“Allahu akbar Allahu akbar, Laa ilaaha ilallahu Allahu akbar.
Allahu akbar, wa lillahilhamdu” Kumandang takbir membahana di seluruh
penjuru kota, perjuangan selama satu bulan penuh melawan lapar haus dan hawa
nafsu telah selesai. Hati orang-orang galau karena ditinggal pergi oleh bulan
yang tiada dapat dihitung kemegahannya, namun disatu sisi mereka pun senang
karena kemenangan telah didapat dan gelar Muttaqin segera diraih.
Bagaimana perasaanmu wahai Lelaki Yang Terpuji? Surat Al-A’laa dan
Al-Ghaasyiyah yang kau baca dalam dua raka’at sholat hari raya dengan suara
merdumu cukuplah membuat para sahabatmu terharu. Apalagi jika sesungguhnya
sahabatmu mengetahui bahwa itulah hari raya Idul Fithri terakhirmu, wahai
Lelaki Yang Bersahaja. Setelah engkau sampaikan khutbah, Engkau jabat tangan
mereka dan engkau dekap dalam dekapanmu yang hangat dan penuh kasih sayang.
Seperti
halnya kebiasaannya di hari raya yang telah berlalu, Rasulullah berjalan pulang
melalui jalan yang berbeda. Ia dapati seorang anak yang terisak-isak, jauh dari
teman-temannya dan jauh pula dari keceriaan. Mata anak itu telah lebam oleh
tangis, suaranya serak dan sesenggukan, pakaiannya tak lagi layak pakai, penuh
robekan dan tambalan serta kumal. Rasulullah menghampiri anak kecil itu, dengan
nada suara yang penuh sajaha dan kriteria kebapakan yang luar biasa ia berkata
sambil meletakkan tangannya yang lebih wangi dari bunga mawar ke atas kepala
anak itu, “Wahai anakku, kenapa engkau menangis? Kenapa tidak bermain bersama
teman-temanmu? Bukankah ini hari raya, mestinya engkau bersenang-senang.”
Dengan wajah sendu, anak kecil perempuan itu menjawab
kata-kata dari orang yang sebenarnya belum ia kenal “Bagaimana mungkin aku
dapat bersenang-senang di hari raya? Sedangkan aku sudah tak memiliki ayah lagi.
Ayah yang pernah membelikanku sebuah gaun saat hari raya tahun lalu telah
dipanggil oleh Allah saat ia berjuang bersama Rasulullah di medan perang,
sedangkan ibuku menikah dengan seorang lelaki kejam yang mengusirku dari rumah.
Ayahku telah tiada dan kini aku telah menjadi yatim. Kalau bukan untuknya,
untuk siapa lagi tangis ini keluar?” Air mata anak itu terus mengalir deras,
sudah basah mukanya oleh air mata yang tak kunjung berhenti..
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang sangat
menyantuni anak yatim tak tahan mendengarnya, bulir-bulir air mata mengalir
dari sudut matanya, membasahi wajahnya yang mulia dan indah dipandang. Langsung
ia peluk tubuh anak kecil itu, tak peduli dengan bau dan kotornya. “Wahai
anakku, sekarang aku ingin bertanya padamu. Maukah kau menjadikan aku ini sebagai
ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, Fatimah sebagai kakakmu, Ali sebagai pamanmu,
Hasan dan Husayn sebagai saudaramu?”
Anak kecil itu terkejut saat
menyadari bahwa orang yang telah ia jadikan sebagai tempat mencurahkan
kesedihannya adalah Rasulullah. Tubuhnya merinding. Raut wajahnya secepat kilat
berubah menjadi cerah. Kata-katanya tertahan seakan tak dapat berbicara. Hanya
anggukan tanda persetujuan.
Anak kecil itu berjalan sambil
bergandengan tangan dengan Rasulullah, penuh kasih. Hatinya bahagia tak terperi,
derap jiwanya sangat indah. Adakah yang lebih membahagiakan dibanding menjadi
anak seorang manusia yang paling mulia? Bahkan teman-teman anak itu bergumam “Seandainya
ayah kami juga terbunuh”. Sungguh luar
biasa cintamu pada seorang yatim, wahai Lelaki Yang Penyantun.
Anak kecil itu dirawat dengan baik, ia diberikan
gaun, rambutnya disisir rapi, dan seluruh keluarga Rasulullah memperlakukannya
dengan baik.
Namun
kebahagiannya tak bertahan lama, beberapa bulan setelah peristiwa itu,
Rasulullah wafat. Hati anak kecil itu kembali bersedih, ia keluar dari rumah
Rasulullah dan menaburkan debu di atas kepalanya sebagai tanda kesedihan yang
teramat dalam. “Kini aku kembali menjadi yatim”. Air matanya kembali
bercucuran. “Yatim, menjadi yatim kembali.......
Setelah Rasulullah wafat, ia diasuh oleh Ali bin Abi
Thalib (Dalam riwayat lain ia diasuh oleh Abu Bakar Shiddiq)
“Barang siapa mencintai dan
menyantuni anak-anak yatim, kelak akan hidup berdampingan bersamaku di surga.”
-Nabi Muhammad SAW-
-Nabi Muhammad SAW-
Itulah sedikit dari banyak kisah
Rasulullah bersama anak yatim. Semestinya menginspirasi bagi yang mau menerima.
Santunilah anak yatim, usap kepalanya. Kalau melihat bakul anak
yatim di mesjid, maka isi dengan uangmu, apa susahnya? Jangan pernah kita
hardik, karena Allah akan murka. Orang-orang yang menghardik anak yatim
termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama.
Berbagi itu indah. Rasakan dan
ketahuilah bahwa sebenarnya, saat kita berbagi kepada orang yang membutuhkan,
maka pihak yang paling berbahagia bukanlah yang diberi, melainkan yang memberi.
Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca
@Soniindrayana