A : “Hei
hei… Tolong aku donk buat tugas matematika. Nilaiku rendah ni. Jadinya mesti
mengulang lagi”
B : “Soalnya
seperti apa?”
A : “Matematika,
materi trigonometri.”
B : “Waduh!
Aku benar-benar sudah lupa. Bagaimana ya caranya”
A : “Loh
kamu kan kemarin dapat nilai tinggi. Kok gak bisa sih?”
B : “Mau
bagaimana lagi, itu gak murni hasil kerjaku. Aku nyontek sama teman sebangku.
Hehehe. Kalau kamu bersedia minta bantuan dengan dia saja”
A :
rrrrrrrr >:o :( :”(
-------
Kejadian
seperti tadi rasanya bukanlah hal yang tabu pada masa sekolah. Nilai tinggi,
nilai sedang, tidak tuntas, remedial, pusing tujuh keliling karena nilai atau
mencontek teman saat ujian adalah hal yang bisa dibilang BIASA pada kalangan
anak-anak sekolah. Pun dengan saya sendiri pernah mengalami kejadian seperti
tadi, baik dalam posisi Si A maupun Si B.
Di
Sekolah, setiap siswa diperkenalkan dengan nilai-nilai kejujuran melalui ajaran
guru, praktik kejujuran, tulisan-tulisan di dinding sampai pada pembacaan Tri
Pra Setia Pelajar yang dibaca saat upacara. Dalam belajar siswa dianjurkan
untuk berlaku jujur. Jujur yang dimaksud di sini kebanyakan artinya adalah:
kerjakan ujian sendiri-sendiri tanpa mencontek, bertanya ataupun membuat kertas
salinan atau sering dikenal dengan istilah ‘kopekan’.
Masalah-masalah
dalam menegakkan kejujuran mulai bermunculan, dan masalah yang paling besar
sudah pasti ‘contek-mencontek’. Mencontek adalah sesuatu yang hampir sama
dengan mencuri, melakukannya juga termasuk pembohongan kepada guru, terlebih
jika si guru tidak mengetahuinya.
Siswa-siswi
kerap diberikan sanksi apabila ketahuan melakukan tindakan “tidak jujur” tadi.
Ada yang hasil kerjanya ditolak, dirobek, atau nilainya dikurangi dan dibagi
dua, atau ada pula yang langsung diusir dari kelas. Tentunya seorang guru yang
memberikan hukuman pada si pencontek bermaksud agar tidak ada lagi yang
mencontek. Tetapi pernahkah kita bertanya kenapa perilaku mencontek tidak
pernah hilang atau setidaknya berkurang dalam dunia pendidikan di Negara
tercinta ini meskipun berbagai hukuman telah diberikan?
Coba
kita telaah lagi alasan yang menyebabkan seseorang mencontek sehingga ia tidak
takut dengan hukuman dan dapat menciptakan teknik-teknik mencontek yang tak
dapat terdeteksi oleh para guru.
Yakinlah
bahwa sebagian besar siswa yang menyontek beralasan bahwa ia tidak sanggup untuk mengerjakan soal yang diberikan kepadanya!
Jika hal ini sudah terjadi, maka timbul ajaran yang
sering kita dengar “Biarlah dapat nilai jelek asal dikerjakan dengan kemampuan sendiri”.
Benar memang ajaran itu, saya sangat setuju. Hanyasaja, apakah ajaran seperti
itu bisa dipakai dalam dunia persekolahan di Negeri ini?
Setiap
siswa sekolah dibebankan nilai minimal yang mesti dicapai untuk mendapatkan
ketuntasan atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), apabila nilai tidak mencukupi,
maka siswa wajib melakukan remedial atau pengulangan. Persyaratan ini tentu
berbeda dengan zaman orangtua kita dahulu yang tak mengenal nilai minimal, bahkan
meski mendapat nilai 1 pun akan tetap ditulis apa adanya, sekalipun di dalam
ijazah.
Saya
tidak bermaksud melarang praktek contek-mencontek, karena saya sendiri dulu juga
melakukannya agar nilai saya tuntas. Remedial bukanlah perkara mudah, dan nilai
yang di dapat dari remedial tidak akan bisa setinggi mereka yang mendapat nilai
dari jalur normal.
Inilah
sebenarnya yang menjadi alasan utama perilaku mencontek semakin marak terjadi.
Semua siswa diwajibkan mendapat nilai diatas minimum, sedangkan tidak semua
siswa kemampuan akademisnya sama. Bagi yang punya kemampuan hafalan dan
hitungan bagus mungkin nilai minimum bukanlah hal yang menakutkan, tetapi bagaimana dengan mereka yang lemah dalam
pelajaran sekolah? Ingat bahwa mereka yang mendapat nilai rendah pada pelajaran
sekolah bukan berarti mengalami kegagalan. Mereka barangkali tak merasa bahagia
dengan apa yang dipelajari karena bertolak belakang dengan minat dan hasrat
mereka.
Sekolah
di Indonesia cenderung menuntut siswa untuk mendapat nilai setinggi mungkin
dalam pelajaran, terutama untuk empat bidang studi berikut: Matematika, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA atau IPS. Angka 9 atau 8 seringkali menjadi
tolak ukur kesuksesan siswa dalam belajar. Siswa yang memerolehnya akan
mendapat berbagai sanjungan, lalu yang terbaik akan diberi gelar juara. Seperti
klasemen sepakbola, tim dengan poin tertinggi akan menjadi juara. Lalu
bagaimana dengan mereka yang tidak mampu mencapai nilai ketuntasan? Tentu jalan
keluarnya adalah remedial.
Kebanyakan
siswa sudah pasti memegang prinsip “kalau bisa jangan sampai remedial”, karena
memang remedial tidak pernah menyenangkan, sudahlah membebani mental, nilaipun
kelak tidak akan lebih tinggi dari nilai batas tuntas. Nah bagaimana cara untuk
tidak mendapat remedial? Jawaban yang paling umum pasti “Belajarlah dengan
baik”.
Ujung-ujungnya
tujuan belajar hanya menjadi sebatas “penyampai KKM”, mendapat nilai setinggi
mungkin agar tuntas dan tidak remedial, apalagi kalau sampai tidak lulus. Yang
seperti ini sudah biasa terjadi, ketika hari-hari ulangan dan ujian akan tiba,
sebagian siswa-siswi akan sibuk bercengkrama dengan buku (Bagi yang sadar akan
ketuntasan nilai), mereka membaca setiap materi yang akan diujiankan dan ada
juga yang menulis beberapa poin-poin penting di atas secarik kertas kecil yang
nantinya akan mereka buka di atas meja ujian. Lalu yang malas dan yang
menganggap dirinya tak dapat mengerti? Mereka sudah bersiap-siap dengan
berbagai jurus mencontek.
Kembali
kepada penyebab mencontek, bahwa ketidakmengertian dan ketidakbisaan menjadi
alasan utama siswa untuk mencontek hasil kerja temannya atau jimat yang
disiapkan. Ini semua tidak lain dan tidak bukan adalah karena keinginan mereka
untuk mendapat nilai yang tinggi atau sekurang-kurangnya mendapat nilai tuntas.
Pemikiran jangka panjangnya jelas: nilai tinggi akan mendekatkan siswa pada
kelulusan.
Selain
karena nilai batas tuntas, banyaknya jumlah pelajaran yang harus diikuti juga
menjadi salah satu sebab tindakan mencontek berkembang pesat. Belasan pelajaran
harus diikuti dan masing-masingnya punya batas tuntas tersendiri. Apalagi kalau
beberapa diantara pelajaran itu tidak ada kaitannya sama sekali. Jadilah sikap
malas tumbuh yang akhirnya menjurus pada praktek mencontek.
Permasalahan
mencontek menurut saya sendiri, yang apabila kita pikir-pikir, merupakan
sesuatu yang serba salah. Seorang tokoh Yunani berkata bahwasanya mati diatas
kejujuran itu lebih baik daripada hidup diatas kebohongan. Benar memang, sedari
kecil kita ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang sangat menentang kebohongan.
Jujur, jujur dan jujur. Mau sukses? Hiduplah dengan jujur.
Tetapi sistem pendidikan yang
berpusat pada nilai menjadi penghambat tumbuhnya sikap kejujuran dalam hati
setiap insan pelajar, atau paling tidak sebagian besar. Pada hakikatnya manusia
sangat menyukai kebaikan, termasuk kejujuran, hanyasaja mereka takut hidup
diatas kejujuran karena konsekuensi yang harus dihadapi yaitu TIDAK
LULUS. Saya juga merupakan salah satu orang yang takut akan hal ini,
sehingga ketika saya tidak bisa mengerjakan sebutir soal, dan mendapati bahwa
soal yang saya kerjakan sendiri kemungkinan belum memenuhi standar ketuntasan,
maka saya akan berusaha meminta bantuan teman.
Apapun alasannya dan apapun
caranya, mencontek tetaplah perbuatan tercela, hanya saja terkadang siswa
mencontek bukan hanya karena malas, tetapi juga karena adanya unsur pemaksaan
dari peraturan batas nilai yang telah ditetapkan, sehingga siswa lebih memilih
mencontek daripada harus remedial dan tidak lulus.
Penghapusan standar ketuntasan
tidak akan menurunkan motivasi belajar, malah dengan tidak adanya standar ketuntasan,
peserta didik boleh jadi akan lebih termotivasi untuk selalu jujur dan berusaha
sendiri meningkatkan prestasi akademisnya tanpa harus takut dengan
ketidaktuntasan nilai.
Kalau ketakutan terhadap batas
tuntas telah lenyap, maka para guru bisa dengan mudah memotivasi setiap siswa
untuk berbuat jujur dalam mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian karena
apapun hasilnya, tidak akan ada istilah tidak tuntas atau remedial lagi.
Secara kasar mungkin banyak orang
beranggapan bahwa dengan tidak adanya batas tuntas akan merendahkan standar
kemampuan akademik para siswa. Menghadapi pernyataan seperti ini, bolehlah kita
membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang sangat membudaya “Apakah segala
sesuatu harus dinilai dengan materi?”
Kalau sikap jujur telah tertanam
kuat di hati para peserta didik, maka tinggal bagaimana seorang guru bisa
memacu setiap muridnya agar terus meningkatkan kualitas diri. Selalu ada peran
seorang guru dibalik kesuksesan seseorang. Tugas seorang guru bukan hanya
memberikan materi pelajaran dan nilai, melainkan juga sebagai petani peradaban
yang kelak akan memunculkan tokoh-tokoh baru bangsa yang siap menerbangkan
Garuda setinggi langit dengan segenap kemuliaan dan kebanggan.
@soniindrayana