Kegaduhan
dimana-mana, suara teriakan membahana. Rasa takut menghantui setiap mereka.
Lari, lari dan lari. Mereka lari, lari menjauh……….
Batu-batu
berhamburan, debu-debunya membuat pandangan tak lagi jelas. Air mata menjadi
salah satu saksi penindasan dan ketidakberdayaan. Memang hanya sebuah
penindasan dan ketidakberdayaan yang semu, padahal sesungguhnya sekelompok
manusia berkalbu setan itulah yang menindas diri mereka sendiri.
Manusia-manusia
yang bersih berjatuhan di atas bumi, darah segar mereka mengalir deras,
membasahi tanah yang suci. Mereka yang kelak akan disambut penuh penghormatan
oleh Sang Maha Raja.
Seorang wanita
terkapar lemah diatas batu-batu yang panas terbakar, ia mencoba membangkitkan
tubuhnya, mengangkat badan, mungkin mencari tempat yang aman atau malah
sesegera mungkin mencari penghormatan dari Tuhannya.
Beberapa orang
bersenjata yang tersenyum bengis menghampiri wanita itu, “Hei Cantik” salah
seorangnya menyapa dengan suara yang sedikit berpasir karena rokok yang ditahan
di bibirnya. Tak gentar hati si wanita, ia menatap penuh kebencian dan
kemurkaan. “Tidak usah takut, aku akan menjadi penyelamatmu. Kau tidak akan
kubunuh. Aku akan nikmati dirimu dahulu.”
“Kau boleh pergi”
seorang pria yang lain lagi mempersilahkan Si Wanita pergi, walau itu hanya
sebuah kiasan untuk suatu maksud yang lain.
“Buka penutup
kepalamu. Kami ingin melihatmu, setelah itu kau boleh pergi” Seorang pria yang
lain lagi meletakkan cengkramannya pada kerudung hitam Si Wanita. Hendak ingin
menarik dan melepas kerudung itu. Tak ada rasa gentar dan takut dalam hati Si
Wanita, ia pukul tangan lelaki itu hingga terlepas dari kerudungnya. “Demi Dzat
yang menguasai diriku. Siapakah engkau yang dengan lancang ingin melihat
diriku?” Suara Si Wanita meninggi, amarahnya menggelora.
Pria yang tadi
mencengkram kerudung Si Wanita langsung terpapar rasa sakit hati, dia layangkan
punggung tangannya pada wajah suci Si Wanita. Meski darah segar mengucur dari bibirnya,
Si Wanita malah tersenyum. “Jangan kau kira hal seperti ini akan membuatmu bisa
melihat diriku.” Si Wanita terlihat menantang
“Buka ! Kau akan
pergi dengan selamat, atau….” Pria yang tadi mencengkram kerudung Si Wanita
mulai mengeluarkan ancamannya
“Atau apa? Aku
tak takut dengan dengan apa yang sedari tadi kau peluk” Si Wanita melirik ke
arah senapan hitam yang bersandang di tubuh Si Pria.
Si Pria semakin
naik pitam, tenaga kerasnya ia layangkan lagi ke wajah Si Wanita, secepat
mungkin ia cabut pistol dari pinggang kanannya lalu mengarahkan moncong pistol
itu ke dahi Si Wanita. “Kami tidak akan membukamu kalau kau tidak mau membuka.”
Jari telunjuk Si Pria telah menyentuh pelatuk karena rasa sakit hatinya. Bukannya
takut, Si Wanita semakin gigih mempertahankan eksistensi kerudungnya. Baginya,
tiada satupun yang akan ia izinkan membuka kehormatan dirinya, walau ia tahu,
apa konsekuensi yang akan ia terima. Allah pun menyambutnya dengan penuh kehormatan.
"Kalau senapan tak menjadi alasan mereka untuk melepas kerudung, lalu apa alasanmu melepasnya? "
@soniindrayana
*Kisah adalah fiksi yang berdasarkan pada kejadian nyata di Palestina