Sambungan dari DEMI AKAL .. (bagian terakhir)....................................
Siang itu, tak
seperti biasanya, kali ini Alcinous berjalan sangat terburu-buru menyusuri
jalan menuju rumahnya. Ia berlari dengan cepat tanpa mempedulikan orang-orang
di sekitarnya. Sesekali ia hampir menabrak pejalan kaki lain, tapi ia terus
saja berlari.
Saat tiba di depan rumah ia langsung
membuka pintu rumah dengan keras, Fortuna terkejut dan sedikit berteriak. “Ada
apa Alcinous?” Fortuna heran melihat putranya yang berdiri diam dengan nafas
tersengal. Alcinous melihat seorang lelaki tua berjas hitam yang duduk
berhadapan dengan ibunya. Raut wajah Alcinous langsung dihujam rasa takut yang
luar biasa. “Ibu, kita harus segera pergi. Aku sekarang buronan polisi. Ada
seseorang yang merecoki pabrik tempatku bekerja dan membuat laporan palsu ke
kepolisian. Kini kami semua terus dikejar. Bu, ayo kita pergi atau kita akan
dipenjara”
Ucapan
Alcinous membuat Fortuna mengerinyitkan dahinya. “Kau kenapa Alcinous?”
“Sudahlah bu,
ayo kita pergi. Aku tidak mau dipenjara!” Alcinous berteriak seperti orang yang
ketakutan. Lelaki tua yang sedari tadi duduk di hadapan ibunya berjalan ke
arahnya dan membuatnya ketakutan dengan sedikit rasa marah. “Kau! kau pasti anggota
kepolisian yang mau menangkapku” Alcinous menunjuk ke arah Si Lelaki Tua itu
dengan ujung jari yang mengigil.
“Bukan, bukan.
Kau ada masalah? Mungkin aku bisa membantumu” Dengan lembut lelaki tua itu
berusaha berbicara pada Alcinous
“Tidak!
Menjauhlah dariku.” Alcinous mengencangkan otot tubuhnya seperti hendak
menyerang lelaki tua tadi. “Bu ayolah!” Ia terus mendesak Fortuna yang seperti
tidak menanggapi kejadian itu dengan serius. Melihat ibunya sama sekali tidak
merespon, Alcinous langsung mengambil langkah seribu meninggalkan rumah.
Berlari dengan penuh rasa takut tanpa arah tujuan.
Tenaganya hampir habis, sesekali ia
melihat ke belakang. Khawatir kalau lelaki tua tadi mengejarnya. Alcinous
berhenti di dekat sebuah pasar. Ia duduk di atas anak tangga yang menghubungkan
pasar dengan jalan, mencoba mengistirahatkan badan sekaligus mencoba membuat
tenaganya kembali terisi. Nafasnya memburu dan rasa takut terus mencekam di jiwanya.
“Nak” Tangan pria tua tadi sudah
memegang bahu Alcinous yang langsung melompat dan menjauh. Tapi beberapa orang
lelaki lain telah memegangi badannya. Ia berusaha berontak dan melawan, tapi
sebuah jarum kecil yang menusuk lengannya membuat kesadarannya menghilang. Ia
pun dibawa oleh para lelaki tadi.
-------
Alcinous perlahan-lahan bangun dari
ketidaksadarannya. Ia membuka matanya dan mencoba mencari keseimbangan dan
fokus penglihatan. Ia mendapati dirinya duduk di atas sebuah kursi kayu. Kedua
tangannya diborgol dan
tubuhnya diikat. Pria tua yang tadi menangkapnya sudah duduk pula di
hadapannya.
“Bagaimana nak?
Sudah sedikit merasa tenang?” Pria tua itu berbicara padanya dengan suara yang
lembut dan bersahabat.
“Siapa kau? Apa maumu?” Alcinous masih
merasakan amarah dalam tubuhnya. Ia mencoba untuk melawan dan bangkit, tapi
ikatan di tubuhnya terlalu keras untuk ia lawan.
Ia
memerhatikan keadaan sekitar. Ia berada di sebuah ruangan yang sebenarnya
tidaklah mengerikan. Hampir sekliling ruangan ini dipenuhi rak buku dari kayu
jati. Ada sebuah meja dan kursi kerja yang membelakangi sebuah jendela besar. Dan
ada pula beberapa karya seni di sebuah meja dan kertas seperti piagam di
dinding ruangan. Alcinous tidak bias memastikan di ruangan apa ia berada.
“Alcinous?
Ya, itu namamu kan?” Pria tua tadi mendekatkan pandangannya. “Jangan takut
padaku. Aku akan membantumu” Ia berusaha meyakinkan Alcinous bahwa ia bukanlah pihak
kepolisian seperti yang dikatakannya.
Alcinous
tidak menggubris, kondisinya kini lebih tenang. Ia melihat ke arah pintu yang terbuka
di belakang si pria tua. Ia melihat Cyrus yang sedang berdiri sambil berpangku
tangan menatapnya dengan tatapan kosong. “Kau!” Alcinous kembali berteriak
keras dan amarahnya meledak “Ternyata kau yang melakukan semua ini. Membuat
tipu daya agar aku mengalami semua ini. Ku kira kau sudah menjadi sahabatku!”
Alcinous terus mengata-ngatai Cyrus.
“Keparat!” Alcinous mendamprat Cyrus yang
terus saja diam.
Pria tua tadi melihat ke belakang
kemudian kembali menatap Alcinous dengan tajam. “Alcinous! Dengan siapa kau
berbicara?”
Fortuna
dengan tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan. “Alcinous, anakku. Sudahlah.
Hentikan semua ini.”
“Ibu? Kau juga terlibat dengan semua
ini?” Alcinous merendahkan suaranya tapi hatinya semakin panas.
“Alcinous!”
pria tua tadi tersenyum dan mulai sedikit tertawa. “Nak, kau sedang
berhalusinasi. Cyrus yang selama ini kau anggap teman itu tidak pernah ada.
Ia hanya bagian dari delusimu. Dan ibumu...........”
“Apa-apaan
kau. Tidakkah kau melihat orang di belakangmu itu!” Alcinous memotong
omongan pria tua itu dan
semakin marah karena merasa dipermainkan.
“Sayang, ibu sudah melihatmu
berkali-kali. Kau sama sekali tidak punya teman bernama Cyrus.” Fortuna ikut
meyakinkan Alcinous
“Aku setiap hari bekerja dengan
ayahnya!”
“Bekerja? Teman-temanmu menyaksikan
kau hanya bermain sendirian di rumah kosong itu. Dan tak rumah itu tak pernah
lagi dihuni oleh siapapun” Suara Fortuna mulai parau, matanya memerah, ia ingin
menangis.
“Alcinous!
Jangan dengarkan apapun. Kau sedang berhalusinasi dengan bercerita tentang
ibumu. Kau tinggal sendirian.” Cyrus turut serta mempengaruhi pikiran Alcinous.
Semuanya semakin kacau.
“Alcinous dengarkan ibumu ini. Kau
sejak kecil selalu bersamaku”
“Alcinous! Akulah sahabatmu dan aku
yang selalu bersamamu. Hentikan halusinasimu.”
“Alcinous, Cyrus tidak pernah ada”
Fortuna meyakinkan Alconous
“Alcinous, Ibumu tidak pernah ada.
Ia sudah meninggalkanmu sejak lama” Begitupula Cyrus, melakukan hal yang sama
Pikiran
Alcinous semakin kacau, ia berteriak dan menangis.
Pria
tua tadi memegang bahu Alcinous dan memeluknya dengan hangat. “Tenanglah.
Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan membantumu” Sebuah jarum menusuk lengan
Alcinous, ia kembali diam dan tenang. Sejenak beristirahat dari jiwanya
yang menggugah . . . . . . . .
. . .