Suatu hari istri saya menyanyikan lagu tentang tomat untuk menghibur Masaki, anak kami yang masih berusia satu tahun. Masaki sangat tertarik dengan lagu itu, sampai dia merengek agar istri saya terus mengulangi lagunya. Perlahan-lahan, ia mengikuti lirik lagu itu meski hanya ujung-ujung kata.
Pada hari yang lainnya, Masaki mengulang-ulang kata “bua” yang entah apa artinya. Kami berpikir bahwa yang ia maksud adalah buah. Namun maksud dari kata “bua” itu adalah bola. Ia meminta bola, dan ingin bermain bola.
Ada banyak lagi momen Masaki menyebutkan banyak kosakata yang awalnya tidak kami mengerti. Kami mesti berkali-kali menyimak apa yang ia katakan untuk memahami maksud bahasa yang coba ia sampaikan. Butuh kesabaran memang, walau kami lakukan itu dengan senang hati.
Kalau dipikir-pikir, apa yang kami lakukan adalah pengulangan dari apa yang dilakukan oleh orangtua kami dahulu. Mereka pun pasti bingung dengan apa yang kami ucapkan ketika baru pertama kali belajar berbicara. Namun, mereka sabar memahami. Pun dengan kami sekarang, sabar dalam memahami anak.
Lalu seharusnya, apa yang kami rasakan hari ini dapat
menjadi bahan refleksi untuk bersedia mendengarkan orangtua kami ketika
berbicara. Bukan hanya kami, tetapi juga bagi seluruh anak. Bagaimana mungkin
kita enggan memberi waktu walau sedikit untuk mendengarkan cerita orangtua
kita, padahal dulu mereka dengan sabar mendengarkan celotehan kita yang tidak
jelas pengucapannya?