saya Soni Indrayana, Saya Hanya seorang pelajar yang akan terus Belajar.

Social Stuff

  • RSS
  • Twitter
  • Facebook
  • HOME
SONI