Barangsiapa
yang pernah bersekolah, pasti sudah tidak asing dengan yang namanya Peraturan Sekolah dan Hukuman bagi Para Pelanggarnya. Aturan-aturan
tersebut biasanya dipajang besar-besar di gerbang atau dinding – dinding sekolah.
Nantinya juga akan ada sosialisasi oleh para guru kepada segenap peserta didik,
terutama yang baru saja masuk.
Lumrahnya,
aturan-aturan sekolah berisi berbagai macam perbuatan yang dilarang di sekolah,
seperti mengeluarkan seragam, pulang sebelum waktunya, terlambat, berambut
panjang bagi laki-laki, menggunakan sepatu berwarna selain hitam dan masih
terlalu banyak lagi. Bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut, tanpa
terkecuali akan diberi sanksi yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Peraturan
sekolah sudah mulai diterapkan biasanya sejak jenjang Sekolah Dasar, dan hukuman-hukumannya
telah berlaku bagi para pelanggar. Ada yang disuruh tegak dengan sebelah kaki,
telinga dijewer, dicubit dan semacamnya. Di tingkat SMP dan SMA peraturan dan
hukuman lebih ditingkatkan, laki-laki yang berambut panjang akan dipotong
rambutnya oleh tim guru, yang terlambat disuruh lari keliling lapangan atau
diusir pulang, yang meribut di kelas bisa diusir, atau malahan ada yang tidak
bisa mengikuti ujian karena belum membayar kewajiban.
Hukuman
secara bahasa berarti siksaan, sanksi dsb. yang dikenakan kepada orang yang
melanggar suatu peraturan atau undang-undang. Tujuan diadakannya sebuah
peraturan beserta sanksi tentulah positif, dengan maksud agar terbentuk suatu
individu yang kelak terkumpul menjadi sekelompok individu yang memiliki keberaturan,
kerapian, kedisiplinan dan sebagainya dalam kehidupan. Namun, apakah peraturan
dan hukuman yang diberlakukan oleh pihak sekolah sudah efektif dalam mencapai
tujuan tersebut? Adakah manfaat yang dapat diperoleh dari hukuman yang
diberlakukan?
Sebenarnya
tidak bisa kita jawab dengan mudah dan pasti, masing-masing orang memiliki cara
pandang yang berbeda dalam menyikapi hukuman tersebut. Semasa sekolah saya
adalah orang yang paling tidak suka dengan peraturan sekolah, tetapi saya tidak
punya mental untuk melanggarnya. Saya beranggapan bahwasanya
peraturan-peraturan tadi dibuat dalam bentuk yang akan membuat siswa mencoba
untuk melanggarnya.
Pada umumnya, sebuah peraturan
sekolah dimulai dengan kata larangan, misal: Jangan, Dilarang atau Tidak
Dibenarkan.
Jangan
terlambat
Dilarang
berambut gondrong bagi siswa laki-laki
Tidak
dibenarkan memakai sepatu selain warna hitam
Begitulah
kira-kira peraturan yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah, terutama sekolah
negeri. Nanti di samping peraturan tadi akan diberikan sanksi terhadap
pelanggar seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya.
Memang, setiap ada peraturan,
pasti akan ada yang melanggar, namun kebanyakan hukuman dari pelanggaran yang
diberikan hanya sebatas praktek yang sekedar memberi sanksi dan berharap siswa
tidak mengulanginya karena takut dengan hukuman. Bukannya menakut-nakuti, tapi
malah hukuman-hukuman tadi menjadi bahan tertawaan bagi para siswa. Bahkan yang
saya perhatikan, sebagian siswa yang dihukum tidak memiliki wajah penyesalan
terhadap “dosa” yang ia lakukan. Hukuman-hukuman yang diberikan menjadi sebatas
perbuatan yang begitu-begitu saja, paling jika menerima hukuman, siswa akan
berkata “nanti ini akan menjadi kenangan bagi kita” dan turun temurunlah
kata-kata itu kepada anak cucu mereka. Lalu seringkali hukuman diberikan tanpa
mengetahui lebih dalam sebab si anak melanggar aturan.
Hukuman-hukuman yang diberikan
sama sekali tidak efektif dalam membentuk sebuah kepribadian yang terdidik,
sebagaimana tujuan dari pendidikan itu sendiri. Hukuman hanya menjadi tindakan
yang dilakukan guru kepada siswanya yang melanggar aturan. Padahal semestinya
hukuman dapat memacu siswa agar berbuat lebih baik dan lebih baik. Peraturan-peraturan
sekolah kebanyakan membuat siswa terkungkung dalam kata LARANGAN berbuat salah,
daripada mendorong siswa untuk berbuat benar.
Dalam
ajaran Islam, Allah menjanjikan hukuman-hukuman setelah terlebih dahulu Ia
janjikan hadiah-hadiah berupa surga seluas langit dan bumi bagi orang-orang
yang berbuat benar dan mematuhi aturan-Nya. Allah lebih dahulu memacu manusia
untuk berbuat kebenaran agar kelak mendapat ganjaran berupa surga, sehingga
manusia yang sadar akan termotivasi dan berlomba-lomba dalam kebaikan
(Fastabikul Khairat).
Apakah
makna dari hukuman berdiri dengan satu kaki? Rambut yang dipotong paksa? Diusir
dari kelas atau sekolah? Diusir pulang karena terlambat? Atau yang lainnya?
Kebanyakan dari hukuman tadi sama sekali tidak mengajak anak berbuat lebih
baik.
Mental
setiap orang sudah pasti berbeda-beda, bagi mereka yang punya mental baja pasti
akan menganggap hukuman seperti tadi hanyalah hal yang biasa, tapi bagaimana
dengan mereka yang mentalnya belum terlatih terutama bagi anak-anak usia
sekolah dasar? Hal ini akan menyebabkan otak mereka terdoktrin untuk selalu
menghindar dari hukuman alih-alih belajar berbuat kebenaran, dan perkembangan
diri mereka akan terganggu karena terus dibatasi dengan berbagai macam
larangan. Segala sesuatu memang mesti ada batasan, hanya saja batasan yang
dimaksud di sini bukan untuk menghindari suatu perbuatan, tetapi mencegah
perbuatan menyimpang dengan mengarahkan kepada yang baik dan benar. Dan
pemberian hukuman yang tidak jelas maknanya sama sekali tidak akan efektif
untuk mengarahkan Si Anak untuk berbuat benar, malah hanya akan mengurung jiwa
kreatif seorang anak.
Di
sekolah setingkat SMP dan SMA, kenakalan remaja adalah hal yang paling menjadi
dasar pelanggaran terhadap peraturan yang diberikan sekolah. Kenakalan juga
menjadi alasan sekolah membatasi tindakan mereka dengan peraturan dan hukuman,
bermaksud untuk memberikan efek jera. Tapi lagi-lagi hanya sebatas efek jera,
bukan mencari penyebab kenakalan lalu mengarahkannya pada kebenaran. Salah satu
kenakalan yang paling tenar di sekolah menengah adalah pulang sebelum jam
pulang (cabut). Untuk menghadapi siswa
seperti ini biasanya pihak sekolah akan memberikan sanksi mulai dari teguran
sampai skorsing dan drop out.
Pernahkah pihak sekolah
mempelajari penyebab beberapa orang siswa sering melakukan tindakan ‘cabut’?
Percayalah bahwa sebagian besar alasan mereka adalah ketidaknyamanan saat
berada di sekolah. Dari alasan si siswa, seharusnya pihak sekolah juga
mengintrospeksi diri dan berusaha melakukan perbaikan. Daripada melakukan drop out yang sama saja dengan
pernyataan kegagalan dalam mendidik.
Lalu
coba kita perhatikan lagi peraturan yang melarang siswa menggunakan sepatu
berwarna selain hitam, apakah maksud dari aturan ini? Yang sering kita dengar
bahwa dengan menggunakan sepatu berwarna hitam akan tercipta kesetaraan sosial secara
visual diantara para siswa. Pertanyaan saya, apakah akan terlihat kesetaraan
sosial hanya dengan warna sepatu? Baiklah kalau memang demikian adanya, tapi
kenapa harus hitam? Kenapa tidak setara dalam warna yang lain? Bukankah kalau
semua memakai warna yang sama juga akan terlihat setara?
Usaha untuk menyetarakan sosial
sudah sangat baik dengan adanya seragam sekolah. Seragam sekolah adalah salah
satu dari beberapa peraturan sekolah yang sangat tepat, sehingga perbedaan
antara si kaya dan si miskin tidak akan terlalu terlihat. Tapi kalau masalah
sepatu, alangkah lebih baik siswa dibiarkan saja memilih warna yang sesuai
kehendak hatinya, karena nanti ketika berjalan dapat memberikan semangat kecil
untuk lebih percaya diri.
Begitu juga dengan aturan-aturan
lain, kalaulah tidak bisa dihapus, alangkah lebih baik apabila aturan itu
dimodifikasi agar terlihat tidak kaku. Karena sekolah bertugas mendidik
anak-anak dan remaja yang sedang mencari ciri khas diri mereka. Siswa akan
senantiasa berkreasi dan berpenampilan yang menurut mereka baik, mereka akan
melakukan apa yang mereka senangi dan mereka akan merasa terkekang apabila
dibatasi dengan kata larangan. Saran saya, biarkan siswa itu bertindak sesuai
keinginan hatinya, jika ia ingin punya rambut yang panjang maka biarkan saja,
kalau ia ingin menggunakan sepatu berwarna warni biarkan saja, biarkan siswa
mencari ciri khas yang membuat mereka percaya diri di hadapan orang-orang.
Bukankah seorang penyanyi pasti memiliki ciri khas penampilan yang akan membuat
orang-orang tertarik kepadanya? Tapi kebebasan juga ada batasannya, tapi jangan
batasan itu dijadikan sebagai alat yang secara tak langsung membunuh jiwa
kreatif siswa. Ketika ia menyimpang dari kebenaran, carilah penyebabnnya dan
arahkan lagi pada kebenaran.
Tulisan ini tidak saya buat
semata-mata karena saya ingin menciptakan generasi freedom dan liberal, melainkan karena saya prihatin melihat
bobroknya moral para pelajar Indonesia yang seharusnya menjadi generasi
terdidik dan contoh bagi banyak bangsa. Mereka bukan tidak bisa dididik, mereka
bukan bodoh, mereka bukan jahat, mereka bukan biadab, mereka hanya tidak
kesampaian dalam mengekspresikan diri mereka dalam batas-batas yang benar.
Sekolah seringkali terlalu kaku dalam mendidik siswa, sehingga banyak
kreatifitas yang terpendam lalu lenyap begitu saja. Sekolah harusnya menjadi ladang
peradaban bangsa, yang kelak akan menumbuhkan generasi-generasi pelurus bangsa.
Dari para pelajar itulah kelak akan muncul seorang manusia yang dapat
menyelamatkan bangsa ini.
Ingatlah satu hal, bahwa Allah
tidak pernah salah dalam menciptakan makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tinggal manusia itu
dibimbing sesuai dengan zaman hidupnya, diarahkan kepada nilai-nilai kebenaran
dengan cara yang membuat ia nyaman, bukan dengan doktrin dogma-dogma yang
konservatif.
@soniindrayana