Suara dentuman bom tak
henti-hentinya memekakkan telinga, terbosan peluru menabrak segala yang bisa ia
tembus, sekeliling telah hancur. Seakan-akan posisi berdiri hanya tinggal
menunggu untuk diratakan oleh ledakan. Puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan
nyawa melayang akibat serangan hebat pada saat itu. Istana bernaung telah
terkurung, sepasukan durjana siap merebut segala hak yang baru dimiliki belum
lama ini, tatapan seakan buram, mata tak sanggup menatap ke depan. Akankah
segala penindasan kembali lagi?
Usia
pria itu baru 32 tahun, cukup muda. Di hari yang serba terdesak itu, dadanya
terasa tegang, ada apakah gerangan ia dipanggil oleh Sang Pemimpin negeri? Ia
tetap menunjukkan kegagahan dalam langkahnya. Sang Pemimpin menatap dengan
serius kearah Si Pria, “Aku berikan tugas ini kepadamu. Apapun keadaan yang kau
alami, jagalah bendera kita ini dengan nyawamu. Jangan biarkan jatuh ke tangan
musuh.”
Sang Pemimpin berdiam sejenak, lalu melanjutkan “Sekiranya
Allah mengizinkan, engkau harus mengembalikan bendera ini kepadaku, tidak
kepada siapapun kecuali orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Namun apabila engkau gugur saat
mempertahankannya, maka tugasmu dipercayakan kepada penggantimu dan ia mesti
melaksanakan tugasnya seperti yang engkau kerjakan.”
Si Pria terdiam, matanya terpejam dan hatinya
melantunkan doa. Dentuman bom terus mengalir laksana lahar vulkanik. Tugas yang
berat menanti Si Pria, menyelamatkan Sang Saka.
-----------------
“Tidak ada bendera apabila kedua warna ini
dipisahkan” Benak Si Pria menemukan ide tersebut dalam keadaan yang semakin terdesak,
saat intaian peluru siap menembus tubuh kapan dan dimana saja. Tangan-tangannya
memutus ikatan benang yang menyatukan dua warna merah dan putih pada bagian
tengah bendera. Dibantu seorang wanita, Si Pria berhasil memisahkan kedua warna
itu. Matanya menatap kedua kain yang kini telah terpisah, hatinya tetap berdoa
agar Yang Maha Kuasa memberinya bantuan agar titah Sang Pemimpin dapat ia
tunaikan.Ia letakkan Kain Pusaka itu dengan sepelan mungkin di dasar tas, menutup keberadaanya dengan tumpukan kain. Tak tega memang hati Si Pria, tapi apadaya, hanya ini jalan untuk menyelamatkan Merah Putih Pusaka dalam pelarian penyelamatannya.
Meski tetap dirinya ditahan dan diasingkan, tetapi dugaannya
terhadap nasib bendera benar, hasil pikirannya mengelabuhi pasukan-pasukan
durjana.
--------
Waktu
yang bergulir telah membawanya kembali ke mantan ibukota terdahulu, saksi bisu
kehancuran yang seakan segera tiba. Dirinya tak tenang, ia ingin segera
menyerahkan kembali bendera ini, amanat Sang Pemimpin, perlambang bangsanya.
Hingga tiba sebuah surat yang patutnya membuat Si
Pria berbahagia. Sore yang membuat hatinya berbinar cerah.
“Berikan
bendera pada Soedjono. Ia adalah delegasi Indonesia yang dapat menemuiku. Agar
kerahasiaan semua ini dapat terjaga”
Segera ia satukan kembali kedua warna itu, melalui
bekas-bekas lubang jahitan sebelumnya. Dengan mesin jahit pinjaman, Si Pria
dengan gigih dan penuh kehati-hatian mengerjakan penyatuan dua warna dari Sang
Saka, walau ada sedikit kesalahan pada ujung jahitan. Hanya dengan selembar
kertas dari surat kabar, Sang Saka Merah Putih dibungkus rapi, menyerahkan pada
seseorang yang diberikan amanat pula agar dapat kembali berkibar dengan gagah
perwira.
---------------------------------------------
Berkibarlah
Merah Putih, berkibarlah dengan gagah
Tunjukkan
merahmu
Tunjukkan
putihmu
Perlihatkan
Keberanianmu
Perlihatkan
Kesucianmu
Pujaan
bangsa nan cemerlang
Khusus
kupersembahkan untuk Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke 68
@soniindrayana
Tokoh dalam cerita:
Si Pria
: Husein Mutahar
Sang Pemimpin :
Ir. Sukarno
Seorang Wanita : Ibu Perna Dinata
*Dialog dan situasi dalam kisah
ini adalah buah pemikiran dan imajinasi penulis mengikuti sejarah yang nyata